Uga Jasinga

"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong hejo anu bahanna aya di leuwi curug, leuwi sangiang jeung nu sawarehna aya di girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung nu engke katelahna awi tangtu. Didinya bakal ngadeg gedong hejo di tonggoheun leuwi sangiang" * TiKokolot Jasinga*.

NYABA KA URANG SUNDA WIWITAN

Nyaba ka urang sunda wiwitan
“Ekspedisi Baduy I”


Sabtu, 21 Mei 2005, Pukul : 05.00 WIB.

Kami bangun dari tidur dan mandi di Cidurian.

Sekitar jam 06.00 WIB. Kami berangkat dari Base Camp (Kost-nya Manteri Dalem/Wawan). Di terminal Jasinga kami menunggu mobil angkutan menuju terminal Gajrug Kab. Lebak Provinsi Banten. 

Cukup lama kami menunggu Angkutan Gajrug, hingga akhirnya pukul 07.00 WIB, kami baru berangkat. Pukul 08.15 WIB, kami sampai di terminal Gajrug. 

Kemudian kami menunggu angkutan Gajrug – Rangkasbitung. Tepat pada pukul 08.45 WIB kami berangkat menuju Rangkasbitung. Kami tiba di terminal Rangkasbitung pukul 10.00 WIB, sejenak kami istirahat untuk melepas lelah, kemudian makan siang. 

Jam 10.30 WIB kam melanjutkan perjalanan menuju terminal Ciboleger dengan angkutan Rangkasbitung – Ciboleger. Pukul 12.30 WIB, kami tiba di Ciboleger tepatnya di terminal Ciboleger. 

Di terminal tersebut terdapat patung orang Baduy (Bapak, Ibu, dan 2 orang anak), selanjutnya kami istirahat di sebuah Mesjid yang letaknya tidak jauh dari terminal tersebut.

Pukul 13.00 WIB, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Jaro Daina, di Desa Kadu Ketug. Jaro Daina adalah kepala desa yang memimpin beberapa desa di daerah Baduy Luar. Orang Baduy Luar memakai ikat kepala berwarna biru tua dan memakai ”Jamang” (baju berwarna hitam).


Setibanya di rumah Jaro Daina, kami disambut dengan ramah oleh tuan rumah, sambil beristirahat, kami menikmati segelas air putih dan gula merah pemberian Jaro Daina. Kami berbincang-bincang hangat dengan sang empunya rumah. Di rumah Jaro Daina terbentang kain panjang berwarna hitam bertuliskan kalimat : ”Gunung Ulah Dilebur Lebak Ulah Diruksak”.

Kami memperhatikan bentuk rumah Baduy Luar yang beratap “injuk”, berdinding anyaman bambu (bilik), bertiangkan kayu, sebagai penguat digunakan paku untuk menyambungkan kayu pada tiap-tiap bangunan. Pada rumah orang Baduy Luar dan orang Baduy Dalam terdapat daun “kawung” (Aren). Menurut kepercayaan yang mereka anut, daun “kawung” tersebut berguna untuk tolak bala (menolak segala marabahaya).

Di rumah Jaro Daina, kami menunggu Salman, menanantu Jaro Daina, yang merupakan sahabat yang cukup lama kami kenal. Tak lama kami berbincang, kemudian datanglah Salman, kami diajak ke rumah Salman, letaknya berbatasan dengan pemukiman/rumah orang luar. Lingkungan pemukiman Baduy Luar dengan pemukiman orang luar dibatasi dengan pohon “hanjuang”.

Di rumah Salman, kami dikenalkan kepada istrinya, Dalis, dan anak laki-laki yang bernama Dadiman (berusia 3 tahun). Dalis adalah putri dari Jaro Daina. Kami diberikan makan dengan nasi ketan merah dan ikan asin yang membuat makan siang begitu nikmat. Selesai makan siang, kami meminta izin kepada Jaro Daina untuk “ziarah” ke Puun Cibeo (Baduy Dalam), ditemani Salman sebagai Guide. 

Ziarah, bagi masyarakat Baduy adalah silaturahim kepada sesepuh kaum adat, tidak seperti masyarakat kebanyakan, kata ziarah ditujukan kepada orang yang sudah meninggal.

