Uga Jasinga

"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong hejo anu bahanna aya di leuwi curug, leuwi sangiang jeung nu sawarehna aya di girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung nu engke katelahna awi tangtu. Didinya bakal ngadeg gedong hejo di tonggoheun leuwi sangiang" * TiKokolot Jasinga*.

MAKAM KUNO GARISUL JASINGA

MAKAM GARISUL JASINGA SYEKH ARIFFUDDIN DAN SYEKH ISHAK

DESKIPSI SITUS GARISUL

Situs adalah merupakan suatu kumpulan keberadaan Benda Cagar Budaya yang mengandung nilai-nilai kepurbakalaan. Biasanya terhampar dalam suatu area tertentu baik yang berada di tanah dataran maupun perbukitan.

Salah satu Situs yang masuk dalam inventarisasi dan Dokumentasi pada Seksi Kebudayaan adalah Situs Garisul Desa Kaolong Sawah Kecamataan Jasinga. Ditempuh dengan jarak 42 km dari Ibu kota Cibinong. Pada Situs ini diketahui bahwa peninggalan berupa Komplek Pemakaman Kuno dengan luas area 3000 m menghadap Barat. Data-data yang di peroleh peninggalan kesejarahaan ini berkisar sekitar abad ke 15-16 M yang dalam dekade tertentu merupakan peninggalan jaman perkembangan dan kebudayaan Islam. Diketahui lebih lanjut pada salah satu peninggalannya menujukkan angka 1021-1031 Hijriah.

Diantara kumpulan makam kuno tersebut ada 9 makam utama yang merupakan simbol dari kepemimpinan. Dari bentuk bangunan di ketahui mempunyai ciri-ciri tersendiri yang merupakan pengaruh kebesarannya. Analisis ini diambil berdasarkan makam serta ketinggian batu Nisan.

Hasil pengamatan dapat diketahui bahwa diantara ke 9 makam kuno tersebut terdapat nama Syekh Ishak, Panglima Sultan Hasanudin Banten dan para istrinya. Salah satu di antaranya adalah Putri Raja dari Kerajaan Kediri.



GARISUL SAKSI BISU YANG BELUM TERKUAK BUKTI SEJARAH YANG PERLU PENELUSURAN DAN PELUSURAN

Garisul adalah nama sebuah perkampungan umum, letak persisnya berada si Desa Kalong Sawah Kecamatan Jasinga dengan jarak 1300 m ke arah Utara. Apa gerangan yang ada di Garisul pada kawasan ini ada sebuah tempat yang menyimpan fakta sejarah/local history yang sampai saat ini masih bersifat misteri.

Kisah perjalanan ini kami bukukan pada hari Senin 25 Juli 2005 sebagai Kunjungan Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, yaitu memantau benda Cagar Budaya berupa makam kuno yang mempunyai ciri pada budaya Islamnya. Ketua rombongan Sdr. Boedi Setia sond Dipl, membawa kami sekitar Pukul 10.30 menuju Bogor bagian Barat, Sampai Ciampea waktu Dzuhur kemudian istirahat sejenak sambil mengisi bahan bakar dan isi perut kami yang mulai keroncongan. Perjalanan ini di lanjutkan kembali menjelang waktu Ashar. Kami tiba di Kecamatan Jasinga. Untuk mencapai Lokasi kami harus berjalan kurang lebih 800 m. Ketua Rombongan berjalan di depan jauh meninggalkan kami yang masih bercanda gurauan dengan rekan-rekan sambil menikmati jalan perkampungan yang kami lalui ketua rombongan tidak berajak lalu kami menghampirinya.

Pemandangan yang indah yaitu sebuah hamparan sungai yang memanjang dengan perkiraan lebar antara 30-40 m bernama ”Sungai Cidurian”. Ia mulai berceloteh tentang riwayat sungai. Terlalu cepat untuk di ingat seketika kami mengeluarkan catatan. Konon sungai Cidurian ini dahulunya merupakaan sarana transportasi jalan air di sepanjang jalan air ini banyak tempat Persinggahan bernama ”DEK” (yang di maksud Geladak Kapal /mungkin Pasar) sampai ke kota-kota Pelabuhan besar di Sangiang dan Merunda sampai ke hilir Ciomas (mungkin maksudnya sekitar Jasineara Sunda Kelapa dan Muara Cimanuk). Sedangkan ke Sebelah Tenggara sampai pelabuhan Banten pembicaraan terus berlangsung hanya saja kami mengambil hal-hal yang di anggap penting saja. Sementara rekan Sri Aryani jeprat-jepret mengambil pemandangan yang indah ini, perjalanan kemudian di lanjutkan sampai kami tiba di lokasi.



