Uga Jasinga

"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong hejo anu bahanna aya di leuwi curug, leuwi sangiang jeung nu sawarehna aya di girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung nu engke katelahna awi tangtu. Didinya bakal ngadeg gedong hejo di tonggoheun leuwi sangiang" * TiKokolot Jasinga*.
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan

PERLAWANAN RATU BAGUS BUANG TERHADAP KOMPENI HINGGA AKHIR HAYATNYA MENURUT CATATAN LUAR

Pada bulan Juni hingga Oktober 1752, ketika perlawanan terhadap Kesultanan Banten bentukan Kompeni, mundur dan melarikan diri melintasi Priangan ke Jawa Tengah. Di bulan Juni 1752, tentara VOC melanjutkan serangannya. Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, yang telah meninggalkan wilayah barat Jawa setelah kekalahan perang di Pandegrang pada akhir tahun Juli, kemudian mundur ke wilayah Priangan. Setelah kegagalan penyerangan melawan melawan tentara VOC di Bandung pada bulan Agustus, para pejuang semakin mundur ke Banyumas pada bulan September. Disini, mereka mendapatkan perlawanan dari Bupati Banyumas yang bekerja sama dengan Kompeni, sehingga didorong lebih jauh ke Bagelen, dimana mereka mencoba bergabung dengan pejuang pejuang yang dipimpin Pangeran Arya Mangkubumi yang berperang melawan keponakannya, yaitu Susuhunan Pakubuwana III dari Istana Surakarta Kesultanan Mataram.

Dua tahun sebelumnya, awal mula perlawanan Ratu Bagus Buang diawali ketika Sultan Zaenul Arifin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi dan dijadikan permaisurinya. Ratu Bagus Buang sendiri adalah keponakan dari Sultan Zaenul Arifin, dan anak dari Pangeran Putra (Panembahan II) atau Pangeran Gusti. Setelah dibatalkan sebagai putra Mahkota, atas suruhan Ratu Syarifah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia dan ditengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Sailan pada Tahun 1747.

Di Batavia Ratu Bagus Buang juga dikenal dengan nama  etnis Mauwushi Wang. Dia juga memilih menyebut dirinya Sultan Abun bassar Muhammad Yusuf Achmed Adil Arlik Fidin, yang secara tegas menunjukkan sebagai penguasa kesultanan Banten. Ratu Bagus Buang bergabung dengan Kiai Tapa ke pegunungan dan membuat rencana mengumpulkan tentara untuk membalas dendam, dan menyerang Kesultanan Banten.

Ketika Ratu Bagus Buang mendengar bahwa Van Imhoff (Governor general) telah mati saat itu, yaitu pada 1 November 1750 dia segera mengumpulkan tentara dan memulai pemberontakan di tahun itu. Sentimen Islam yang masih melekat muncul kembali perang Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang terhadap Kompeni antara tahun 1750 hingga 1755 Ini pertentangan yang terus berlanjut menunjukkan upaya sekuritisasi Sultan Tirtayasa belum berhasil.


Ratu Bagus Buang bergabung bersama pendahulunya yaitu Kiai Tapa di Gunung Munara. Merekrut tentara pribumi secara besar-besaran, dan berangkat melawan kesultanan Banten bentukan VOC. Kekuatannya sangat besar! Setiap sudut Banten berada dalam keributan yang terus menerus. Terjadilah pemberontakan atau perang antara Banten dan masyarakat Banten yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang. Tercatat bahwa Ratu Bagus Buang sangat berani dan keras kepala. Semua desa-desa kecil dipelosok telah menjadi kekuasaannya. Semua ini terjadi karena Van Imhoff pada masa hidupnya merugikan rakyat Tiongkok, dan setelah kematiannya ia juga merugikan rakyat Banten.

Karena informasi tentang perlawanan terhadap Kompeni mulai menyusut setelah tanggal 30 Oktober 1752, diyakini bahwa perlawanan kepada Kompeni telah berakhir pada saat itu. Hal ini jelas tidak terjadi, karena kedua tokoh penting tersebut, yaitu Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang, muncul kembali masing-masing pada Tahun 1754 dan 1755. Pada bulan September 1754, tiba-tiba Kiai Tapa muncul dari Banyumas dan maju melalui wilayah Priangan ke Serang dengan sekelompok kecil pengikut. Meskipun dia berusaha memobilisasi orang disana, hal ini terbukti sia-sia dan dia ditangkap oleh pasukan sultan. Satu bulan kemudian dia melarikan diri dan menghilang. Meskipun Kiai Tapa lolos setelah ditangkap, Ratu Bagus Buang muncul dalam kelompok kecil di Gulajur di kawasan pegunungan kesultanan pada bulan Januari 1755, setelah kembali dari Jawa Tengah tempat ia tinggal selama ini. Dia pergi ke Prinsen Eiland (Pulau Panaitan), dimana dia terdeteksi dan dibunuh oleh tentara sultan pada Tanggal 4 Februari 1755. Setelah itu, Kiai Tapa menghilang dari sejarah.

Dalam catatan Melayu, tentara sultan yang dimaksud kemungkinan adalah Nakhoda Muda. Pada saat Nakhoda Muda dipaksa untuk menyerah kepada Ratu Bagus Buang, Nakhoda Muda memutuskan untuk tidak menyerah, dan malah berjanji kesetiaannya kepada Sultan dan meminta bantuan Sultan. Sultan mengirimi mereka dua kapal, dan Ratu Bagus Buang melarikan diri ke pegunungan untuk menyelamatkan nyawanya. Kisah pertempuran Nakhoda Muda dan Ratu Bagus Buang tercatat dalam naskah Melayu yaitu Hikayat Nakhoda Muda. Namun karena isi dari naskah tersebut lebih kepada keberpihakan kepada Nakhoda Muda dan Kompeni, sepertinya naskah tersebut tidak begitu diminati.


Sumber :

Atsushi Ota, 2006. Changes of Regime and Social Dynamics in West Java

Eberhard Crailsheim, 2019. The Representation of Eternal Threats from The Middle Ages to the Modern World

Hadijah Rahmat. Abdullah bin Abdul Kadir Munshi

Hadijah Rahmat, 2001. In Search of Modernity "a study of concepts of literature, authorship and nation of self in Traditional". Malay Literature

Leonard Blusse, 2018. The Chinese Annals of Batavia, The Kai Na Lidai Shiji and Other Stories (1610-1795)







PITUIN SUNDA (SANG RESI, SANG RAMA DAN SANG PRABU)

 

Maharaja Tarusbawa mendirikan Kerajaan Sunda dengan kraton bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yang berkedudukan di Wilayah Pakuan (Bogor). Pada masa pemerintahannya Tahun 669 - 723 M, sebagai seorang asli Sunda Sembada, Sang Maharaja melaksanakan dan mengamalkan ajaran Pituin Sunda / Sunda Wiwitan dari Sang Resi, Sang Rama dan Sang Prabu yaitu dengan mengamalkan ajaran Sanghyang Darma dan Sanghyang Siksa serta mengajarkannya kepada para penguasa di wilayah bawahannya. 

(Sumber : Naskah fragmen Carita Parahyangan)


Pengaruh Hindu mulai masuk ke Kerajaan Sunda pada masa Pemerintahan Prabu Detya Sri Jayabhupati Raja Sunda yang ke-20 (1030 - 1042 M), hal ini dimungkinkan karena Prabu Detya Sri Jayabhupati menantu dari Prabu Darmawangsa Raja Kediri yang merupakan penganut ajaran hindu. Prasasti Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi atau disebut pula dengan nama Prasasti Sanghyang Tapak. Gaya bahasa serta gelar raja sangat mirip dengan gelar di lingkungan Kraton Jawa Timur. Prasasti Sanghyang Tapak ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dengan huruf kawi. Sri Jayabhupati menganut agama hindu aliran Wasinawa (Wisnu) sebagaimana dianut oleh Raja Airlangga. 

(Sumber Sejarah Bogor Bagian 1)

 

Pituin Sunda mulai dihidupkan kembali pada masa Raja Sunda ke-25 yaitu Prabu Dharmasiska (1185 - 1297 M) dengan membangun Kabuyutan yang diberkati Sang Resi, Sang Rama dan Sang Prabu yang mengajarkan kebenaran Sanghyang Darma dan Sanghyang Siksa. Sebelumnya Prabu Dharma Siska merupakan Raja Kerajaan Saunggalah di lereng Gunung Ceremai yang kemudian dijadikan raja di Pakuan (Sunda).

 

Note : Foto hanya ilustrasi

 

++KALAKAY JASINGA++

-- BEUNANG GUGURU TI GUNUNG --

-- BEUNANG NANYA TI GURIANG --

 

Pernah diposting di Fans Page Kalakay Jasinga Pada 06 Oktober 2013

TIGA RAKSA BAGIAN DARI SEJARAH BANTEN


Tiga Raksa adalah nama sebuah kecamatan yang sekarang berkembang menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Nama Tiga Raksa tidak luput dari sejarah awal muasalnya yang bersumber dari cerita tradisi setempat dan sekitarnya.

Menurut sejarah Tangerang, sekitar Tahun 1670 antara Banten, Sumedang dan Cirebon terjadi hubungan politik dan perdagangan. Sejalan dengan hubungan tersebut pada akhir Tahun 1680 berlangsung pertemuan antara Sultan Banten dengan wakil penguasa Sumedang dan Cirebon. Acara pertemuan itu berlangsung di tempat yang bernama Pasanggrahan yang merupakan kota pertama di daerah Tangerang pedalaman yang terletak disebelah selatan Tiga Raksa sekarang.

Kesepakatan bahwa kedudukan Tangerang di dalam struktur pemerintahan Kesultanan Banten menjadi "Kemaulanaan" dengan ibukota Pasanggrahan. Wilayah kemaulanaan ini mencakup wilayah Tangerang, Jasinga dan Lebak. Kemaulanaan ini diperintah oleh tiga tumenggung yang berasal dari Sumedang yaitu Tumenggung Aria Yudanegara, Tumenggung Aria Wangsakara dan Tumenggung Aria Santika. Triumvirat ini disebut Tigaraksa (Tiga pemimpin) untuk menjaga (Ngaraksa) daerah dari serangan kompeni.

Meskipun telah terjadi perjanjian antara Sultan Haji (Sultan Abu Nasr Abdul Khahar) pada 17 April 1684. Ketiga Tumenggung berusaha melakukan perlawanan terhadap kompeni. Tumenggung Aria Santika gugur di Kebon Besar (1717) dimakamkan di Batu Ceper (Kramat Asem), Tumenggung Aria Yudanegara gugur di Cikokol (1718) dimakamkan di Sangiang. Tumenggung Aria Wangsakara gugur di Ciledug (1720) ketika menyerbu Jatinegara dan ia dimakamkan di Lengkong (Lengkong Sumedang) daerah Legok. Dengan begitu berakhirlah status Pemerintahan Kemaulanaan.

Menurut versi lain, nama Tigaraksa adalah tiga kekuatan yang melindungi wilayah Kesultanan Banten. Tiga yang berarti tiga tempat, raksa yang berarti pelindung atau penjaga. Ketiga titik itu adalah Banten, Jasinga dan Angke (Jayakarta), dengan daerah Balaraja yang berada di tengahnya. Balaraja diyakini sebagai tempat berkumpulnya para raja-raja (Penguasa). Menurut sejarah Banten, setelah kudeta yang dilakukan Sultan Haji dan VOC terhadap kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa (1682), pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, Syeikh Yusuf Makasar, dan Pangeran Purbaya ke wilayah barat, utara dan timur (Jayakarta) lalu mereka mengungsi ke pedalaman dengan menyusuri Sungai Ciujung dan Cidurian. Sekitar 1200 pasukan di bawah pimpinan Aria Wangsadiradja bertempur dengan pasukan VOC, lalu sebagian pasukan Banten mengungsi ke daerah Ciapus, Pagutan dan Jasinga. 

Selanjutnya pada Tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa, Syeikh Yusuf Makasar dan pasukannya mengungsi ke Muncang dan Sajira. Setelah Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap, Syeikh Yusuf Makasar beserta Pangeran Kidul dan 1000 Pasukan Melayu, Bugis dan Makasar, menyusuri Sungai Cidurian dan Lawang Taji hingga ke Cikaniki dengan tujuan Cirebon. Tak lama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kulon beserta pasukannya menyusul jejak Syeikh Yusuf Makasar. 

Jasinga merupakan daerah kekuatan terakhir dari "Tigaraksa" yang dibentuk oleh kesultanan Banten hingga para Pembesar Banten mengungsi ke Muncang Jasinga dan Sajira Lebak. 

Walaupun sumber tradisi, akan tetapi Sejarah Tigaraksa mempunyai banyak cerita dengan tokoh-tokoh yang sangat heroik.


Sumber :
- Sejarah Kabupaten Tangerang, Tim Pusat Studi Sunda Pemerintahan Kabupaten Tangerang 2004
- Banten Dalam Pergumulan Sejarah (Sultan, Ulama, Jawara). Nina H. Lubis, LP3S 2003
- Masyarakat Jasinga

Pernah dimuat di Halaman Facebook Kalakay Jasinga pada 16 April 2012


Sindu Cutter Mungkinkah tigaraksa ini ter-influence kisah 3 raja dari tiongkok?
Yg brti wkt itu sdh banyak bangsawan sunda-tionghoa..
Om Toni Tah yeu alus yeuh...! Di abdi ge cenah aya semacam nisan di kampung liud curug sisi cai beureum, tulisanna cenah bahasa naon teuing, tapi ke di tingali lah mun kira2na peninggalan sejarah ke ku abdi di fotolah.
Muktar Putra Solear Aya hannte cerita makam keramat solear.sareng caraenang nyompok,?
Herly Ependi Banyak kaitannya Dulur-Dulur, bnyk petuah yg mdh2n bs kita ambil dr sejarah. . .
Kalakay Jasinga Sindu > mungkin jg hanya kebetulan
Kalakay Jasinga Dede Tw > mungkin tulisan/aksara Arab pegon?
Belah mana lembur liud?
Ditunggu fotona


Perdiansyah > iraha2 ditampilkeun Situs Solear sisi Cidurian

Herly > satuju kang

Rahmat > Muhun
Nur Iqbal kalo pasar kemis da sejarah'y ga bot.

Adikhebot Ar Rubi iqbal@ klo ps kemis itu dulu na disitu ada pasar yg hari pasar na hari kemis,, karna zaman dulu mh pasar itu ga buka tiap hari jd ada hari pasarnya,,,na hari pasarnya itu hari kemis jd daerah na skarang disebut pasar kemis
Hardi RecycleInstallation Tumenggung Aria Yudanegara gugur di Cikokol (1718) dimakamkan di Sangiang. menurut msyarakat sekitar sangian memang diceritakan adanya salah satu makam tumenggung di daeerah tersebut.nuhun kang ieu'

Rahmat Kurnia hatur nuhun KJ...guar terus ..satahap" ngaruntuy sejarahna...top pokoke KJ...
Kalakay Jasinga Iqbal > tos dijelaskeun ku kang Setiadi

Setiadi Albantani > nuhun tos dijelaskeun
Kalakay Jasinga Hardi > ya itulah menurut literatur. Sama2 kang ...

Rahmat > mudah2an mangpaat..
Adikhebot Ar Rubi anu sepesipic na mh,, makam tumenggung Aria YUdanegara mah aya na atanapi tepat na di Pabuaran Tumpeng sisi jln Benua indah,,, kota Tangerang,
Kalakay Jasinga Setiadi > salah sahiji ulama pejuang Tangerang
Adikhebot Ar Rubi lereus pisan kang....,
Ahmadyani Sjojo dr latar belakang sejarah ada keterkaitan antara tangerang n jasinga,tp knp tenjo n jasinga knp tdk diperbolehkan bergabung kedalam kabupten tangerang pada waktu masa pemekaran th.2000?
Kalakay Jasinga Ahmadoen > maaf, kami belum mendapatkan data tentang penolakan sbagian wilayah bogor masuk ke tangerang.

Kalakay Jasinga Rakean Wulung Gadung > muhun kang, hatur nuhun
Teguh Mahmudz seru,,
Arya Ws Kara Sbagai org indonesia yg pnting jng prnh mlupakn sjarah dtanah klahirn sndiri.krn sjarah adalah ilmu untk klak ank&cucu qta.
Obing Namiroh Info alamat makam2 pembesar tigaraksa dulur...
Hoyong nyekar


Hendra Siliviliya sejarah babad banten yakan

BAHASA SUNDA DULU SANGAT EGALITER

BAHASA SUNDA KINI DAN DULU



Hingga tahun 1600-an, orang Sunda sama sekali tidak mengenal undak-usuk (tingkatan) dalam berbahasa. “Pada masa era kerajaan Sunda seperti Pajajaran berjaya, bahasa Sunda adalah bahasa yang sangat egaliter dan demokratis,”ungkap Ajip Rosidi kepada saya dalam sebuah wawancara beberapa waktu yang lalu.

Ungkapan sastrawan Sunda asal Majalengka itu, dipertegas oleh Nina Lubis. Menurut sejarahwan Universitas Padjajaran tersebut, kata-kata Ajip memang bukan dongeng semata. Buktinya, semua naskah yang berasal dari masa Kerajaan Sunda abad ke-16 seperti Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) dan Carita Parahyangan (sekitar 1580) menggunakan bahasa yang sangat egaliter.

“Itu artinya, bahasa Sunda tidak mengenal tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa, yaitu bahasa ngoko (kasar) dan kromo (halus),” tulis Nina Lubis dalam Bahasa Sunda yang Demokratis (Pikiran Rakyat, April 2000).

Dan memang dalam manuskrip-manuskrip Sunda tua serta prasasti-prasasti sebelum abad ke-17, kata-kata dalam bahasa leumeus (halus) memang bisa dikatakan tidak ada. Alih-alih demikian, kata-kata siya (kamu), kawula (saya), beja (berita), dititah (diperintahkan) serta banyak kata yang dikenal hari ini sebagai bagian dari bahasa Sunda kasar justru sering banyak dijumpai di dokumen-dokumen tua tersebut.

Di kalangan penganut agama Sunda Wiwitan (seperti orang-orang Baduy di Banten), penggunaan bahasa Sunda tua ini bahkan terus dilestarikan hingga sekarang. Bahkan saya sempat mengenal salah satu penganut Sunda Wiwitan dari Belanda. Namanya Beni Sastrawidjaya (75), yang menolak keras menggunakan bahasa Sunda versi hari ini. Alasannya sederhana, ”Bahasa yang sekarang dipakai itu bahasa Sunda versi penjajah,” katanya.

Saya sempat terkejut mendengar ungkapan Aki Beni itu. Tapi setelah saya baca dan telisik sana-sini, apa yang dikatakan itu memang benar adanya. Mungkin tak banyak orang Jawa Barat tahu, sekitar 1624-1708, wilayah-wilayah yang sekarang dikenal sebagai Ciamis, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Bandung, Cianjur dan Sukabumi adalah jajahan Kerajaan Mataram.

Saat Mataram menguasai wilayah-wilayah Sunda (meskipun secara tidak langsung, karena kekuasaan di wilayah kabupaten, tetap dipegang oleh elite lokal) tersebut, otomatis kewajiban menggunakan bahasa Jawa (versi Yogya dan Solo) diberlakukan sebagai pengantar resmi dalam urusan-urusan administrasi antara pusat (Keraton Mataram) dengan daerah (kadipaten-kadipaten).

Menurut Nina Lubis, saat itu bahasa Jawa menjadi bahasa yang wajib dikuasai layaknya bahasa Indonesia hari ini. Bahkan saat itu ada anggapan penguasaan atas bahasa ini menjadi ukuran kebangsawanan seorang elite politik. “ Hal ini dapat dibaca dalam surat-surat pribadi ataupun karya sastra atau karya sastra-sejarah yang ditulis oleh elite politik di Tatar Sunda (misalnya babad, wawacan, sajarah, dsb.),” tulis Nina.

Para menak Sunda yang mengabdi kepada Mataram rupanya ingin menerapkan bentuk dominasi psikologis tersebut kepada rakyatnya. Jadilah semua tata cara dan etika Mataram (termasuk feodalisme-nya) berlaku di semua wilayah Priangan. Ini sesuai sekali dengan pendapat pakar Poskolonial asal India, Gayatri Svivak: “Bangsa yang inferior adalah sekumpulan manusia yang tidak percaya diri dan selalu berlindung pada kebesaran kaum yang menjajahnya dengan bersikap seperti layakknya kaum penjajah, ”tulisnya dalam Teori Post Kolonial.

Sejak saat itu bahasa Sunda tua yang egaliter mulai dilamurkan. Untuk memelihara citra dan dominasi mereka terhadap kaum cacah kuricah (rakyat kecil), bahasa dan tulisan Sunda diatur oleh undak usuk basa yang serba rumit sehingga pada awal abad ke-20 bahasa Sunda telah terbentuk dalam kasta-kasta seperti bahasa lemes pisan (halus sekali), lemes(halus), sedeng (sedang), dan kasar (kasar), dan kasar pisan (kasar sekali).

“Pemakaian tingkatan bahasa ini dibedakan karena status sosial, umur, dan hubungan kekerabatan. Bahasa yang halus sekali dipergunakan kepada kaum menak luhur (bangsawan tinggi) dan kepada para pejabat Belanda,” tulis Nina Lubis.

Cianjur merupakan kadipaten yang para menaknya bisa menyerap secara efektif gaya dan watak bahasa Jawa Mataram itu. Begitu efektifnya upaya adopsi lingusitik ini, hingga menyebabkan Cianjur dikenal sebagai pengguna bahasa Sunda paling halus di wilayah Priangan. Ibarat Solo atau Yogyakarta bagi para pengguna bahasa Jawa. Tapi di lain pihak, ini menjadi indikator sejarah bahwa Cianjur adalah kadipaten paling loyal bagi Mataram, kesultanan yang pernah menjajah sebagian wilayah Priangan. (Hendijo)


KR - Kalakay Jasinga
Pernah di Posting di FB 25 Agustus 2014

KAMUS SUNDA JONATHAN RIGG DI AMERIKA

KAMUS BAHASA SUNDA 1862



Kamus bahasa sunda yang berjudul "A Dictionary Of The Sunda Language Of Java" ini disusun oleh seorang kebangsaan Inggris yang bernama Jonathan Rigg di Jasinga, pada tanggal 5 Agustus 1862 berbahasa Inggris. Kamus ini memiliki 537 halaman dengan panjang 20,2 cm dan lebar 12,4 cm merupakan bahasa asli Sunda Banten. Tertulis di halaman muka bahwa beliau adalah seorang anggota The Batavian Society Of Art and Science

Pada saat diterimanya kamus ini, tertulis dibelakang buku bahwa kamus ini sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya yang penting di Musium Scholars Amerika. Buku yang kami terima merupakan  kopian dari naskah aslinya yang tersimpan. Ada dua macam cetakan yaitu soft copy dan hard copy. Cetakan soft copy bergambar disebuah dermaga zaman dahulu kala, sedangkan yang ada ditangan kami adalah hard copy yang tidak bergambar. Di halaman muka sepertinya tertuliskan tanggal pembelian kamus tersebut 2 Februari 1928. Nama yang tertulis tidak begitu jelas. Di halaman muka juga terdapat cetakan kecil bertuliskan bahasa belanda.

Salah satu contoh kata bahasa sunda yang terdapat dikamus ini adalah nista; yang merupakan tanda peringatan. Biasanya kata nista ini diikuti oleh kata lain yaitu maja dan utama. Tiga kata tahapan peringatan, yaitu nista sebagai peringatan pertama maja sebagai peringatan kedua dan utama sebagai peringatan terakhir. Kata-kata tersebut pada tahun 90-an masih sering digunakan oleh pemuda-pemudi Jasinga sebagai kata-kata tren dalam pergaulan. Biasanya juga kata-kata tersebut dibarengi oleh guyonan atau sebagai bumbu candaan. Sebagai contoh sebagai peringatan kepada salah satu teman yang tidak mau mengembalikan buku miliknya " Kadieukeun buku kami, mun henteu dibalikeun rek ditampiling! " lalu orang tersebut akan menghitung dengan nista, maja, dan yang terakhir utama. Maka jika teman tersebut tidak mengembalikan bukunya, sebagai akibatnya dia akan menamparnya.

Ada beberapa kata-kata yang menunjukkan nama sebuah tempat di Jasinga dan sekitarnya. Mandala Giri adalah sebuah nama gunung di Jasinga yang biasa disebut Gunung Gede Jasinga yang mana saat ini kemungkinan besar adalah Gunung Pangradin. Jaga Baya adalah nama sebuah kampung di Parung Panjang. Situ Hyang adalah nama sebuah danau kecil yang berada di Bolang. Dan nama-nama lain yang cukup menarik untuk dikaji.

Yang menarik di dalam kamus ini juga menyebutkan berbagai jenis padi pada masa itu. Terdapat 150 padi humah dan 45 jenis padi sawah yang tersebar di jasinga dan sekitarnya hingga menghabiskan 5 halaman kamus ini. Jumlah padi humah lebih banyak dibandingkan dengan jenis padi sawah. Nama-nama padi sawah terdapat itu diantaranya adalah angsana baheula, angsana leutik, banteng, beureum gede, chere bogor, chere pichung, chokrom, gajah menur, gimbal, grogol, kemuning, ketan bebek, madura, mataram, sisit naga, dan lainnya. Nama-nama padi humah diantaranya adalah ambon, badigal, batu, beunteur, beureum kapundung, beureum randa, beureum sereh, buntut ajag, chandana, chere malati, chokrom, gajah pulen, hapit, kadaka, jampang, ketan asmara, ketan ruyung, lilitan, menteng, molog, sabagi, salak gading, wahangan, wasiyat, dan lainnya.

Isi dari sampul belakang : "This work has been selected by scholars as being culturally important, and is part of the knowledge base of civilization as we know it. This work was reproduced from the original artifact, ... ". 

Pembeli kamus tersebut sepertinya pemerhati bahasa sunda, karena terdapat coretan-coretan untuk mengoreksi atau pun menambahkan isi kamus, contohnya bala menjadi balad, be'ng b'eng menjadi be'be'ng, be'wuk menjadi buwe'k, ge'golak menjadi ngagolak, harrarangge menjadi sirarangge, pupu menjadi mupu, kunchianak menjadi kuntilanak masing menjadi masing-masing dan sebagainya.

Dalam penyusunan kamus bahasa sunda ini Jonathan Rigg menyebutkan di akhir prakata bahwa beliau dibantu oleh Demang Jasinga, Raden Nata Wireja. Disebutkan juga bahwa beliau sering mendengarkan tukang pantun yang bernama Ki Gembang.

AN - Kalakay Jasinga













BUPATI PERTAMA BOGOR (1948-1949)

PERJALANAN SINGKAT R.IPIK GANDAMANA SEBAGAI BUPATI PERTAMA BOGOR (1948-1949)                                


        Pada tahun 1946 R. Ipik Gandamana diangkat menjadi Patih Bogor, saat  itu wilayah Bogor dalam kondisi mencekam, menegangkan karena kemarahan pihak sekutu terhadap maraknya pembentukan pasukan-pasukan dari rakyat Indonesia. Peperangan tentara sekutu dan tentara rakyat terjadi di daerah Sindangbarang dan Ciampea.

   R. Ipik Gandamana menerima tugas dari pemerintah RI untuk menyusun pemerintahan kabupaten Bogor darurat dengan susunan sebagai berikut :

Bupati                     : R. Ipik Gandamana
Sekretaris               : Bahrudin Rifa’i      
Keuangan                : Purawidjaja
P.U                         : R. Sutadjab / M.Soleh     
Perekonomian          : Udi Bahrudin
Umum                    : Gafur     
 Sosial                    : R. Tjetje Moh .Soleh
Penerangan             : E.M. Kahfi
Kesehatan               : Dr. R. sahid/ Dr. R. muhtar
Kepolisian               : H. M. moh. Hasan

       Kantor Bupati sendiri bertempat di jasinga (sekarang dipakai kantor Dinas Cipta karya dan Dinas pertanian jasinga, yang sebelumnya digunakan sebagai pendopo Kewedanaan Jasinga) yang kemudian pindah ke Malasari, Nanggung, tetapi akhirnya kembali lagi ke Jasinga dengan kantor  Staf bupati  bertempat di Gedong Sawah Jasinga.

       Pada bulan Juli 1947 rombongan  pemerintahan  Kabupaten Bogor  di bawah pimpinan Bupati Bogor  R. Ipik Gandamana dan R. Abdullah (ex. Wedana Lw.liang) sebagai Patih telah tiba di Jasinga dan  ibu kota kabupaten Bogor pun dipindahkan ke Jasinga. Dengan datangnya rombongan Bupati Bogor tersebut maka sejak itu Jasinga resmi menjadi Ibukota Kabupaten Bogor (darurat sementara).

       Pada tanggal 21 Juli 1947 pihak Belanda mengadakan serangan serentak (Blitzkrieg) yang dikenal dengan agresi militer Belanda I dan dilanjutkan dengan  agresi Militer  II tahun 1948 menyerang seluruh wilayah Bogor yang mengakibatkan R.Ipik Gandamana mengungsi ke Cipanas (Lebak), Cileuksa, Kembang Kuning, Lebak Huni, Pangradin, dan sekitar hutan-hutan wilayah pinggiran Jasinga.

      Selain menjadi Bupati Bogor R.I. yang pertama, R. Ipik Gandamana juga diangkat oleh wakil Gubernur Jawa Barat untuk merangkap menjadi Bupati Lebak. Selain berkaitan dengan penyusunan pemerintahan darurat kabupaten Bogor perjalan beliau tak pernah berhenti dalam mengemban amanah, walaupun harus menghuni sel penjara Paledang karena tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda/ Recomba. 

    Di dalam penjara Beliau sangat menyukai Tutut (sejenis keong kecil sawah) atau yang lebih dikenal dengan “Daging Pangenyot” sebagai pelengkap lauk pauk. Sosok R. Ipik Gandamana patut dicontoh dan diteladani bagi generasi selanjutnya di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor.



Kalakay Jasinga

MISTERI GUNUNG DANGKA JASINGA

GUNUNG DANGKA OR A PARADISE ON EARTH ; A TALE OF SUPERSTITION
By Jonathan Rigg, Esq.


The native of Sunda or Western Java, like their uninstructed brethren all over the world, are a superstition race ; their superstitions, however, are seldom, if ever, of a savage or gloomy nature, and would be deserving of ridicule, rather than of anger, were it not that we constantly observe the more knowing part of the community avail of this weakness to dupe their fellow-men. In the presence of a stranger and more particularly of an European, the native is especially careful to conceal his moral failings ; he must often feel and indeed I have frequently heard him express his opinions as to the craft of his priest or his augur, but such is the slavish imbecility of his mind, that he dares not manfully defy what habit and antiquity have authorized. No superstition is more prevalent than the respect shown to particular spots, which are supposed to be sacred, and in which wonderful supernatural powers are believed to exist. There is hardly a mountain-top* or remarkable eminence throughout the country that doe not contain its Patapaan or Pamujahan, two words of Hindu origin, the former meaning a place of penance, the latter a place of adoration. These are generally formed of a quantity of rough unhewn river-stones,
__________________________________________________________

*The polynesian tribes, in common with many other people of the world, appear to have all attributed a misterious sacredness to the tops of mountains, as may be seen from the following quotations :

The principal mountains in the three divisions of Ankova are Angavo to the East, Ankaratra to the South, Ambohimlangara to the West, and Andringitra to the North, chiefly distinguished as the scene of legendary tales, recounting the mighty achievement of giants and other monstrous beings, supposed to belong to a fabulous age. The Altars erected by former generations on the summits of these mountains, to the memory of such extraordinary personages, still exist, and are visited by the people as the appropriate places for frayer and sacrifice to the manes of the mighty dead. On the tops of some of these mountains are still existing the vestiges of ancient villages. Ellis History of Madagascar Vol.I . p. 84.

The Dayaks believe in a supreme being whome they call sometimes Dewa and sometimes Nyabatta. They believe that Nyabatta is to be found on the tops of mountains, and for this reason every tribe of Dayaks has some mountain top dedicated to their Godhead.-Tijdschrift voor Ned. Indie 4 jaargang 2 Deel. West-kust van Borneo in 1832 p.9.

They 9the inhabitants of the Society Islands) had a kind of heaven, which they called Miru. The heaven most familiar, especially in the Leeward Islands, is Rohutu noanoa, sweet scented Rohutu. This was situated near Tamahani unauna, glorious Tamahani, the resort of departed spirits, a celebrated mountain on the north-west side of Raiatea. The perfumed Rohutu, though invisible but to spirits, was somewhere between the former Settlement and the district of Tipaehapa on the north side of Raiatea. It was described as a beautiful place, quite an Elysium, where the air was remarkably salubrious, plants and shrubs abundant, highly odoriferous, and in perpetual bloom.-Ellis Polynesian Researches Vol. I p. 397.

The natives of Hawaii have numerous fabulous tales relative to Mounakes, which is capped with snow, being the abode of the Gods and none ever approach its summit. The missionaries who have visited the top, could not persuade the natives, whom they enganged as guides up the sides of the mountain, to go near te summit. Ellis Polynesian Research Vol. IV p.404.

Page 119

Which it must have cost some trouble and labour to carry up, or of the common trachyte blocks, when such have been afforded by the neigbouring slopes. These stone are generally disposed as if covering some grave and are called a Balai ; yet the general opinion seems to be that they have not been places of interment. The word Balai has so strong a resemblance to, if not identity with the Malai of the Tonga islands, and the Marae of Tahiti and of many other islands of the Pacific, where it implies a temple of the gods or place for religious observances, that we naturally come to the conclusion that they have a common origin, and that the name being preserved on Java, with almost the same import, shows that formerly there also the observance of the pacific islands once prevailed. However this may be the natives of the present day all assert that these Balais are traces of their former religion, which in times immediatelly preceding the introduction of Mahometanism, was derived from the continent of India, and to enquiries regarding their origin, invariably reply that they are Sasakala Alam Buda vestiges of Bhudist times, in which general term they no doubt confound all that preceded mahometanism, as the Sunda mountaineers were very likely no better converts to Bhudism or Siwaism, than many of them still are to the tenets of the prophet of Arabia. It is thought that the wonderful people of former days, by penance and fastings, so far ingratiated themselves with the gods, as to receive supranatural powers, (kasakten) so as to be able to roam the skies, dive into the earth, and walk upon the sea, as if on terrafirma. All those who at the general conversion to islamism in our 15th century, refused to conform to the new faith, and who to have died, but thought invisible, to be still inhabiting these places. The Balais are the spots where these people assumes their impalpable forms, (Ngahiang) and remain evident to the present day, as well to prove the superior might of the ancient people, the omnipotence of antiquity, as out of kindness towards the human race, to point out the spots where the divinity is most likely to lend a willing ear to the troubled devotee. Other of these Balais are consecrated as being the places of the transfiguration of certain great progenitors (Luluhur) of the different tribes of the country ; thus in different parts we hear of the people being descended from this or that Luluhur whose Tangtu or fixed and favorite abode is on some neighbouring summit, and where you are told some mysterious vestige are to be found, whice are known by the name of Kabuyutan.* About Buitenzorg, a number of the people say
_________________________________________________________
*The Bu of these word appears to be its root or crude form, and is again found in the Tabu of the South Sea Islands, of such well known import, and which is very closely represented by the Buyut of Sundanese, which implies a prohibition or ancient injunction upon some families and people to refrain from particular food or abstain from certain acts of ordinary life. These Laluhurs assumed various forms.


