Uga Jasinga

"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong hejo anu bahanna aya di leuwi curug, leuwi sangiang jeung nu sawarehna aya di girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung nu engke katelahna awi tangtu. Didinya bakal ngadeg gedong hejo di tonggoheun leuwi sangiang" * TiKokolot Jasinga*.
Tampilkan postingan dengan label BAHASA JASINGA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BAHASA JASINGA. Tampilkan semua postingan

BAHASA SUNDA DULU SANGAT EGALITER

BAHASA SUNDA KINI DAN DULU



Hingga tahun 1600-an, orang Sunda sama sekali tidak mengenal undak-usuk (tingkatan) dalam berbahasa. “Pada masa era kerajaan Sunda seperti Pajajaran berjaya, bahasa Sunda adalah bahasa yang sangat egaliter dan demokratis,”ungkap Ajip Rosidi kepada saya dalam sebuah wawancara beberapa waktu yang lalu.

Ungkapan sastrawan Sunda asal Majalengka itu, dipertegas oleh Nina Lubis. Menurut sejarahwan Universitas Padjajaran tersebut, kata-kata Ajip memang bukan dongeng semata. Buktinya, semua naskah yang berasal dari masa Kerajaan Sunda abad ke-16 seperti Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) dan Carita Parahyangan (sekitar 1580) menggunakan bahasa yang sangat egaliter.

“Itu artinya, bahasa Sunda tidak mengenal tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa, yaitu bahasa ngoko (kasar) dan kromo (halus),” tulis Nina Lubis dalam Bahasa Sunda yang Demokratis (Pikiran Rakyat, April 2000).

Dan memang dalam manuskrip-manuskrip Sunda tua serta prasasti-prasasti sebelum abad ke-17, kata-kata dalam bahasa leumeus (halus) memang bisa dikatakan tidak ada. Alih-alih demikian, kata-kata siya (kamu), kawula (saya), beja (berita), dititah (diperintahkan) serta banyak kata yang dikenal hari ini sebagai bagian dari bahasa Sunda kasar justru sering banyak dijumpai di dokumen-dokumen tua tersebut.

Di kalangan penganut agama Sunda Wiwitan (seperti orang-orang Baduy di Banten), penggunaan bahasa Sunda tua ini bahkan terus dilestarikan hingga sekarang. Bahkan saya sempat mengenal salah satu penganut Sunda Wiwitan dari Belanda. Namanya Beni Sastrawidjaya (75), yang menolak keras menggunakan bahasa Sunda versi hari ini. Alasannya sederhana, ”Bahasa yang sekarang dipakai itu bahasa Sunda versi penjajah,” katanya.

Saya sempat terkejut mendengar ungkapan Aki Beni itu. Tapi setelah saya baca dan telisik sana-sini, apa yang dikatakan itu memang benar adanya. Mungkin tak banyak orang Jawa Barat tahu, sekitar 1624-1708, wilayah-wilayah yang sekarang dikenal sebagai Ciamis, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Bandung, Cianjur dan Sukabumi adalah jajahan Kerajaan Mataram.

Saat Mataram menguasai wilayah-wilayah Sunda (meskipun secara tidak langsung, karena kekuasaan di wilayah kabupaten, tetap dipegang oleh elite lokal) tersebut, otomatis kewajiban menggunakan bahasa Jawa (versi Yogya dan Solo) diberlakukan sebagai pengantar resmi dalam urusan-urusan administrasi antara pusat (Keraton Mataram) dengan daerah (kadipaten-kadipaten).

Menurut Nina Lubis, saat itu bahasa Jawa menjadi bahasa yang wajib dikuasai layaknya bahasa Indonesia hari ini. Bahkan saat itu ada anggapan penguasaan atas bahasa ini menjadi ukuran kebangsawanan seorang elite politik. “ Hal ini dapat dibaca dalam surat-surat pribadi ataupun karya sastra atau karya sastra-sejarah yang ditulis oleh elite politik di Tatar Sunda (misalnya babad, wawacan, sajarah, dsb.),” tulis Nina.

Para menak Sunda yang mengabdi kepada Mataram rupanya ingin menerapkan bentuk dominasi psikologis tersebut kepada rakyatnya. Jadilah semua tata cara dan etika Mataram (termasuk feodalisme-nya) berlaku di semua wilayah Priangan. Ini sesuai sekali dengan pendapat pakar Poskolonial asal India, Gayatri Svivak: “Bangsa yang inferior adalah sekumpulan manusia yang tidak percaya diri dan selalu berlindung pada kebesaran kaum yang menjajahnya dengan bersikap seperti layakknya kaum penjajah, ”tulisnya dalam Teori Post Kolonial.

Sejak saat itu bahasa Sunda tua yang egaliter mulai dilamurkan. Untuk memelihara citra dan dominasi mereka terhadap kaum cacah kuricah (rakyat kecil), bahasa dan tulisan Sunda diatur oleh undak usuk basa yang serba rumit sehingga pada awal abad ke-20 bahasa Sunda telah terbentuk dalam kasta-kasta seperti bahasa lemes pisan (halus sekali), lemes(halus), sedeng (sedang), dan kasar (kasar), dan kasar pisan (kasar sekali).

“Pemakaian tingkatan bahasa ini dibedakan karena status sosial, umur, dan hubungan kekerabatan. Bahasa yang halus sekali dipergunakan kepada kaum menak luhur (bangsawan tinggi) dan kepada para pejabat Belanda,” tulis Nina Lubis.

Cianjur merupakan kadipaten yang para menaknya bisa menyerap secara efektif gaya dan watak bahasa Jawa Mataram itu. Begitu efektifnya upaya adopsi lingusitik ini, hingga menyebabkan Cianjur dikenal sebagai pengguna bahasa Sunda paling halus di wilayah Priangan. Ibarat Solo atau Yogyakarta bagi para pengguna bahasa Jawa. Tapi di lain pihak, ini menjadi indikator sejarah bahwa Cianjur adalah kadipaten paling loyal bagi Mataram, kesultanan yang pernah menjajah sebagian wilayah Priangan. (Hendijo)


KR - Kalakay Jasinga
Pernah di Posting di FB 25 Agustus 2014

KAMUS SUNDA JONATHAN RIGG DI AMERIKA

KAMUS BAHASA SUNDA 1862



Kamus bahasa sunda yang berjudul "A Dictionary Of The Sunda Language Of Java" ini disusun oleh seorang kebangsaan Inggris yang bernama Jonathan Rigg di Jasinga, pada tanggal 5 Agustus 1862 berbahasa Inggris. Kamus ini memiliki 537 halaman dengan panjang 20,2 cm dan lebar 12,4 cm merupakan bahasa asli Sunda Banten. Tertulis di halaman muka bahwa beliau adalah seorang anggota The Batavian Society Of Art and Science

Pada saat diterimanya kamus ini, tertulis dibelakang buku bahwa kamus ini sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya yang penting di Musium Scholars Amerika. Buku yang kami terima merupakan  kopian dari naskah aslinya yang tersimpan. Ada dua macam cetakan yaitu soft copy dan hard copy. Cetakan soft copy bergambar disebuah dermaga zaman dahulu kala, sedangkan yang ada ditangan kami adalah hard copy yang tidak bergambar. Di halaman muka sepertinya tertuliskan tanggal pembelian kamus tersebut 2 Februari 1928. Nama yang tertulis tidak begitu jelas. Di halaman muka juga terdapat cetakan kecil bertuliskan bahasa belanda.

Salah satu contoh kata bahasa sunda yang terdapat dikamus ini adalah nista; yang merupakan tanda peringatan. Biasanya kata nista ini diikuti oleh kata lain yaitu maja dan utama. Tiga kata tahapan peringatan, yaitu nista sebagai peringatan pertama maja sebagai peringatan kedua dan utama sebagai peringatan terakhir. Kata-kata tersebut pada tahun 90-an masih sering digunakan oleh pemuda-pemudi Jasinga sebagai kata-kata tren dalam pergaulan. Biasanya juga kata-kata tersebut dibarengi oleh guyonan atau sebagai bumbu candaan. Sebagai contoh sebagai peringatan kepada salah satu teman yang tidak mau mengembalikan buku miliknya " Kadieukeun buku kami, mun henteu dibalikeun rek ditampiling! " lalu orang tersebut akan menghitung dengan nista, maja, dan yang terakhir utama. Maka jika teman tersebut tidak mengembalikan bukunya, sebagai akibatnya dia akan menamparnya.

Ada beberapa kata-kata yang menunjukkan nama sebuah tempat di Jasinga dan sekitarnya. Mandala Giri adalah sebuah nama gunung di Jasinga yang biasa disebut Gunung Gede Jasinga yang mana saat ini kemungkinan besar adalah Gunung Pangradin. Jaga Baya adalah nama sebuah kampung di Parung Panjang. Situ Hyang adalah nama sebuah danau kecil yang berada di Bolang. Dan nama-nama lain yang cukup menarik untuk dikaji.

Yang menarik di dalam kamus ini juga menyebutkan berbagai jenis padi pada masa itu. Terdapat 150 padi humah dan 45 jenis padi sawah yang tersebar di jasinga dan sekitarnya hingga menghabiskan 5 halaman kamus ini. Jumlah padi humah lebih banyak dibandingkan dengan jenis padi sawah. Nama-nama padi sawah terdapat itu diantaranya adalah angsana baheula, angsana leutik, banteng, beureum gede, chere bogor, chere pichung, chokrom, gajah menur, gimbal, grogol, kemuning, ketan bebek, madura, mataram, sisit naga, dan lainnya. Nama-nama padi humah diantaranya adalah ambon, badigal, batu, beunteur, beureum kapundung, beureum randa, beureum sereh, buntut ajag, chandana, chere malati, chokrom, gajah pulen, hapit, kadaka, jampang, ketan asmara, ketan ruyung, lilitan, menteng, molog, sabagi, salak gading, wahangan, wasiyat, dan lainnya.

Isi dari sampul belakang : "This work has been selected by scholars as being culturally important, and is part of the knowledge base of civilization as we know it. This work was reproduced from the original artifact, ... ". 

Pembeli kamus tersebut sepertinya pemerhati bahasa sunda, karena terdapat coretan-coretan untuk mengoreksi atau pun menambahkan isi kamus, contohnya bala menjadi balad, be'ng b'eng menjadi be'be'ng, be'wuk menjadi buwe'k, ge'golak menjadi ngagolak, harrarangge menjadi sirarangge, pupu menjadi mupu, kunchianak menjadi kuntilanak masing menjadi masing-masing dan sebagainya.

Dalam penyusunan kamus bahasa sunda ini Jonathan Rigg menyebutkan di akhir prakata bahwa beliau dibantu oleh Demang Jasinga, Raden Nata Wireja. Disebutkan juga bahwa beliau sering mendengarkan tukang pantun yang bernama Ki Gembang.

AN - Kalakay Jasinga













SI PECAK JEUNG SI BURVT


Tradisi Caritaan Barudak Jasinga yang diceritakan kepada anak-anak oleh orang dewasa, yang dilaksanakan pada malam hari ketika berkumpul di pelataran rumah atau tempat-tempat ronda. 


Caritaan ini kebanyakan bersifat jenaka. Penyajian sengaja dengan bahasa aslinya agar arti dan makna nya tidak berubah.


SI PECAK JEUNG SI BURVT

Sore-sore Si Burvt ulin ka imahna Si Pecak


Si Burvt   : "Pecaak". Ngagero di hareup imah

Si Pecak  : "Uuuuy, aing dijerooo". Pecak ngabales

Si Burvt   : "Heh Pecak, urang ka sawah yuk, ngala kalapa !". Burvt ngajakan

Si Pecak  : "Mbunglah, geus rek magrib Rut".

Si Burvt   : "Alah maneh Cak, mani kugaya! Maneh mah rek beurang tau peuting ge tetep peuting. Kajenlah Cak nke jeung maneh dua siki aing mah hiji be. Jeung deui maneh ges lila tara nginum cai kalapa deui". Si Burvt ngoloan Si Pecak.

Si Pecak : "Bener oge nyah, hayu atuh". Ceuk Si Pecak bari jeung siap siap mangkat


Si Pecak jeung Si Burvt barangkat ka sawah. Si Burvt dihareupeun, Si Pecak di tukangeun Si Burvt.


Si Pecak  : "Geura naek Rut, Aing geus aus yeuh". Ceuk Si Pecak

Si Burvt   : "Cak, pan aing mah teu bisa naek tangkal kalapa". Si Burvt karak engeuh manehna teu bisa naek kalapa

Si Pecak  : "Nggeus geura naek bae, kos monyet". Si Pecak nitahan ka Si Burvt bari ngelusan tikorona

Si Burvt   : "Heu geh aing nyobaan lah". Bari ngalipetkeun sarungna jeung ngabayangkeun monyet keur naek kalapa


Akhirna Si Burvt naek, tapi kunaon tisaprak eta, Si Burvt eweuh soraan, najan digeuroan ge ku Si Pecak. Si Pecak panasaran ko Si Burvt digeroan titadi teu nyahut-nyahut. 

Kusabab Si Pecak ges teukuat auseun, manehna naek oge kana tangkal kalapa nu ditaekan ku Si Burvt. 

Lalahunan Si Pecak naekna, bari leungeuna ngarabaan luhureun sirahna ges nepi apa ncan. Pas rada luhur, lengeun Si Pecak akhirna ngageurewek eta kalapa. 


"Benang sia ku aing". Ceuk Si Pecak bungah
Teu lila Si Pecak ngomong deui ...

"Ieu kalapana ko bie nyah?". Ceuk Si Pecak bari panasaran


Teu lila kaluar cai dina eta kalapa ... diasaan ku Si Pecak


"Cai kalapa ko kieu amat?", kusabab Si Pecak geus lila tara nginum cai kalapa, poho deui kana rasana. 

"Wah cengkir ieu mah kalapana". Si Pecak ngomong sorangan


Teu lila eta kalapa di dudut ku Si Pecak, dipulintirkeun hela eta kalapa mbeh gampang didudutna. 

Geus kitu, pas didudut aya suara ngagoak, nyaeta suara Si Burvt. Tapi eta kalapa kaburu kagol kadudut ku Si Pecak. 

Terus Si Burvt ragag, lengeun Si Burvt nyeukelan ka lengeun Si Pecak. Ju be duanana ragag ...

GUBRAGGGGGGG !

"Adawwww ...". Si Burvt jeung Si Pecak ngagoak

Si Burvt  : "Pecak sia mah kabina-bina eta aing di krewek ku sia". Si Burvt ngambek

Si Pecak : "Aing teu nyaho eta sia, ja eweh soraan, atu sia cicing bae ku aing digeroan geh".

Si Burvt  : "Aing sieun pas diluhur, inggis Cak, aing pereum be di luhur. Aing teu nyaho sia horeng miluan nerekel naek. terus aing kiih ja sieun ges diluhur teubisa kahandap dei.

Terus si pecak buru-buru lumpat ka cai kusabab awakna baseuh ku kiih si burvt.

Selesai.




Kalakay Jasinga

PERBEDAAN BAHASA SUNDA PRIANGAN DAN SUNDA BANTEN


THE DIFFERENCE OF SUNDA PRIANGAN AND SUNDA BANTEN

Bahasa Sunda yang berada di Banten, serta yang berada di daerah Priangan (Garut, Tasikmalaya, Bandung, dll.) memiliki beberapa perbedaan. Mulai dari dialek pengucapannya, sampai beberapa perbedaan pada kata-katanya. 


Sundanese in Banten, as well as those in the Priangan area (Garut, tasik Malaya, bandung, etc.) have some differences. Starting from a dialect of the pronunciation to some differences in the words.

Bahasa Sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, Bahasa Sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuna. 

Sundanese in Banten also generally does not recognize level, still seems to have a close relationship with Old Sundanese.

Namun oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan (Priangan), Bahasa Sunda Banten (Rangkasbitung, Pandeglang, Lebak) digolongkan sebagai bahasa Sunda kasar. 

But by the majority of people who speak Sundanese who have levels (Priangan), Sundanese Banten (Rangkasbitung, Pandeglang, Lebak) is classified as a coarse Sundanese language.

Secara prakteknya, Bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai Bahasa Sunda dialek Barat. Pengucapan bahasa Sunda di Banten umumnya berada di daerah Selatan Banten (Lebak, Pandeglang).

In practice, Banten Sundanese is classified as Western Sundanese dialect. Sundanese pronunciation in Banten is generally located in the southern area of Banten (Lebak, Pandeglang).


Berikut beberapa contoh perbedaannya: 

Bahasa Indonesia/Bahasa Sunda(Banten)/Bahasa Sunda(Priangan) 

Sangat/ jasa /pisan 
Dia/ nyana/ anjeunna 
Susah/gati/ hese 
Seperti /doang /siga 
Tidak pernah/ tilok /tara 
Saya/ aing /abdi 
Mereka /maraneh /aranjeuna 
Melihat /noong ningali/nenjo 
Makan /hakan /tuang dahar 
Kenapa/ pan/ naha 
Singkong/ dangdeur /sampeu 
Tidak mau/ embung/endung/ alim 
Belakang /Tukang/ Pengker 
Repot /haliwu /rebut 
Baju /Jamang/ Acuk 
Teman /Orok /Batur

Here are some examples of the differences :

Indonesian/Sundanese (Banten)/Sundanese (Priangan)

Sangat/ jasa /pisan 
Dia/ nyana/ anjeunna 
Susah/gati/ hese 
Seperti /doang /siga 
Tidak pernah/ tilok /tara 
Saya/ aing /abdi 
Mereka /maraneh /aranjeuna 
Melihat /noong ningali/nenjo 
Makan /hakan /tuang dahar 
Kenapa/ pan/ naha 
Singkong/ dangdeur /sampeu 
Tidak mau/ embung/endung/ alim 
Belakang /Tukang/ Pengker 
Repot /haliwu /rebut 
Baju /Jamang/ Acuk 
Teman /Orok /Batur


Contoh perbedaan dalam kalimatnya seperti:

Ketika sedang berpendapat,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Jeuuuh aing mah embung jasa jadi doang jelma nu kedul!"

Sunda Priangan: "Ah abdi mah alim janten jalmi nu pangedulan teh!"

Bahasa Indonesia: "Wah saya sangat tidak mau menjadi orang yang malas!"

Examples of differences in sentences such as :

While in opinion, 

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Jeuuuh aing mah embung jasa jadi doang jelma nu kedul!"

Sunda Priangan: "Ah abdi mah alim janten jalmi nu pangedulan teh!"



Bahasa Indonesia: "Wah saya sangat tidak mau menjadi orang yang malas!


Ketika mengajak kerabat untuk makan,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Teh Eka, maneh arek hakan teu?"

Sunda Priangan: "Teh Eka, badé tuang heula?"

Bahasa Indonesia: "(Kak) Eka, mau makan tidak?"

While inviting relatives to eat,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Teh Eka, maneh arek hakan teu?"

Sunda Priangan: "Teh Eka, badé tuang heula?"



Bahasa Indonesia: "(Kak) Eka, mau makan tidak?"


Ketika sedang berbelanja,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Lamun ieu dangdeur na sabarahaan mang? Tong mahal jasa."

Sunda Priangan: "Dupi ieu sampeu sabarahaan mang? Teu kénging awis teuing nya"

Bahasa Indonesia: "Kalau (ini) harga singkongnya berapa bang? Jangan kemahalan."


While shopping,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Lamun ieu dangdeur na sabarahaan mang? Tong mahal jasa."

Sunda Priangan: "Dupi ieu sampeu sabarahaan mang? Teu kénging awis teuing nya"


Bahasa Indonesia: "Kalau (ini) harga singkongnya berapa bang? Jangan kemahalan."


Ketika sedang menunjuk,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Eta diditu maranehna orok aing"

Sunda Priangan: " Eta palih ditu réréncangan abdi. "

Bahasa Indonesia: "Mereka semua (di sana) adalah teman saya"

While pointing,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Eta diditu maranehna orok aing"

Sunda Priangan: " Eta palih ditu réréncangan abdi. "



Bahasa Indonesia: "Mereka semua (di sana) adalah teman saya"



Meski berbeda pengucapan dan kalimat, namun bukan berarti beda bahasa, hanya berbeda dialek. Berbeda halnya dengan bahasa Sunda Priangan yang telah terpengaruh dari kerajaan Mataram. 

Although difference pronunciation and sentence, but  it does not mean different languages, only different dialects. Unlike the case with the Sundanese language Priangan which has been influenced by the Kingdom of Mataram.

Hal itu yang menyebabkan bahasa Sunda Priangan memiliki beberapa tingkatan. Sementara bahasa Sunda Banten, tidak memiliki tingkatan. 

That is why the Sundanese Priangan language has several levels. While the Sundanese Banten language does not have levels.

Penutur aktif bahasa Sunda Banten saat ini, contohnya adalah orang-orang Sunda yang tinggal di daerah Banten bagian selatan (Pandeglang, Lebak). 

Active speakers of Banten Sundanese right now, for example, are Sundanese who live in the southern part of Banten (Pandeglang, Lebak).

Sementara masyarakat tradisional pengguna dialek ini adalah suku Baduy di Kabupaten Lebak.

While the Traditional community of dialect users is the Baduy in Lebak Regency.

Wilayah Utara Banten seperti Serang umumnya menggunakan bahasa campuran (multi-bilingual) , antara bahasa Sunda dan Jawa.

The northern region of banten like Serang generally uses a mixed (Multi bilingual), language between Sundanese and Javanese. 




Kalakay Jasinga
 
 
 

 




JAMPE TANAM PADI HUMA DI PAGUNUNGAN JASINGA

DIPIMPIN KU SESEPUH KAMPUNG

Bismillahirrahmanirrahiim

Ngaseuk (Melubangi Tanah untuk menanam bibit)

Bulkukus menyan putih
Pat herang pat lenggang
Pat samaya-maya
Punika ajengan Nabi
Maka wawuh jung aluh
Maka nyerep jung lenyap
Sri kagunggum sri kagenggem
Kagunggum kanu keagungan
Kagenggem kanu karesa
Mahluk papanganing sri manusia
Allahuma ni herang
Allah dat les tanpa wekas


Jampe sawan (memberi mantra pada benih padi)

Nini awan-awan
Aki sawan-sawan
Sawan jampe sawan nu di jampe
Sawan jampe sorangan
Hirup ku Nabi waras ku Allah
Kersaning Allah

Tandur (Tanam padi)

Ashadu sadat bumi
Bumi suci badan suka
Suka-suka ku panarima
Tarima ku ujud ning Allah
La ilaha ilallah
Niat kula ngawinkeun sri ka bumi
La ilahailallah
Muhammadarrasulullah


Sumber : 

Ki Sartam, Barangbang Jasinga
Kalakay Jasinga


MANTRA PIKEUN NGAREPEHKEUN OROK

MANTRA UNTUK BAYI YANG SELALU MENANGIS DI TENGAH MALAM :





Cep hewang cep lenggang
Aya kalong newo-newo
Aya yaksa mentang di lawang
Kukudung geni penjara besi



Mantra ini biasanya dipakai oleh orang tua dahulu terutama kaum ibu-ibu untuk menenangkan anak balita yang menangis di malam hari tanpa sebab. Setelah mantra ini dibacakan, ditiupkan ke dalam gelas yang berisi air putih lalu diminum oleh balita yang menangis dan diusapkan ke muka.




KALAKAY JASINGA

JIRAT HURUF ARAB DARI BUKIT KULANTUNG

Yang Unik Dari Bukit Kulantung

ADA Apa dengan Bukit Kulantung? Jalan raya beraspal yang menghubungkan Jasinga dengan daerah Tenjo, Bogor, memang relatif sepi, termasuk yang melewati Desa Setu, Kecamatan Jasinga. Jarang yang memperhatikan kalau ruas jalan di daerah ini terdapat oleh dua buah bukit yang meski tidak terlalu besar namun tampak gagah dengan hutannya yang cukup lebat. Salah satu bukit ini bernama Kulantung yang bagi pelancong tampak sebagai bukit biasa dan "tidak ada apa-apanya," terutama bagi mereka yang belum pernah mendekatinya.

Memang, Kulantung adalah bukit biasa dengan tumbuhan khas tropis yang rapat, mulai dari semak hingga pepohonan besar. Namun, sekitar 500 meter dari jalan raya - sekali lagi, jarang yang mengetahui - terdapat warisan yang sangat berharga dan penting khususnya dalam khasanah kepurbakalaan masa Islam, yaitu kompleks makam kuna.

Saat ini kompleks makam kuna ini menjadi salah satu tempat yang dianggap keramat sehingga sering didatangi peziarah. Memang, belum diketahui sosok tokoh yang dimakamkan, termasuk asal-usul dan kronologinya. Namun demikian kondisi umum situs cukup terawat karena dijaga oleh seorang juru kunci yang bekerja secara sukarela.

Sang juru kunci menceritakan bahwa jika dikaitkan dengan peninggalan leluhur di sekitar kompleks, selain makam-makam kuna juga terdapat naskah kuna yang ditulis dengan huruf pegon dan berbahasa Jawa. Namun, ternyata isi naskah tidak berkaitan dengan keberadaan gugusan makam kuna ini karena berisi doa dalam tawasul kepada Nabi Muhammad SAW dan keturunannya seperti Fatimah dan Hasan Husen. Yang pasti adalah bahwa gugusan makam kuna - yang menurut arkeolog penting - bukanlah satu-satunya warisan leluhur yang tidak hanya harus dijaga, tetapi yang lebih penting adalah harus "dibaca" makna yang ada di dalamnya.

Yang Unik dan Yang Khas

Meski diceritakan oleh Jurukunci bahwa mulanya jumlah makam kuna yang konon bentuk dan bahannya hampir seragam ini mencapai ratusan, akan tetapi yang terlihat masih lengkap saat ini dapat dihitung dengan jari kita. Melihat kondisinya, masuk akal memang kalau jumlah sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan yang terlihat, terutama karena faktor lingkungan yang merusak dan menimbun gugus makam lainnya. Belum lagi usianya yang sudah mencapai ratusan tahun. Oleh karena itu banyak makam kuna yang hanya memperlihatkan nisannya saja sementara badan makamnya (jirat) sudah tertimbun. Total jika ini dihitung maka keseluruhan makam kuna yang dapat dikenali berjumlah sekitar 50 buah.

Kita tak akan terkejut jika hanya membayangkan keberadaan bentuk makam kuna di sini karena persebaran makam kuna di Indonesia memang sangat banyak dengan berbagai keunikannya. Namun jika diperhatikan secara seksama, ada sesuatu yang lain yang jarang (atau bahkan tidak) ditemukan di tempat lain. Jika di tempat lain keunikan umumnya ada pada bentuk nisannya, maka di tempat ini justru bentuk badan makamnya (jirat) yang sangat unik dan khas.

Secara umum bentuk jirat pada sebagian besar makam adalah sederhana dan dapat dikatakan seragam, yaitu berupa balok batu (tinggi sekitar 10 cm dari muka tanah) yang disusun empat persegi panjang membujur dengan orientasi hampir utara-selatan. Ciri khas dan yang unik adalah adanya lempeng batu dalam posisi horisontal di bagian kaki (selatan). Sedangkan di bagian kepala (utara) berdiri nisan dari batu dalam ukuran yang cukup besar. Sekilas lempeng batu ini tampak seperti nisan yang rebah, dan justru ini adalah salah satu keunikan yang khas.

Masing-masing jirat juga memperlihatkan beberapa hal yang berbeda, terutama dalam hal bentuk lempeng batu tersebut, yang paling tidak memperlihatkan 4 bentuk. Keempat bentuk lempeng batu ini adalah: 1) membulat (setengah lingkaran), 2) segitiga, 3) sisi bergelombang, dan 4) bentuk sisi mematah.

Selain itu, hal lain yang berbeda pada masing-masing jirat juga terletak pada aspek dekoratif. Umumnya, makam kuna di situs ini dipenuhi oleh hiasan yang dibuat dengan teknik ukir pada seluruh bagiannya, kecuali pada beberapa jirat. Namun pada lempengan batu unsur dekoratif selalu hadir, meskipun bentuk hiasannya berbeda-beda. Demikian pula dengan balok batu yang membentuk jirat, jenis hiasan yang diukirkan juga menunjukkan berbagai variasi. Hiasan yang ada pada jirat meliputi geometris dan suluran yang diukirkan cenderung memenuhi bidang yang ada. Cukup menakjubkan memang: bidang yang relatif sempit tidak menghalangi kreatifitas dan ungkapan seni, yang - sekali lagi - unik dan menjadi ciri khas situs Kulantung.