PENGAMBILAN DATA

Jalan setapak hasil semenisasi menghantarkan kami menuju area Situs BCB. Makam Kuno yang bernuansa I silam, Beberapa langkah kami masuk terpampang papan peringatan berkaitan dengan UU No 5 Th.1992, tentang Sanksi dan Hukuman bagi yang merusak, untungnya seluruh area ini sudah di kelilingi kawat berduri kurang lebih 2000 m. Sedangkan luas lahannya diperkirakan kurang lebih 1ha, tidak lepas mata memandang hampir seluruh lahan 10.000 m ini dikelilingi oleh batu nisan, tidak dapat dihitung satu persatu hanya saja diperkirakan sekitar 2000 orang (termasuk di luar area) mereka terkubur di sini. Nara sumber kami bertambah dengan hadirnya Bapak Sanusi. Sdr. lib dan Epik sebagai Juru peliharaan situs BCB tersebut. pertanyaan pun mulai kami lontarkan kepada Beliau.

Suatu hal yang menarik untuk di kaji dari beberapa hasil pengamatan sebelum pada uraian lebih lanjut kami membagikanya dalam 3 tahapan pengamatan

Point I

a. Setiap Batu Nisan mempunyai Keseragaman pada jenis Batunya.
b. Tinggi rata-rata di atas Permukaan Tanah 20-30 Cm.
c. Satu Makam bercirikan 1 tunggul/1 Batu Nisan saja.
d. Setiap Nisan mempunyai Relief/Kaligrafi.
e. Bertuliskan Huruf Arab Gundul.
f.  Berbentuk kuba atau segitiga.
g. Melambangkan makam prajurit.

Point II

Terdapat 9 buah Batu Nisan dengan Ciri tersendiri dikelilingi oleh nisan lain (prajurit) sebagai Pengawalannya.

a. Dari 9 buah Batu Nisan 7 diantaranya mempunyai keseragaman Bentuk (1 buah berbeda dalam Lekukan) Menunjukan bahwa 7 orang tersebut adalah Laki-laki dan yang 2 orang adalah Wanita.
b. Tinggi rata-rata 60-70 CM
c. Relief dan Huruf Kaligraf lebih banyak.
d. Jarak antara satu dengan yang lainnya 170-200 Cm.
e. Menunjukan makam Pemimpin/Pembesar.

Point III

Nama-nama yang di sebutkan terbatas pada pengetahuan yang ada, diantaranya disebutkan :

a. Syekh Ariffuddin
b. Beberapa Panglima Perang Pasukan Sultan Hasanudin
c. 2 orang Putri Raja Demak dan Cirebon
d. Pemimpin Pasukan
e. Syekh Ishak

dari hasil pengamatan kami selanjutnya, relief dan Huruf sudah banyak yang pudar, sehingga agak menyulitkan dalam penulisan ini.



ANALISIS

Angka Tahun penanggalan perlu penelusuran lebih lanjut, perhitungan, angka harus di hitung tersendiri sehingga akurat data dapat dipertahankan jika tidak tepat memperhitungkan maka akan jauh melesat dari ketentuan Begitu dalam pengamatan ini muncul keragaman dalam menginterpretasikan angka tahun keraguan kami terobati karena salah seorang rekan secara samar membaca tahun 1015-1501 dan 1021 sekarang tinggal menentukan jenisnya apakah menggunakan Tahun Hijriah Tahun saka Jawa atau mengunakan Tahun Saka Hindu.

Sedang asiknya kami berdiskusi dengan rekan-rekan ketua rombongan mengingatkan kami agar siap merayap turun. Sementara Penelitian kami hentikan,karena waktu Magrib akan tiba, kendaran kami meluncur dari Jasinga Pukul 18.15 WIB, baru Pukul 21.30 kami masing-masing selamat tiba di Rumah.



TELAAH SEJARAH

Beberapa Buku membantu penulisan untuk bercerita ynag meriwayatkan tetang Pewaris Tahta Kerajaan Pajajaran setelah Sri badunga Maharaja wafat pada tahun 1521 .Sebagai penerus Kerajaan Sunda Pajajaran tersebut adalah Prabu Sang Hyang Surawitela pada periode 1521-1535. selama beliua memerintah sudah terjadi beberapa kali konflk dengan Cirebon, dan pada masa beliau ini pula Banten tahun 1526 dan Jayakarta Tahun 1927 menjadi daerah kesultanan dibawah Cirebon. Diriwayatkan tidak kurang dari 15 kali terjadi Pertempuran sehingga timbulah perjanjian yang disebut Perjanjian Perdamaian Pajajaran Pakung Wati 12 juli 1531. Pada masa ini tidak disebutkan di daerah mana terjadinya pertempuran tersebut.

Sepeningalan Beliau di ganti oleh Prabu Ratu Dewata yang memerintah anatara tahun 1535-1543 diriwayatkan bahwa Roda Pemerintah di Pajajaran sudah mulai mengendor beberapa kali serangan dari Cirebon ia mengandalkan sifat Perjanjian Pajajaran – Pakungwati yang telah di sepakati olah Cirebon sebab itu ia percaya bahwa Cirebon tidak akan melakukan serangan kembali. sementara pihak Banten yang pada saat itu telah menjadi daerah kesultanan dan mempunyai hak otonom, membentuk laskar tenguh untuk menyerang Kota Pakuan; dalam cerita Parahanyang disebut dating bencana musuh gemel tambuh sangkane prang rang di burwan ageing pejah tohaan Ratu sang hiang, Konon terjadi di Pusat Kota Pakuan kemungkinan sekitar daerah Sukasari, Lawang Gintung sekarang. Peristiwa ini sangat memalukan karena raja pada waktu itu sedang melaksanakan tapabrata, tidak sedikit para Pangawal Kerajaan yang Gugur dalam Peristiwa tersebut.

Pengganti Ratu Dewata adalah Ratu Sakti memerintah antara Tahun 1543-1551, ia di kenal sebagai Raja yang alim, karena kerasukanya ini di Kerajaan Pakuan semakin kacau balau, rakyat banyak yang miskin dan tidak memperdulikan pemerintah sebab itulah beliau diturunkan dari pemerintahannya.

Ratu Sakti di gantikan oleh Prabu Nilahendara ia memerintah antara Tahun 1551-1567. Sama kacaunya dengan Raja sebelumnya ia dikenal sebagai Raja gemar kesenangan antara lain makan dan minum “Tatan agama gyang hewaliyah mamangan sedrasa Ni syurup ka suykas berang har”. Ia lupa diri perperangan ini dilambangkan dengan Bunga Pralaya yang disebut Kaliyuga, Pajajaran telah diambang pintu kehancuran, akhirnya datang juga serangan-serangan Banten dalam cerita Parahiangan “disebut Tohaan diamajaya adalah Prangtas mangka tang it is ting kedatuan” sebagian masyarakat meningalkan Kota Pakuan karena Raja sudah tidak Tinggal di Keraton. Proses ini berangsur lama, Kota Pakuan masih berada di bawah pembesar Keraton yang tidak ikut mengungsi.



Pajajaran telah beralih Tangan Raja adalah Prabu Ramamulya Suryakencana atur Pucuk umum Pulasari ia Memerintah antara tahun 1567-1579 M. Keraton berkedudukan di lereng Gunung Pulasari, (sekitar Kp.Kadu Hejo,Kec.Menes,Kab.Padeglang). Prabu tidak lagi mengunakan Mahkota Kerajaan. Penembahan Yusuf atau Sultan maulana Yusuf, mulai menempakan ambisinya untuk menaklukan Pajajaran secara keseluruhan, bersama pasukan Banten – Cirebon mengadakan serangan secara besar-besaran maka terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat dalam pertempuran ini kedua belah pihak banyak korban yang berjatuhan, pertahanan Tentara Pajajaran Bertempur dalam mempertahankan diri di sekitar daerah Jasinga (sekarang) sampai Pandeglang.

Sebagai bagian terakhir dari catatan singkat ini, sedikit di bicarakan runtutuan kejadian dari kronologis pemerintahan di dalam kerajan Pajajaran.pendekatan aprigasif menentukan serangan besar-besaran, terjadi pada masa Prabu Rajamulya Surya Kencana, sedangkan Banten berada di bawah pemerintahan Sultan Maulana Yusuf dan bukan Sultan Hasanudin seperti di sebut-sebut kemungkinannya dapat terjadi, karena Sultan Hasanudin merupakan Sultan Pertama di Banten dan begitu besarnya pengaruh Beliau sehinga keturunannya tidak tertulis. Selanjutnya di katakan bahwa Pemerintah Pajajaran berada di Pandeglang yang pada waktu itu batas wilayahnya sampai ke arah Jasinga tentunya sebelum penaklukan terjadi dahulu pertempuran yang maha hebat tidak di sebutkan dimana Tentara Pajajaran dikuburkan karena peperangan dimenangkan oleh pihak Banten maka para “Syuhadanya” ditempatkan di Garisul.

Dalam tradisi lokal dalam sejarah Banten disebutkan bahwa orang-orang yang akan menyerang Pakuan/Kerajaan Pajajaran berangkat dari Banten pada hari Minggu 1 Muharam Tahun Alif sengkala, bumi rusak rekek mangkek iki Terjemahan menjadi 1501 Shaka atau 1579 M, disebut Tahun 1501 Shaka adalah Tahun pertama dari abad baru, sekalipun perhitunggan waktu baru diperintahkan oleh Sultan Agung Mataram pada Tahun Shaka 1555 tetapi penggunaan tahun shaka sudah dipergunakan sebelumnya, ketentuan jatuhnya 1 Muharam 1501 Shaka sudah pada hari Jum’at – Sabtu atau Minggu perlu pengkajian lebih lanjut, penulisan mengambil catatan dari sejarah Banten dan Babat Cirebon sekitar runtuhnya Pajajaran oleh Banten tertulis 1501 Shaka yaitu 1579 M.

Diposting Oleh : Editor, 17.10. 2012

Sumber :
www.bogorkab.go.id/2012/10/17/situs-garisul

Pernah di posting di Facebook Kalakay Jasinga 20 November 2013 
 
 

 

SEKILAS RIWAYAT MARIBAYA JASINGA DAN PANGERAN SURYAKANCANA

STORY OF MARIBAYA JASINGA AND THE PRINCE OF SURYAKANCANA

Maribaya adalah sebuah hutan yang dihuni oleh komplotan perampok yang dipimpin oleh Sembaga dan bermukim di sebuah kobong. 

Maribaya is a forest inhabited by robbers who led by Sembaga and live in a kobong.

Mereka selalu merampok dan menjagal siapa saja yang melintasi daerah tersebut bahkan barang-barang yang dibawa oleh pasukan Banten dan Suryakancana dari Bogor sekalipun.

They always robbed and slaughtered anyone who crossed the area, even goods carried by Banten and Suryakancana troops from Bogor.

Hutan tersebut sangat berbahaya untuk dilewati bagi pasukan Banten maupun Suryakancana, hingga mereka menyebutnya dengan nama hutan Marabahaya, Marabaya atau Maribaya yang berarti di sini tempat berbahaya.

The forest is very dangerous to be passed for Banten and Suryakancana troops, so they call it by the name of the forest Marabahaya (dangerous), or Marabaya or Maribaya which means here a dangerous place.

Pada suatu ketika kedua pasukan tersebut menuju hutan Maribaya dari arah tempat asal masing-masing dan keduanya dipertemukan oleh dalem Cipayaeun. Daerah tempat kedua pasukan itu bertemu dinamakan Samprok (bahasa Sunda = paamprok). 


At one day the two troops headed for the Maribaya forest from the direction of the respective origins and both were met by the Dalem Cipayaeun. The area were the two troops met was called Samprok (Sundanese = paamprok).

Kemudian semuanya berunding tak jauh dari Samprok dan tempat mereka berunding dinamakan Sampiran. Melihat ada sekumpulan beberapa pasukan, Sembaga pun mendekati dan bermaksud merampas barang-barang apa saja yang dibawa kedua pasukan itu. 

Then everyone negotiates not far from Samprok and the place they negotiate called Sampiran. Seeing that there was a group of several troops Sembaga approach and intended to seize whatever items the two troops carried. 

Ketika hendak merampas, Pangeran Suryakancana yang memimpin pasukan dari Bogor itu langsung melawan dan membacok akan tetapi tidak mempan, perkelahian pun semakin seru. 

When Sembaga was about to seize, prince Suryakancana, who led the troops from Bogor, immediately fought and hacked, but did not work, then the fight was even more exciting. 

Berita perkelahian antara komplotan Sembaga dengan pasukan Banten dan Suryakancana itu pun terdengar oleh Wirasinga yang ada di Jasinga dan mengundangnya segera pergi ke Maribaya untuk membantu pasukan Banten dan Suryakancana. 


News of the fight between Sembaga with Banten and Suryakancana troops was heard by Wirasinga in Jasinga and invited him to immediately go to Maribaya to help the Banten and Suryakencana troops. 



Atas restu sesepuh Janglapa, Ibu Ratu memerintahkan Wirasinga untuk menghabisi Sembaga. Ketika Pangeran Suryakancana hendak membacok Sembaga, seketika itu Wirasinga menghalanginya.

On the blessing of Janglapa elders, the queen mother ordered Wirasinga to finish off Sembaga. When the prince of Suryakancana was about to hack Sembaga Wirasinga immediately blocked him.

Wirasinga menghalangi dan berkata, “ Biarlah kakang Suryakancana, biar aku yang akan menghabisinya “. “ Silakan Wirasinga “, jawab Pangeran Suryakancana. Seketika itu pula Sembaga tewas ditusuk oleh Wirasinga dengan keris miliknya. Kepala Sembaga putus ditebas hingga terpental ke arah Janglapa dan badannya berada di Samprok atau Janglapa Cinengah. Sejak Sembaga tewas, daerah pertempuran itu masih dinamakan maribaya.

Wirasinga interfered and said, "Let brother Suryakencana, let me finish him". "Please Wirasinga", answered prince Suryakancana. Instantly Sembaga died stabbed by Wirasinga with his keris. Sembaga's head was cut down until it bounced toward Janglapa and his body was in Samprok or Janglapa Cinengah. Since Sembaga died the area of battle was still called the Maribaya.

Maribaya yang diceritakan bukan perkampungan yang saat ini dihuni penduduk, tetapi dahulu berada di sisi sungai Cidurian yang bernama Leuwi Jasar.

Maribaya is not a settlement that is currently inhabited by the residents, but it used to be on the side of the Cidurian river named Leuwi Jasar.

Wirasinga mengajak Pangeran Suryakancana dan Banten untuk singgah ke Jasinga sekaligus merayakan atas kemenangan pertempuran di Maribaya. Dalam perjalanan menuju Jasinga banyak penduduk yang melihat iring-iringan pasukan tersebut dan tampak seekor singa memimpin di depan yang sebenarnya ia adalah Dalem Wirasinga.

Wirasinga invited prince Suryakancana and Banten to stop at Jasinga while celebrating the victory of the battle in Maribaya. on the ways to Jasinga many residents saw the convoy of troops and a lion was seen leading in front of what he actually was Dalem Jasinga.


Cariosan Riwayat Maribaya

KALAKAY JASINGA

SI PECAK JEUNG SI BURVT


Tradisi Caritaan Barudak Jasinga yang diceritakan kepada anak-anak oleh orang dewasa, yang dilaksanakan pada malam hari ketika berkumpul di pelataran rumah atau tempat-tempat ronda. 


Caritaan ini kebanyakan bersifat jenaka. Penyajian sengaja dengan bahasa aslinya agar arti dan makna nya tidak berubah.


SI PECAK JEUNG SI BURVT

Sore-sore Si Burvt ulin ka imahna Si Pecak


Si Burvt   : "Pecaak". Ngagero di hareup imah

Si Pecak  : "Uuuuy, aing dijerooo". Pecak ngabales

Si Burvt   : "Heh Pecak, urang ka sawah yuk, ngala kalapa !". Burvt ngajakan

Si Pecak  : "Mbunglah, geus rek magrib Rut".

Si Burvt   : "Alah maneh Cak, mani kugaya! Maneh mah rek beurang tau peuting ge tetep peuting. Kajenlah Cak nke jeung maneh dua siki aing mah hiji be. Jeung deui maneh ges lila tara nginum cai kalapa deui". Si Burvt ngoloan Si Pecak.

Si Pecak : "Bener oge nyah, hayu atuh". Ceuk Si Pecak bari jeung siap siap mangkat


Si Pecak jeung Si Burvt barangkat ka sawah. Si Burvt dihareupeun, Si Pecak di tukangeun Si Burvt.


Si Pecak  : "Geura naek Rut, Aing geus aus yeuh". Ceuk Si Pecak

Si Burvt   : "Cak, pan aing mah teu bisa naek tangkal kalapa". Si Burvt karak engeuh manehna teu bisa naek kalapa

Si Pecak  : "Nggeus geura naek bae, kos monyet". Si Pecak nitahan ka Si Burvt bari ngelusan tikorona

Si Burvt   : "Heu geh aing nyobaan lah". Bari ngalipetkeun sarungna jeung ngabayangkeun monyet keur naek kalapa


Akhirna Si Burvt naek, tapi kunaon tisaprak eta, Si Burvt eweuh soraan, najan digeuroan ge ku Si Pecak. Si Pecak panasaran ko Si Burvt digeroan titadi teu nyahut-nyahut. 

Kusabab Si Pecak ges teukuat auseun, manehna naek oge kana tangkal kalapa nu ditaekan ku Si Burvt. 

Lalahunan Si Pecak naekna, bari leungeuna ngarabaan luhureun sirahna ges nepi apa ncan. Pas rada luhur, lengeun Si Pecak akhirna ngageurewek eta kalapa. 


"Benang sia ku aing". Ceuk Si Pecak bungah
Teu lila Si Pecak ngomong deui ...

"Ieu kalapana ko bie nyah?". Ceuk Si Pecak bari panasaran


Teu lila kaluar cai dina eta kalapa ... diasaan ku Si Pecak


"Cai kalapa ko kieu amat?", kusabab Si Pecak geus lila tara nginum cai kalapa, poho deui kana rasana. 

"Wah cengkir ieu mah kalapana". Si Pecak ngomong sorangan


Teu lila eta kalapa di dudut ku Si Pecak, dipulintirkeun hela eta kalapa mbeh gampang didudutna. 

Geus kitu, pas didudut aya suara ngagoak, nyaeta suara Si Burvt. Tapi eta kalapa kaburu kagol kadudut ku Si Pecak. 

Terus Si Burvt ragag, lengeun Si Burvt nyeukelan ka lengeun Si Pecak. Ju be duanana ragag ...

GUBRAGGGGGGG !

"Adawwww ...". Si Burvt jeung Si Pecak ngagoak

Si Burvt  : "Pecak sia mah kabina-bina eta aing di krewek ku sia". Si Burvt ngambek

Si Pecak : "Aing teu nyaho eta sia, ja eweh soraan, atu sia cicing bae ku aing digeroan geh".

Si Burvt  : "Aing sieun pas diluhur, inggis Cak, aing pereum be di luhur. Aing teu nyaho sia horeng miluan nerekel naek. terus aing kiih ja sieun ges diluhur teubisa kahandap dei.

Terus si pecak buru-buru lumpat ka cai kusabab awakna baseuh ku kiih si burvt.

Selesai.




Kalakay Jasinga

PANCEUR PANGAWINAN GURADOG JASINGA


Pancer Pangawinan di Guradog didirikan oleh seorang Tokoh yang bernama Ki Demang Haur Tangtu atau nama lain Dalem Tangtu Awileat. Ki Demang Haur Tangtu (Dalem Tangtu Awileat) adalah salah satu Pimpinan dari Pasukan Bareusan Pangawinan selain dari 2 tokoh lainnya yaitu Guru Alas Lumintang Kendungan dan Puun Buluh Panuh.

Ke tiga tokoh ini, yaitu Ki Demang Haur Tangtu, Guru Alas Lumintang Kendungan dan Puun Buluh Panuh yang di tugaskan oleh Prabu Siliwangi (Ragamulya Suryakencana) pada tahun 1579 untuk menyelamatkan Hanjuang Bodas dari serbuan Pasukan Banten. Setelah mendapat tugas tersebut, ketiganya bersama sang raja segera mundur dari Pakuan (ibukota) Padjajaran ke arah selatan, ke sebuah tempat yang disebut Tegal Buleud dan membagi-bagi pengikutnya dalam kelompok-kelompok kecil dan memberi kebebasan kepada para pengikutnya tersebut untuk memilih jalan hidup masing-masing. Sementara itu, ketiga pimpinan Bareusan Pangawinan bertekad untuk kembali ke dayeuh (kota) yang telah ditinggalkan.

Dalam perjalanan menuju Dayeuh, ketiga pimpinan Bareusan Pangawinan sepakat untuk berpisah dan menempuh jalan hidup masing-masing, tetapi tetap memelihara hubungan satu dengan Iainnya. Perjalanan hidup Guru Alas Lumintang Kendungan dan Puun Buluh Panuh selanjutnya tidak diceritakan dengan jelas. Sedangkan Ki Demang Haur Tangtu akhirnya menetap di daerah Guradog (Jasinga) hingga akhir hayatnya. 

Kuburan Ki Demang Haur Tangtu sekarang ini dikenal dengan sebutan Makam Dalem Tangtu Awileat. Di Kampung Guradog ini Ki Demang Haur Tangtu mempunyai keturunan, yaitu warga yang sekarang bertempat tinggal di daerah Citorek dan dikenal dengan sebutan kasepuhan. Dan turunan Ki Demang Haur Tangtu inilah asal muasal berkembangnya kelompok sosial Kasepuhan. 

Dalam cerita rakyat daerah Cisolok disebutkan bahwa Ki Demang Haur Tangtu memperistri Nini Tundarasa, seorang gadis dari Kampung Kaduluhur. Nini Tundarasa inilah yang dianggap sebagai leluhur atau nenek moyang warga Kasepuhan Ciptagelar. Setelah menjadi satu di antara beberapa istri Ki Demang Haur Tangtu, Nini Tundarasa pindah dari Kampung Kaduluhur ke Kampung Guradog. Selanjutnya, keturunan mereka berpindah-pindah tempat tinggal dari satu tempat ke tempat lainnya.

Dalam perjalanan sejarahnya, warga kasepuhan telah berpindah beberapa kali tetapi tetap berada di sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Awal perpindahan dimulai dari Ieluhur mereka, yaitu Nini Tundarasa yang pindah dari Kampung Kaduluhur ke Kampung Guradog. Di kampung Guradog ini masih bisa ditemukan Tradisi-tradisi seperti Serentaun dsb. Selain itu masih bisa kita jumpai di kampung ini para sepuh (kokolotnya) masih menggunakan iket kepala. Meski sudah ada pengaruh modernisasi, bahkan untuk para pemudanya meski iket tidak dipakai tetapi mereka kerap membawa iket karena itu ciri menurut mereka. 


++Kalakay Jasinga++

Pernah di posting di Facebook pada 5 juni 2015 
 
 

 

7 AJARAN SUNDA DAN FATWA RAJA PURNAWARMAN

Dikisahkan bahwa pada dahulu kala dimana saat itu Raja Kerajaan Tarumanegara yang termasyur, yaitu Raja Purnawarman memberikan fatwa kepada masyarakatnya dengan pembagian wilayah-wilayah yang diprioritaskan sesuai 7 ajaran sunda. 

Tujuh Ajaran Sunda tersebut adalah Pangawinan, Parahyang, Bongbang, Singa Bapang, Gajah Lumejang, Sungsang Girang dan Sungsang Hilir. 

Istilah-istilah 7 ajaran Sunda tersebut memiliki arti dan fungsi yang berbeda-beda.

Pangawinan atau kawinan berarti dua sifat dalam satu tubuh, kesetaraan gender. Di pangawinan ini terdiri dari 40 keluarga dan satu keluarga pemimpin. Berpakaian warna putih, rumah tinggal mereka menuju satu arah, penghidupan membuat anyam-anyaman. 

Adapun arti putih adalah bersih, punya i'tikad untuk hidup berjiwa bersih. Anyam-anyaman disimpulkan bahwa walaupun berasal dari helai yang lemah tapi kalau disusun akan kokoh dan berguna. Mereka merasa yakin tak ada batu karang yang kuat yang bisa menahan aliran satu arus yang kuat. Wilayah pangawinan diperkirakan di daerah Ngasuh.

Parahyang yang terdiri dari kata Para yang berarti banyak dan kata Hyang yang berarti menghilang. Wilayah Parahyang ini mempunyai prioritas ajaran bahwa harus berani mengakui dan berbuat jujur apa saja yang telah hilang dari dirinya. Wilayah Parahyang ini diperkirakan di daerah Cileles.
    

Bongbang diartikan pohon-pohon di dalam hutan yang ditebang atau dibabad terang, artinya masyarakat Sunda harus mau membersihkan diri dari dosa. Baik dosa kecil maupun dosa yang besar. Wilayah Bongbang ini diperkirakan di daerah Sajira (Fatsajira).

Singa Bapang Diambil dari seekor singa yang biasanya setelah mengambil sikap dia tidak melihat ke kiri atau ke kanan. Bapang berarti teguh pendirian. Wilayah Singa Bapang ini diperkirakan di daerah Cikareo.

Gajah Lumejang diambil dari sifat gajah yang apabila seekor gajah bangun tak bisa cepat berdiri tetapi disaat berdiri sulit untuk dirubuhkan. Selanjutnya menjadi lambang pendidikan (Ganesha, lambang pasti). Wilayah Singa Bapang ini diperkirakan di Parung Kujang, Gunung Kencana.


Sungsang Girang mempunyai arti berani melihat ke belakang untuk dijadikan cermin. Mempelajari masa lalu dan diambil hikmahnya. Wilayah Sungsang Girang ini diperkirakan di daerah Sogong, Bayah.

Sungsang Hilir mempunyai arti harus bisa melihat ke masa depan, berpedoman, tidak sembarang melangkah ke depan. Kebiasaan di wilayah tersebut biasanya mengolah seni. Wilayah Sungsang Hilir ini diperkirakan di daerah Cibarena, Pelabuhan Ratu.

Konon katanya tradisi bagi orang Sunda yang ingin memperdalam 7 ajaran Sunda ini, diharuskan napak tilas ke semua 7 wilayah tersebut dan menetap dimasing-masing wilayah beberapa waktu untuk menerima ajaran dari ketua adat masing-masing wilayah tersebut. 



Kalakay Jasinga
 
Sumber : Alm. Bapak Agus Jamaludin



DIBALIK KISAH DESA ARGAPURA DAN NYAI RENGGANIS


Dikisahkan pada sebuah desa di kaki bukit, hidup seorang Pandita bernama Ki Argapura yang memiliki seorang putri yang cantik jelita yang bernama Nyai Rengganis. 



Ada gula ada semut, inilah yang dialami oleh Nyai Rengganis dimana banyak sekali yang ingin mempersunting putri Ki Argapura tersebut untuk dijadikan istri.  

Banyak para bangsawan, pemimpin negeri, saudagar dan pendekar yang datang ke desa tersebut hanya ingin melihat kecantikan Nyai Rengganis dan memohon restu kepada Ki Argapura, namun tidak satupun lamaran mereka diterima.

Penolakan Nyai Rengganis dikarekan dia tidak merasa ada yang cocok untuk dirinya dan membuat bingung Ki Argapura. 

Bahkan banyak dari mereka yang melamar menggunakan cara pemaksaan dan kekerasan agar bisa disetujui oleh Ki Argapura, sehingga hal inilah yang mengganggu pikiran ayahnya Nyai Rengganis.

Untuk mengatasi hal yang tidak diinginkan dan karena sayang kepada putrinya maka Ki Argapura membawa pergi Nyai Rengganis di malam hari disertai dengan hujan yang sangat lebat. 

Kepergian mereka tidak ada seorang pun yang tahu, hingga akhirnya keberadaan mereka tidak diketahui lagi seperti menghilang begitu saja bagai ditelan bumi.

Para bangsawan, Pemimpin negeri, Saudagar dan Pendekar yang mencintai Nyai Rengganis yang cantik jelita tersebut sangat kehilangan Nyai rengganis dan Ki Argapura yang akhirnya dikenanglah  daerah tersebut dengan nama Desa Argapura dan Gunung Rengganis (Raganis).


KALAKAY JASINGA

































PERBEDAAN BAHASA SUNDA PRIANGAN DAN SUNDA BANTEN


THE DIFFERENCE OF SUNDA PRIANGAN AND SUNDA BANTEN

Bahasa Sunda yang berada di Banten, serta yang berada di daerah Priangan (Garut, Tasikmalaya, Bandung, dll.) memiliki beberapa perbedaan. Mulai dari dialek pengucapannya, sampai beberapa perbedaan pada kata-katanya. 


Sundanese in Banten, as well as those in the Priangan area (Garut, tasik Malaya, bandung, etc.) have some differences. Starting from a dialect of the pronunciation to some differences in the words.

Bahasa Sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, Bahasa Sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuna. 

Sundanese in Banten also generally does not recognize level, still seems to have a close relationship with Old Sundanese.

Namun oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan (Priangan), Bahasa Sunda Banten (Rangkasbitung, Pandeglang, Lebak) digolongkan sebagai bahasa Sunda kasar. 

But by the majority of people who speak Sundanese who have levels (Priangan), Sundanese Banten (Rangkasbitung, Pandeglang, Lebak) is classified as a coarse Sundanese language.

Secara prakteknya, Bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai Bahasa Sunda dialek Barat. Pengucapan bahasa Sunda di Banten umumnya berada di daerah Selatan Banten (Lebak, Pandeglang).

In practice, Banten Sundanese is classified as Western Sundanese dialect. Sundanese pronunciation in Banten is generally located in the southern area of Banten (Lebak, Pandeglang).


Berikut beberapa contoh perbedaannya: 

Bahasa Indonesia/Bahasa Sunda(Banten)/Bahasa Sunda(Priangan) 

Sangat/ jasa /pisan 
Dia/ nyana/ anjeunna 
Susah/gati/ hese 
Seperti /doang /siga 
Tidak pernah/ tilok /tara 
Saya/ aing /abdi 
Mereka /maraneh /aranjeuna 
Melihat /noong ningali/nenjo 
Makan /hakan /tuang dahar 
Kenapa/ pan/ naha 
Singkong/ dangdeur /sampeu 
Tidak mau/ embung/endung/ alim 
Belakang /Tukang/ Pengker 
Repot /haliwu /rebut 
Baju /Jamang/ Acuk 
Teman /Orok /Batur

Here are some examples of the differences :

Indonesian/Sundanese (Banten)/Sundanese (Priangan)

Sangat/ jasa /pisan 
Dia/ nyana/ anjeunna 
Susah/gati/ hese 
Seperti /doang /siga 
Tidak pernah/ tilok /tara 
Saya/ aing /abdi 
Mereka /maraneh /aranjeuna 
Melihat /noong ningali/nenjo 
Makan /hakan /tuang dahar 
Kenapa/ pan/ naha 
Singkong/ dangdeur /sampeu 
Tidak mau/ embung/endung/ alim 
Belakang /Tukang/ Pengker 
Repot /haliwu /rebut 
Baju /Jamang/ Acuk 
Teman /Orok /Batur


Contoh perbedaan dalam kalimatnya seperti:

Ketika sedang berpendapat,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Jeuuuh aing mah embung jasa jadi doang jelma nu kedul!"

Sunda Priangan: "Ah abdi mah alim janten jalmi nu pangedulan teh!"

Bahasa Indonesia: "Wah saya sangat tidak mau menjadi orang yang malas!"

Examples of differences in sentences such as :

While in opinion, 

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Jeuuuh aing mah embung jasa jadi doang jelma nu kedul!"

Sunda Priangan: "Ah abdi mah alim janten jalmi nu pangedulan teh!"



Bahasa Indonesia: "Wah saya sangat tidak mau menjadi orang yang malas!


Ketika mengajak kerabat untuk makan,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Teh Eka, maneh arek hakan teu?"

Sunda Priangan: "Teh Eka, badé tuang heula?"

Bahasa Indonesia: "(Kak) Eka, mau makan tidak?"

While inviting relatives to eat,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Teh Eka, maneh arek hakan teu?"

Sunda Priangan: "Teh Eka, badé tuang heula?"



Bahasa Indonesia: "(Kak) Eka, mau makan tidak?"


Ketika sedang berbelanja,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Lamun ieu dangdeur na sabarahaan mang? Tong mahal jasa."

Sunda Priangan: "Dupi ieu sampeu sabarahaan mang? Teu kénging awis teuing nya"

Bahasa Indonesia: "Kalau (ini) harga singkongnya berapa bang? Jangan kemahalan."


While shopping,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Lamun ieu dangdeur na sabarahaan mang? Tong mahal jasa."

Sunda Priangan: "Dupi ieu sampeu sabarahaan mang? Teu kénging awis teuing nya"


Bahasa Indonesia: "Kalau (ini) harga singkongnya berapa bang? Jangan kemahalan."


Ketika sedang menunjuk,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Eta diditu maranehna orok aing"

Sunda Priangan: " Eta palih ditu réréncangan abdi. "

Bahasa Indonesia: "Mereka semua (di sana) adalah teman saya"

While pointing,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Eta diditu maranehna orok aing"

Sunda Priangan: " Eta palih ditu réréncangan abdi. "



Bahasa Indonesia: "Mereka semua (di sana) adalah teman saya"



Meski berbeda pengucapan dan kalimat, namun bukan berarti beda bahasa, hanya berbeda dialek. Berbeda halnya dengan bahasa Sunda Priangan yang telah terpengaruh dari kerajaan Mataram. 

Although difference pronunciation and sentence, but  it does not mean different languages, only different dialects. Unlike the case with the Sundanese language Priangan which has been influenced by the Kingdom of Mataram.

Hal itu yang menyebabkan bahasa Sunda Priangan memiliki beberapa tingkatan. Sementara bahasa Sunda Banten, tidak memiliki tingkatan. 

That is why the Sundanese Priangan language has several levels. While the Sundanese Banten language does not have levels.

Penutur aktif bahasa Sunda Banten saat ini, contohnya adalah orang-orang Sunda yang tinggal di daerah Banten bagian selatan (Pandeglang, Lebak). 

Active speakers of Banten Sundanese right now, for example, are Sundanese who live in the southern part of Banten (Pandeglang, Lebak).

Sementara masyarakat tradisional pengguna dialek ini adalah suku Baduy di Kabupaten Lebak.

While the Traditional community of dialect users is the Baduy in Lebak Regency.

Wilayah Utara Banten seperti Serang umumnya menggunakan bahasa campuran (multi-bilingual) , antara bahasa Sunda dan Jawa.

The northern region of banten like Serang generally uses a mixed (Multi bilingual), language between Sundanese and Javanese. 




Kalakay Jasinga