Setelah mendapat izin, tepat pukul 14.00 WIB, kami berangkat menuju Cibeo. 

Dalam perjalanan yang mendaki dan menurun melewati gunung-gunung, jurang dan lading (huma), akhirnya kami sampai di Desa Kaduketer. Desa Kaduketer masih tergolong masyarakat Baduy Luar. Di daerah ini tidak terdapat orang berjualan makanan dan minuman, untuk itu, kami mengambil air minum dari saluran kecil Cikaduketer untuk melepas dahaga. Airnya begitu jernih dan dingin, karena masih banyak pohon-pohon besar dan rindang.

Sesudah itu, kami langsung melakukan perjalanan, dalam perjalanan, Salman banyak bercerita tentang kehidupan masyarakat Baduy. Di tengah perjalanan kami melihat sebuah danau besar yang disebut “Dangdang Ageung”. Menurut Salman, 2 tahun lalu, ada 2 muda-mudi meninggal di danau itu, orang Baduy sudah memperingatkan agar jangan berbuat atau bermain-main berlebihan, tetapi muda-mudi tersebut tidak menghiraukan peringatan tadi. Maka akhirnya terjadilah musibah itu. 

Mereka tenggelam setelah jatuh dari rakit yang mereka tumpangi. Kejadian itu terjadi kira-kira pukul 14.00 WIB. Jenazah keduanya baru ditemukan pada pukul 04.00 WIB.

Setelah melewati “Dangdang Ageung” kami bertemu 2 orang Baduy yang masih kecil, yang berjalan sambil meniup seruling, suaranya begitu indah sekali. Salman menyapa mereka dengan panggilan “Ongong” yang sama artinya dengan “Nak, Ujang, atau Asep” dalam bahasa Sunda. 

Kemudian kami bertemu dengan seorang pemuda yang berasal dari Papua, kami saling menegur sapa. Setelah itu, tibalah kami di Cibajra, disini kami mengisi perbekalan air minum, karena perbekalan air minum yang diisi dari Cikaduketer tadi telah habis kami minum.

Selama perjalanan kami terus mengobrol untuk menghilangkan lelah. Kemudian kami tiba di perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam, yang ditandai sebuah Pohon Besar. Di daerah inilah batas dimana orang yang ingin mengambil gambar, atau merekam video tidak diperbolehkan, karena sudah memasuki kawasan “Baduy Dalam”.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan lagi. Kami menyempatkan diri singgah beristirahat di sebuah rumah yang berada di huma/ladang yang ditempati oleh sekeluarga orang Baduy Dalam. Keluarga tersebut memiliki anak-anak yang masih kecil. 

Kami meminta izin beristirahat sambil meminta air untuk melepas dahaga. Anak-anak itu begitu lucu, memakai ikat kepala putih, baju putih, memakai rok dan dipinggangnya terselip sebilah golok. 

Kami meminta air minum kepada “ambu” atau Ibu dalam bahasa keseharian kita. Ambu tersebut sangat ramah, sebagai balas budi kami memberikan roti kepada anak-anaknya.

Setelah istirahat sejenak, kami melakukan perjalanan lagi. Dalam perjalanan kami merasa terpesona dengan keindahan panorama alam Baduy.

Selang tidak lama dari meneruskan perjalanan tadi, kami berpapasan dengan seorang kakek tua dari Baduy Dalam. Beliau menyapa kami dengan ramah sekali.

Tak lama kemudian, sampailah kami di Jembatan “Rawayan”. Jembatan bambu yang diikat dengan tali dari injuk (aren) yang dibawahnya terdapat aliran sungai “CIPARAHYANG”. 

Tepat pukul 17.15 WIB, sampailah kami di CIBEO. Selanjutnya kami menuju rumah Kang Mursid, putra dari Puun Jandol (Alm.). kami disambut dengan baik dan ramah oleh tuan rumah dan masyarakat lainnya. 

Kami memperkenalkan diri, lalu kami dipersilahkan masuk ke rumah Kang Mursid. Rumah-rumah di Cibeo beratap injuk, bilik bambu dan memakai tali injuk sebagai penguat.

Sambil melepas lelah, kami menikmati minuman dengan gelas dari bambu dan menikmati gula merah. Saat berbincang-bincang, ada seorang Baduy Dalam yang mengaku pernah melewati Jasinga. 

