Uga Jasinga

"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong hejo anu bahanna aya di leuwi curug, leuwi sangiang jeung nu sawarehna aya di girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung nu engke katelahna awi tangtu. Didinya bakal ngadeg gedong hejo di tonggoheun leuwi sangiang" * TiKokolot Jasinga*.

MACA SEH SYEKH ABDUL QADIR JAILANI

Maca seh berarti membacakan Manaqib (Riwayat hidup) Syeh Abdul Qadir Jailani. Masyarakat juga menyebutnya Masaseh atau Macakeun Tuan (maksudnya : Tuan Syeh Abdul Qadir Jailani). 


Maca seh dibacakan pada waktu acara-acara haul, nadar, panen, hajatan dan lain lain yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat sekitar Jasinga. Syeh Abdul Qadir Jailani merupakan tokoh sufi abad XI sekaligus guru bagi madrasah-madrasah yang ada di Bagdad dan sekitarnya. 

Beliau mempunyai tingkat karomah yang tinggi sehingga disebut bapaknya para wali-wali di seluruh dunia. Menurut masyarakat yang meyakininya, beliau adalah tokoh yang sangat disayang Allah [dikanyaah, dipikadeudeuh ku Gusti Pangeran].

Manaqib berisi riwayat hidup Syeh Abdul Qadir Jailani yang di dalamnya terbagi beberapa pupuh diantaranya Kinanti, Sinom, Dangdanggula, Pangkur, Pucung dalam bahasa Jawa Serang (Banten). 


Ada juga Manaqib yang dikemas dalam bahasa Sunda tetapi oleh masyarakat dirasakan kurang karomahnya, lebih baik Manaqib dibaca menggunakan bahasa Jawa Serang (Banten) karena pada masa sebelumnya Banten merupakan sentral agama dan budaya. Manaqib berbahasa sunda didatangkan oleh tokoh-tokoh agama dari daerah Sukabumi dan priangan. 

Banyak manfaat dari pembacaan macaseh atau manaqib yang dirasakan masyarakat seperti adanya berkah, rejeki, ketenangan hidup, kemuliaan hidup. Akan lebih terasa manfaatnya jika Maca Seh dibacakan sendiri dalam waktu 40 kali malam jumat dengan cara berkumpul bersama teman atau tetangga dan setelah hari jumat terakhir diadakan selamatan dan disajikan pula hidangan berupa kopi manis, kopi pahit, air putih, susu, air kelapa. 


Maca seh dimulai dari setelah waktu isya hingga dini hari [janari gede] sekitar pukul tiga pagi. Tetapi ada pula yang selesai hingga pukul 12 malam. Apabila yang membacakan tujuh orang, pembacaan dilakukan sambung menyambung saling bergantian. 

Pada musim panen maca seh bisa dibacakan secara bergantian dan bertempat di masjid yang dipimpin oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat yang bisa memimpin ritual. 

Di dalam masjid masyarakat berkumpul dan pemimpin ritual membacakan manaqib dan di tengah-tengah kumpulan itu disajikan tumpeng dan nasi ayam kebuli.Setelah pembacaan selesai Tumpeng nasi kebuli dibagikan secara merata untuk dimakan atau dibawa pulang sabagai berkah (bertabaruk). 

Banyak orang yang berharap berkah dari Maca Seh karena dengan karomahmya Tuan Syeh Abdul Qadir Jailani diyakini bisa menentukan jalan hidup yang mulia,mendapatkan rejeki dan tenang dalam segala urusan. 

Maca seh dibawakan dengan nada-nada tertentu tergantung dari jenis pupuhnya karena tiap pupuh berbeda lagu. Lagu lagu pupuh bernotasi tradisional sunda baik sunda pesisir (Serang) maupun sunda pedalaman. 


Nada-nadanya ada juga yang panjang melengking seperti kesenian beluk dari priangan sampai sampai ada juga orang yang mengatakan bahwa maca seh juga disebut Beluk (hanya tema saja yang berbeda). 

Di Jasinga Maca Seh masih dilaksanakan sebagian daerah seperti Koleang, Tarisi, Bagoang, Nanggung hingga arah utara Jasinga.

Selain maca seh ada pula tradisi yang dapat membawa berkah bagi kelangsungan hidup, yaitu pembacaan kutub rabbani yang di dalamnya berisi shalawat atas Nabi Muhammad dan keluarganya (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain) dan diakhiri dengan sanjungan terhadap puncak kesucian wali Allah (Kutub), yaitu Syeh Abdul Qadir Jailani.

Hingga saat ini tradisi maca seh masih tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Jasinga karena masyarakat masih tetap mempertahankannya sebagai tradisi peninggalan masa lalu yang disebarkan oleh ulama-ulama dari Banten, dan yang lebih penting adalah masyarakat masih menginginkan adanya berkah dari tradisi tersebut. 


Adapun sebagian masyarakat sudah meninggalkannya dikarenakan adanya modernisasi dan adanya perbedaan-perbedaan dalam tradisi. 

Pada bagian lain tradisi ini termasuk dalam budaya Sastra yang seharusnya dilestarikan.
.

Jasinga, 15 Agustus 2008
KALAKAY JASINGA

Sumber : 


- Abah Ukay, Desa Bagoang
- Masyarakat Desa Koleang -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar