Uga Jasinga

"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong hejo anu bahanna aya di leuwi curug, leuwi sangiang jeung nu sawarehna aya di girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung nu engke katelahna awi tangtu. Didinya bakal ngadeg gedong hejo di tonggoheun leuwi sangiang" * TiKokolot Jasinga*.
Tampilkan postingan dengan label KESENIAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KESENIAN. Tampilkan semua postingan

SEKILAS PAMOR GUNUNG ANGSANA, JASINGA


Gunung Angsana adalah sebutan sebuah bukit  bernama angsana yang berada di Utara Jasinga tepatnya di wilayah Desa Setu Kecamatan Jasinga menyimpan berbagai cerita. 

Menurut penuturan beberapa warga dan sesepuh sekitar Jasinga Gunung Angsana adalah patilasan Eyang Taji Malela dan Taji Wangsa dari Kerajaan Sumedanglarang yang ketika itu melakukan pertemuan dengan para pembesar Jasinga. 



Petilasan yang berada di puncak bukit ini berupa medan datar yang cukup luas dan terdapat dua buah batu nisan disalah satu sisinya. Di atas bukit ini kita dapat melihat hamparan pemandangan alam yang indah.


Di puncak bukit ini, dari dulu hingga sekarang masih dilakukan ritual-ritual para pelaku seni tradisional dari Desa Cikopomayak dan Bagoang berupa pemanjatan doa-doa tertentu agar diberikan keselamatan, keberkahan dan agar kesenian di Jasinga  tetap lestari yang dilakukan pada saat matahari terbit. 

Diceritakan pula bahwa Eyang Taji Malela dan Taji Wangsa adalah orang sakti dan pecinta seni Sunda.



Mitos Batu Bilik dan Ular Naga Raksasa masih melekat, hingga siapa saja yang menaiki bukit ini harus berhati-hati dan selalu mengingat Yang Maha Kuasa agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.



Cerita lain adalah ketika masa pendudukan Jepang di Jasinga sekitar tahun 1942, selain seluruh pemuda di tiap desa harus mengikuti  Kaibodan (latihan bela negara) pemerintahan Jepang. 

Para Pemuda juga dipekerjakan membuat cubluk-cubluk (lubang galian dan parit untuk persembunyian dan pertahanan tentara Jepang) di Gunung Angsana dan bukit Pasir Bayah (sebelah barat Desa Jasinga). Para pekerja mendapat upah harian berupa sedikit nasi dibungkus daun dan  ikan asin. Pemuda-pemuda ini didatangkan diantaranya dari Desa Koleang  dan Curug.



KALAKAY JASINGA 










SULING BUHUN JASINGA

Suling buhun jasinga adalah salah satu jenis suling yang berada di Jasinga yang saat ini sangatlah langka ditemukan. 

    Tidak banyak referensi-referensi tentang suling ini yang diceritakan oleh kokolot, sehingga kami mengalami kesulitan untuk menggali informasi peri hal tentang suling jenis ini. Seperti halnya dalam percarian kami, wilayah utara Jasinga (kaler) kerap kali dihubungkan dengan wilayah kesenian. 

     Mungkin benarlah demikian yang menurut kokolot, dikabarkan bahwa dahulu kala wilayah kaler jasinga tersebut terkenal dengan daerah dengan jiwa-jiwa seni. Seperti yang telah kami posting sebelumnya “Alat musik tradisional Elet atau Taleot/Toleat”, informasi tentang Suling Buhun Jasinga kami dapatkan dari Bapak Sarmani yang beralamat di Kampung Ciangkrih Desa Cikopomayak Kecamatan Jasinga. 

     Diceritakan oleh beliau kepada kami pada tahun 2015, bahwa Suling Buhun Jasinga ini berbeda dengan suling sunda pada umumnya yang sering digunakan untuk kacapian atau degung karawitan. 

     Untuk jenis suling kecapian atau untuk degung karawitan, orang jasinga menyebutnya dengan suling degung atau suling pancasan (dinamakan pancasan karena dibuat di daerah Pancasan, Bogor). Kedua jenis suling tersebut di Jasinga tepatnya di Cikopomayak dan Bagoang masih dibuat walau pun hanya beberapa orang saja yang masih bisa membuatnya.

Bahan yang digunakan untuk membuat suling buhun jasinga ini adalah terbuat dari jenis awi tamiyang (bambu tamiyang) atau dalam bahasa Latin Schizostachyum Blumei

    Bambu jenis tamiyang ini terdapat di daerah Kampung Karawang yang termasuk dalam wilayah Desa Cikopomayak Kecamatan Jasinga. Bambu ini berada di kebun bambu yang berada di tepi sungai kecil dan masih dianggap angker  keberadaannya, untuk mengambilnya pun harus mengikuti tradisi leluhur yaitu membaca doa terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan memainkan suling berupa lagu Kawih Kidung Rahayu atau Buah Kawung.

Ukuran suling buhun jasinga ini relatif, tergantung besar kecilnya ukuran yang diinginkan. Cara pembuatannya mengikuti cara penghitungan tradisional (bukan ukuran matematis); pertama-tama adalah mengukur lingkar diameter bambu dengan tali, bila didapatkan panjang dari diameter  tersebut, penghitungan dimulai dari ujung pangkal peniup tepatnya di lubang pembuangan hingga ujung bawah diukur dengan panjang tali diameter,  hingga 7,5 lipat panjang diameter dan diberi titik pada titik ke 3 dan 4 ( dibuat untuk 3 lubang), 5 dan 6 (untuk 3 lubang), jika tepat mengukurnya maka suara yang didapat tidak akan sumbang atau dengan istilah “Silung”.


  Nada yang dihasilkan oleh suling buhun jasinga ini berupa laras salendro, pelog dan madenda. Akan tetapi pemain suling pada waktu itu tidak mengetahui nama-nama laras tersebut, yang terpenting bagi mereka adalah bisa memainkan lagu atau kawih sunda. 

   Tali pengikatnya atau disebut dengan sewer menggunakan daun baralak (daun kelapa yang agak kering), menurut orang tua dahulu daun  baralak  yang bagus yaitu dari daun kelapa yang telah tersambar petir.

Data pemain suling buhun yang mahir pada waktu itu (sekitar awal tahun 1970-an) adalah Bapak Mardan, Bapak Sarudin dan Bapak Sarmani dari Desa Bagoang, Jasinga.  

    Mereka meyakini bahwa jika ingin pandai dan mahir memainkan suling harus berziarah terlebih dahulu ke Makam Buyut Satir yang berada di dekat pesawahan Bagoang.  

Menurut penuturan narasumber, Buyut Satir adalah seorang seniman dan juga memiliki kesaktian. Lagu atau kawih yang sering dimainkan para pemain suling ini berupa lagu-lagu klasik seperti Buah Kawung, Mangle, Polostomo, Gaya-gaya, Sorban Palid, Uwa atau pada saat sekarang ini yang populer adalah kawih Talak Tilu.



Dari Kami 
Kalakay Jasinga





ALAT MUSIK TRADISIONAL BAMBU ELET ATAU TALEOT/TOLEAT


Elet atau Taleot/Toleat termasuk alat musik tradisional langka yang terbuat dari bahan bambu, karena jarang sekali ditemukan apalagi dijual untuk umum.  Alat musik ini berada di daerah tertentu di wilayah Sunda Banten seperti  Pandeglang dan Lebak (Rangkasbitung).  

Elet masih ditemukan di daerah Jasinga (Bogor Barat) sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah Banten yaitu di Desa Cikopomayak dan Bagoang. 

Penelusuran kami tentang alat musik ini awal mulanya sangat sulit ditemukan keberadaannya, yang pada akhirnya kami menemukan di Desa Bagoang dan Desa Cikopomayak. Bapak Sita di Desa Bagoang dan Bapak Sarmani di Desa Cikopomayak yang masing-masing masih menyimpan alat musik ini. 

Ketika kami nyaba ke rumahnya, beliau-beliau pun sangat senang dan memperagakan bagaimana alat musik ini dimainkan diiringi candaan-candaan dan kisah masa lalunya. 

Elet terbuat dari bahan ujung bambu, dari jenis bambu tali yang berukuran kecil berdiameter  kurang lebih 2 cm dan panjangnya 20 cm. Elet mempunyai lima buah lubang untuk penjarian, ujung bambu bagian atas disumbat dengan kayu ambon dan diberi lubang peniup,  sedangkan ujung bagian bawah yang berupa batas buku bambu dilubangi sebagai lubang udara keluar.  


Elet mempunyai nada tradisional sunda  berupa laras salendro.  Cara meniup tradisionalnya  dengan cara “ngalamus” yaitu meniup tanpa putus walaupun sedang bernafas. Berlatih  dengan tehnik "ngalamus" ini sangatlah sulit sekali dan memerlukan waktu latihan yang cukup lama untuk bisa memainkannya dengan normal.  

Lagu yang biasa  dimainkan oleh pemain Elet  Jasinga terutama di Desa Cikopomayak dan Bagoang ini adalah berjudul Buah Kawung dan kami pun terkesan ketika beliau-beliau ini memainkannya.

Menurut Bapak Sita dan Bapak Sarmani, dahulu Elet berfungsi untuk menghibur diri dan dimainkan secara individu, dimainkan oleh penggembala kerbau atau mereka yang sedang mengisi waktu kosong di kebun atau di sawah. 

Elet yang merupakan alat musik tradisional dengan bahasa universalnya menjadikan pe-er bagi kita semua terutama masyarakat Jasinga dan sekitarnya untuk dapat melestarikannya.  



Dari kami 
Kalakay Jasinga