Waktu shalat Ashar sebentar lagi habis, kami pun menuju ke Ciparahyang untuk mengambil air wudhu dengan air Ciparahyang yang begitu dingin dan jernih. Setelah itu, kami pun shalat Ashar. 

Seusai menunaikan shalat Ashar, kembali kami berbincang-bincang. Pada pukul 18.15 WIB, kami mandi di Ciparahyang. Di Baduy Dalam, dilarang menggunakan sabun dan shampoo. Oleh karenanya kami mandi tanpa sabun dan shampoo. 

Setelah itu, kami kembali ke rumah Kang Mursid. Disana kami dipersilahkan untuk menunaikan shalat Maghrib. Seusai menunaikan shalat Maghrib, kami memberikan ikan asin yang telah sengaja kami persiapkan sebelumnya. Tak lama kemudian, kami pun makan malam bersama Kang Mursid. 

Sesudah makan malam, kami mengobrol ditemani oleh seorang tetangga Kang Mursid, karena Kang Mursid akan berangkat ke rumah Jaro Sami untuk bertemu beberapa Mahasiswa Universitas Tirtayasa, Fakultas FISIP, Serang - Banten.

Tepat pukul 21.00 WIB, aku keluar dari rumah Kang Mursid menuju lapangan, tepat di tengah-tengah perkampungan. Sambil menikmati malam yang indah, diterangi bulan purnama, aku duduk di batu-batu yang beragam ukurannya. Sambil bertasbih, takbir dan tahmid didalam hati, aku memuji kebesaran Ilahi, dengan terharu, aku merenung betapa Maha Perkasanya Allah yang Maha Pencipta.

Pukul 21.15 WIB, dengan bantuan penerang lilin yang kubawa, aku berjalan menuju Ciparahyang, di Ciparahyang aku mengambil airnya dengan botol plastic dan secuil tanah untuk kubawa sebagai kenang-kenangan.

Kemudian ikat kepala yang kugunakan aku cuci di Ciparahyang, lalu aku mandi, dan berwudhu untuk shalat Isya. Kemudian pulang ke rumah Kang Mursid. Sesampainya disana aku dipersilahkan masuk oleh Kang Mursid yang ternyata sudah datang dari rumah Jaro Sami, setelah bertemu dengan Mahasiswa Universitas Tirtayasa.

Setelah shalat Isya aku tidur. Udaranya begitu dingin menusuk hingga tulang belulang. 

Jam 03.30 WIB, aku dibangunkan oleh temanku, yang hendak buang air kecil ke Ciparahyang. Untunglah Salman juga bangun, dan bersedia mengantarnya. Akhirnya aku tidur kembali.

Jam 05.00 WIB aku dibangunkan oleh Kang Mursid untuk shalat Shubuh. Sesudah itu diberitahukan kepada kami bahwa “Puun Yante” akan datang menemui kami, setelah shalat Shubuh. 

Akhirnya Puun Yante, datang beliau menanyakan kabar kami dan apa keperluannya. Setelah melakukan pertemuan dengan Puun Yante, beliaupun meminta kami mendoakannya. Sesudah itu, Puun Yante langsung pamitan, karena akan berangkat ke huma (ladang).

Tak lama kemudian, kami pun berpamitan kepada Kang Mursid. Sebelum berangkat, kami dibekali nasi putih dan ikan asin sebagai bekal untuk sarapan. Begitu baiknya Kang Mursid kepada kami, oleh karenanya kami pun berucap terima kasih. Kang Mursid berpesan agar saling mendoakan.

Akhirnya, kira-kira pukul 05.30 WIB kami pun berangkat pulang.

Setelah sekian lama berjalan pulang, sampailah kami pada Jembatan Sungai “Ciujung”, airnya begitu dingin dan jernih. Kami pun bersama-sama mandi disana. Di sini sudah termasuk kawasan Baduy Luar, oleh karena itu kami diperbolehkan menggunakan sabun, shampoo dan pasta gigi. Setelah mandi, tak lupa aku mengambil air Ciujung ke dalam botol plastic sebagai kenang-kenangan.

Setelah mandi, kami mengobrol di pinggir aliran sungai itu. di sebuah batu besar, aku berbincang-bincang dengan Salman, dan kami saling bertukar cinderamata. Salman menyerahkan sebuah pisau Baduy, dan aku menyerahkan sebuah pisau buatan Tarisi Kec. Jasinga, terus kami mengucapkan ijab kabul sebagai tanda persetujuan.

Selesai mengobrol, kami melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan kami melihat ayam utan dan burung-burung yang berkicau dengan sangat indah. Sambil berjalan, Salman mengambil tanaman paku yang masih muda untuk lalapan sarapan nanti. 

Saat menemukan sebuah saung, dipinggir huma, kami pun sarapan disana. Setelah istirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan. 

Hingga akhirnya sampailah kami pada sebuah perkampungan yang pernah terbakar, kira-kira 2 tahun lalu, menurut salman. 

Batu-batunya masih terlihat pada jalan-jalan dan di bawah perumahan tersebut batu-batu tersebut, dibalai dengan rapih. Desa itu adalah “Cicakal”, yang merupakan bagian dari Baduy Luar.

Sambil mengobrol dalam perjalanan dari Cicakal, Salman meminta dibacakan “Wangsit Prabu Siliwangi”, aku memenuhi permintaannya. Ku bacakan bait demi bait isi wangsit itu, dan Salman mengikuti setiap kata dari bait-bait wangsit yang kubaca. Sungguh membuatku terharu, baru pertama kalinya ada orang Baduy yang memintaku seperti itu.

Kemudian kami melihat tempat penyimpanan padi yang disebut “leuit”, dan kemudian kami menyeberang jembatan bambu, hingga kemudian sampailah kami di daerah “GAZEBOH”. 

Disini terlihat banyak orang Baduy luar yang menjajakan barang kerajinan dan barang-barang lainnya. Terlihat juga para mahasiswa yang menginap di rumah-rumah penduduk. Disini, kami pun melihat alat penumbuk padi yang disebut “lisung”.

Kemudian kami pun melanjutkan perjalanan, kami berpapasan dengan orang-orang Baduy Luar yang telah kembali dari huma. Sambil berjalan berbarengan dengan para karyawan Pemda Cibinong Kab.Bogor, kami berbincang-bincang hangat. 

Sampailah kami di Desa Kadu Ketug, yang disitu terdapat sebidang tanah kosong yang pada sisi-sisinya dibatasi oleh batu-batu. Menurut Salman, suatu saat nanti ditanah kosong Itulah akan dibangun rumah untuk Jaro Daina jika sudah pensiun dari jabatannya sebagai Jaro.

Pukul 09.15 WIB, sampailah kami di rumah Salman. Kami istirahat melepas lelah sambil meminum air putih dan gula merah.

Tak lama kemudian kami berpamitan kepada Salman dan Jaro Daina, karena kami hendak kembali pulang ke Jasinga. Tak lupa kami banyak berterima kasih kepada keduanya dan masyarakat Baduy.

Inilah pengalaman pertama kami menginjakkan kaki di tanah Baduy. Sungguh pengalaman yang sangat berharga dan takkan bisa terlupakan… Meski melelahkan namun hati kami sangat puas.

Ternyata banyak pandangan dan penilaian yang salah dari masyarakat umum terhadap komunitas Orang Baduy. Dari apa yang kami dengar sebelumnya, ternyata tidak benar dengan apa yang kami alami. Orang Baduy begitu menghargai orang lain dan begitu patuh terhadap ajaran yang dianutnya.

Pukul 12.30 WIB kami berangkat dari Ciboleger menuju Rangkasbitung. Sesampainya disana, kami berpisah. Dia pulang ke Jakarta, dan aku pulang ke Jasinga.

Dalam perjalanan pulang, masih teringat begitu hangat dan begitu jelas pemandangan indah Baduy dan keramahtamahan masyarakatnya.

Pukul 17.00 WIB, aku tiba di Jasinga. Kemudian aku menemui Mantri Dalem/Wawan. Di kediamannya aku beristirahat, dan mandi di Cidurian.

Ingin rasanya kembali kesana lagi… Insya alloh….


Jasinga, 22 Mei 2005

Andri Mirwan Fachri
Kalakay Jasinga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar