Pada masa pendudukan Jepang di Jasinga sekitar tahun 1942
seluruh pabrik karet Kolonial Belanda di Jasinga dan Cimaraca dirusak dan
dikuasai, dampak lainya juga tidak beroperasinya pabrik-pabrik milik swasta.
Seperti pabrik minyak sereh yang berada di Janglapa di sebelah utara wilayah Jasinga yang bangkrut ditinggalkan pemiliknya dan meninggalkan buruh – buruh pabrik yang mayoritas adalah warga etnis Tionghoa yang didatangkan dari Tangerang.
Mereka terdiri dari beberapa kepala keluarga tinggal di tempat seadanya di pinggiran desa.
Seperti pabrik minyak sereh yang berada di Janglapa di sebelah utara wilayah Jasinga yang bangkrut ditinggalkan pemiliknya dan meninggalkan buruh – buruh pabrik yang mayoritas adalah warga etnis Tionghoa yang didatangkan dari Tangerang.
Mereka terdiri dari beberapa kepala keluarga tinggal di tempat seadanya di pinggiran desa.
Haji Sanusi yang saat itu menjabat Kepala Desa Bagoang
tergugah untuk memindahkan mereka ke suatu tempat di wilayahnya.
Mereka lalu mendapatkan tempat di Kampung Tarisi Desa Bagoang yang berada di pinggir Jalan antara Jasinga – Tenjo. Masyarakat Tionghoa ini bermarga Tan yang menganut agama leluhurnya , dan penduduk asli desa Bagoang menerimanya dan hidup bertoleransi.
Masyarakat Jasinga menyebut penduduk kampung itu dengan sebutan Cina Tarisi. Ada beberapa dari mereka yang mempunyai keahlian sebagai pandai besi tempa.
Mereka lalu mendapatkan tempat di Kampung Tarisi Desa Bagoang yang berada di pinggir Jalan antara Jasinga – Tenjo. Masyarakat Tionghoa ini bermarga Tan yang menganut agama leluhurnya , dan penduduk asli desa Bagoang menerimanya dan hidup bertoleransi.
Masyarakat Jasinga menyebut penduduk kampung itu dengan sebutan Cina Tarisi. Ada beberapa dari mereka yang mempunyai keahlian sebagai pandai besi tempa.
Pemerintah Jepang saat itu mememinta kepada Haji Sanusi
selaku kepala Desa Bagoang agar dapat memenuhi kebutuhan tentara Jepang berupa
pisau Bayonet ( Pisau pada ujung
senapan ).
Haji Sanusi menunjuk Tan Cheng Liem dan kawan – kawannya untuk membuatkan beberapa pisau bayonet. Beberapa pisau Bayonet yang memenuhi standar tentara Jepang lalu dibawanya untuk kebutuhan perang.
Haji Sanusi menunjuk Tan Cheng Liem dan kawan – kawannya untuk membuatkan beberapa pisau bayonet. Beberapa pisau Bayonet yang memenuhi standar tentara Jepang lalu dibawanya untuk kebutuhan perang.
Pada bulan Agustus tahun 1945 Jepang menyerah tanpa syarat
oleh pasukan Sekutu dan pergi ke negerinya, saat itu pesanan pisau bayonet
tidak ada lagi, Haji Sanusi berinisiatif agar kegiatan pembuatan pisau
dilanjutkan dan menggantinya dengan membuat Bedog atau Golok.
Golok buatan Tan Cheng Liem mempunyai bentuk dan hiasan yang khas dan bercorak campuran pribumi dan Tionghoa (Cina) dan lebih populer dengan nama Bedog Ceng Lim atau Golok Ceng Lim.
Golok dari kampung Tarisi ini masih bertahan hingga kini, pada perkembangannya tidak saja golok yang dibuat tetapi pisau dapur dan pisau raut. Setelah Tan Cheng Liem wafat, kerajinan golok diteruskan oleh putranya, Tan Soe Hay.
Golok buatan Tan Cheng Liem mempunyai bentuk dan hiasan yang khas dan bercorak campuran pribumi dan Tionghoa (Cina) dan lebih populer dengan nama Bedog Ceng Lim atau Golok Ceng Lim.
Golok dari kampung Tarisi ini masih bertahan hingga kini, pada perkembangannya tidak saja golok yang dibuat tetapi pisau dapur dan pisau raut. Setelah Tan Cheng Liem wafat, kerajinan golok diteruskan oleh putranya, Tan Soe Hay.
(Sumber : Alm. Bpk.Ukay Sukari Desa Bagoang)
salam, terima kasih atas informasi yang sangat bermanfaat. bagaimana saya mengetahui lebih lanjut dan mendalam mengenai kampung cina desa tarisi ini?
BalasHapus