Suling buhun jasinga
adalah salah satu jenis suling yang berada di Jasinga yang saat ini sangatlah
langka ditemukan.
Tidak banyak referensi-referensi tentang suling ini yang diceritakan oleh kokolot,
sehingga kami mengalami kesulitan untuk menggali informasi peri hal tentang
suling jenis ini. Seperti halnya dalam percarian kami, wilayah utara Jasinga
(kaler) kerap kali dihubungkan dengan wilayah kesenian.
Mungkin benarlah
demikian yang menurut kokolot, dikabarkan bahwa dahulu kala
wilayah kaler jasinga tersebut terkenal dengan daerah dengan jiwa-jiwa seni. Seperti yang
telah kami posting sebelumnya “Alat musik tradisional Elet atau Taleot/Toleat”,
informasi tentang Suling Buhun Jasinga kami dapatkan dari Bapak Sarmani yang
beralamat di Kampung Ciangkrih Desa Cikopomayak Kecamatan Jasinga.
Diceritakan
oleh beliau kepada kami pada tahun 2015, bahwa Suling Buhun Jasinga ini berbeda dengan suling sunda pada
umumnya yang sering digunakan untuk kacapian atau degung karawitan.
Untuk jenis
suling kecapian atau untuk degung karawitan, orang jasinga menyebutnya dengan
suling degung atau suling pancasan (dinamakan pancasan karena dibuat di daerah
Pancasan, Bogor). Kedua jenis suling tersebut di Jasinga tepatnya di Cikopomayak
dan Bagoang masih dibuat walau pun hanya beberapa orang saja yang masih bisa
membuatnya.
Bahan yang
digunakan untuk membuat suling buhun jasinga ini adalah terbuat dari jenis awi tamiyang
(bambu tamiyang) atau dalam bahasa Latin Schizostachyum Blumei.
Bambu jenis tamiyang ini terdapat di daerah Kampung
Karawang yang termasuk dalam wilayah Desa Cikopomayak Kecamatan Jasinga. Bambu
ini berada di kebun bambu yang berada di tepi sungai kecil dan masih dianggap
angker keberadaannya, untuk mengambilnya pun harus mengikuti tradisi
leluhur yaitu membaca doa terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan memainkan
suling berupa lagu Kawih Kidung Rahayu
atau Buah Kawung.
Ukuran suling
buhun jasinga ini relatif, tergantung besar kecilnya ukuran yang diinginkan. Cara pembuatannya mengikuti cara penghitungan
tradisional (bukan ukuran matematis); pertama-tama adalah mengukur lingkar
diameter bambu dengan tali, bila didapatkan panjang dari diameter tersebut, penghitungan dimulai dari ujung pangkal
peniup tepatnya di lubang pembuangan hingga ujung bawah diukur dengan panjang
tali diameter, hingga 7,5 lipat panjang
diameter dan diberi titik pada titik ke 3 dan 4 ( dibuat untuk 3 lubang), 5 dan
6 (untuk 3 lubang), jika tepat mengukurnya maka suara yang didapat tidak akan
sumbang atau dengan istilah “Silung”.
Nada yang
dihasilkan oleh suling buhun jasinga ini berupa laras salendro, pelog dan
madenda. Akan tetapi pemain suling pada waktu itu tidak mengetahui nama-nama laras tersebut,
yang terpenting bagi mereka adalah bisa memainkan lagu atau kawih sunda.
Tali pengikatnya atau disebut dengan sewer
menggunakan daun baralak (daun kelapa yang agak kering), menurut orang tua
dahulu daun baralak yang bagus yaitu dari daun kelapa yang telah tersambar
petir.
Data pemain
suling buhun yang mahir pada waktu itu (sekitar awal tahun 1970-an) adalah
Bapak Mardan, Bapak Sarudin dan Bapak Sarmani dari Desa Bagoang, Jasinga.
Mereka meyakini bahwa jika ingin pandai dan
mahir memainkan suling harus berziarah terlebih dahulu ke Makam Buyut Satir
yang berada di dekat pesawahan Bagoang.
Menurut penuturan narasumber, Buyut Satir
adalah seorang seniman dan juga memiliki kesaktian. Lagu atau kawih yang sering
dimainkan para pemain suling ini berupa lagu-lagu klasik seperti Buah Kawung,
Mangle, Polostomo, Gaya-gaya, Sorban Palid, Uwa atau pada saat sekarang ini
yang populer adalah kawih Talak Tilu.
Dari Kami
Kalakay Jasinga