That they are descended from a cloven rock* on the Gunung Salak, known as Beulah Batu, others are descended from Rangga Gading famous in native song for his exploits in thieving; none was ever readier than he to walk off with a lot of buffalos or cheat at a fight of game-cocks. At Jasinga we have the descendants of Pangawinan or the Spear-bearers, the original inhabitants of the land, who were expelled by the ancestors of the present mass of the population, who immigrated from the river Chimandiri, that falls into Palabuan Ratu on the south coast. Others come of the Heulang Rawing, the jagged falcon or the Panggang Kalong, the roasted bat.

Page 120

Though, with the exception of the small tribe of Badui in south Bantam, all the inhabitants of Sunda have been long converted to Mahometanism, they are still pagans in their hearts, at least the mountaineers. Whenever the native gets into any extraordinary difficulty, it is not to no God but God and Mahomet the apostle of God that he addresses himself, but provided with a bit of gum benjamin, on the night preceding the 15th day of the moon, he repairs to some mountain Patapaan and there, after offering incense and praying for assistance, spends the night. He fancies that he is tempted by all sorts of horrible beasts and ghosts, all of which disregarding and withstanding, his sincerity of mind having been thus put to the test, at last the ages and hoary spirit of the place appears, asks the suppliant what may be he wish, pronounces an answer and instantly vanishes; the devotee must instantly descend from the mountain and act upon the oracle he has received. The fancy of the native always outstrips his cooler reason, and hence his narration must always be received with scepticism, though it may be clear that he can have no intention of exactly telling a lie ; how easily they are deceived or rather deceive themselves may be learnt from the following anecdote which is likely enough to be true : - A petty chief of Dramaga near Buitenzorg, of the rank of Ngabihi, having gone to the top of the Gunung Salak to consult the Gods, found that he was about to be intrudes upon by some other devotee, and by way of securing a monopoly of the devinities, fell upon the following device to get rid of his brother suppliant. Retiring behind some trees, he watched the devotee burning his incense and whilst in the midst of his prayer, availing of a propitious dimness of the moon, walked up to him and in a measured voice said  my grand child, what troubles have brought thee here! The poor fellow explained that he was sadly in debt, that he had no means of extricating himself and had therefor approached the awful presence of the God of advice. Return
______________________________________________________
*The tradition most generally received in the Windward Islands, ascribed the origin of the world and all that adorn or inhabit it, to the procreative power of Taaroa, who is said to have embraced a rock, the imagined foundation of all things, which afterwards brought forth the earth and sea. --- Ellis Polynesian Researches Vol. I p. 324.

Page 121

Immediately  said the Ngabihi –  to the low lands, cultivate there with care a large garden, for it is mother earth that is destined to help thee, and thy debts will be paid ; leave this and dare not to cast a glance behind. Grateful for the speedy answer, the devotee muttered a few words of thanks and sneaked away from the spot, leaving the Ngabihi, the oracle to him self. The poor man, how ever, followed out the injunction he had received, set about his garden in earnest and soon cleared his debts. Thus out of deceit and evil, good occasionally flows, though under aperverted impression.

The mountain top appears, in all ages and in all countries to have commanded the reverence of mankind ; here the first ray of the morning sun is arrested, and here the lingering  glam of departing day is enshrined ; it is here that, elevated in majestic silence above the turmoils of a struggling world, an uninstructed mind would first be struck with the immensity of nature, and question itself for a cause.

But it is time to come to the more immediate object of this paper, to which the foregoing has been inserted as a necessary explanatory preface. In the course of the month of January last, whilst in familiar chat with some of the remotest inhabitants of Jasinga of the villages of Chisusu and Gunung Kembang, i was astonished to hear that at a place called Gunung Dangka, on the confines of our south-western boundary, and on the banks of the Chiberang, was a sacred place, considered by the people of the adjoining Bantam district of Sajira, as the paradise they were destined occupy after death. That i should have lived ten long years at Jasinga without ever hearing a syllable about so strange an idea of a people with whom i was well acquainted, and who live so hard by, appeared as improbable as the story itself was agregious. The village of Buluhen is the last on the Chiberang towards its source, and i knew tha the people almost venerated certain parts of the stream, but that the rust of former superstition was wearing away in consequence of more frequent communication with other peaople, and their becoming thus shamed out of their infidel persuasions. Above Buluhen is a part of the river named Panglahsaan where yearly offerings of laksa or rice vermicelli are made, and where till within a few years past no horse had been allowed to enter ; great woes to the country having been predicted in case this spell should be broken. The Demang Jaga Sura, then chief of the district at Sajira, little addicted to bitants, and rode his horse up to the spot. Above the Panglaksaan no fish might be taken, many words in daily use might not be pronounced, and at one part, neither boat nor raft was allowed to pass along the river, but with great trouble being hauled up on the high bank was then dragged past the consecrated pool, to be again launched further down.

Page 122

To be continue ...