Nisan-nisan yang ada juga memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri, meski terdiri atas dua bentuk dasar, yaitu segi 8 dan pipih. Gambaran variasi bentuk nisan di situs Kulantung adalah sebagai berikut:

Bentuk dasar segi 8 terdiri atas:

- Tipe gada 1: kaki berpelipit, badan melebar ke atas; tanpa pundak; bagian kepala membulat; mahkota juga membulat
- Tipe gada 2: kaki berpelipit; badan melebar ke atas; pundak berprofil lurus; bagian kepala bersegi 8; dan mahkota bertingkat
- Tipe gada 3: kaki berpelipit, badan melebar ke atas; profil pundak melengkung; bagian kepala bersegi 8; dan mahkota bertingkat.
> Bentuk dasar pipih terdiri atas:
- Tipe kipas 1: profil kaki lurus; badan melebar ke atas; tanpa pundak; bagian kepala meruncing bergelombang, tanpa mahkota
- Tipe kipas 2: profil kaki lurus, badan melebar ke atas; tanpa pundak; bagian kepala sisi bergelombang; tanpa mahkota.

Tak Perlu Takut

Makam (kuna) merupakan salah satu indikasi adanya permukiman (kuna) dengan aspek kehidupan yang cukup kompleks. Selain itu, makam kuna juga mengandung berbagai data yang penting untuk menggambarkan masyarakat pendukungnya dimasa lalu. Kandungan data pada makam kuna antara lain meliputi aspek teknologi dan aspek seni. Aspek teknologi paling tidak mencakup pemilihan bahan, cara pengerjaan, pemilihan bentuk dan sebagainya. Aspek seni yang ditunjukkan oleh bentuk dan unsur dekoratif antara lain mencakup jenis dan ragam hias, penempatan, dan makna yang ada di dalamnya.

Pendek kata, jika makam kuna dilihat sebagai sebuah warisan yang tidak hanya harus dilestarikan tetapi juga harus dicari maknanya, maka tidak ada alasan untuk merasa takut pada sosoknya. Banyak aspek yang bisa membawa kita kepada pemahaman makna yang ada pada wujud makam kuna sebagai sebuah warisan. 

Memahami makna untuk belajar mengerti jati diri dan apa yang terjadi di sekeliling kita. Tidak berlebihan sebenarnya jika memang memiliki niat dan mau sedikit mengotak-atik "huruf-huruf" yang ada pada makam kuna agar terbaca dengan lebih jelas. Satu hal lagi: kompleks makam kuna jangan diartikan sebagai pekuburan tempat hantu bergentayangan! 



(Sugeng Riyanto)(Pusat Penelitian Arkeologi/Proyek Pengembangan Media Kebudayaan 2003)

TUTUNGGUL JEUNG TETENGGER

TUTUNGGUL JEUNG TETENGGER


JASINGA…Nu depa di bumi SUNDA
Ngaran anu nyorang ka denge
Lemah anu nyorang ka tincak

JASINGA…ngeun tinggal ngaran
Nu ka sampak ngeun barisan imah
Nu ka panggih ngeun riungan somah

LEUWI DALEM, PAGUTAN, ngandung carita
LEUWI SANGHYANG, GUNUNG KULANTUNG, 
saksi lalakon
CIDANGHYANG jeung PARAHYANG geus narikolot

Nanjungna JASINGA geus dilalakonkeun
Lalakon karuhun baheula
Nu ngawangun jeung bela pati lemah caina

Saksi kajayaan baheula……
Ayeuna ngan tutunggul nu ngajarantul
Tutunggul nu ngagaloler

JASINGA ayeuna, jiga leungit komara
Komara nu rek leungit wawangi
Jiga Cai nu tereh saat, Gunung nu tereh lebur
Seuneu nu rek parem, Lebak nu rek ruksak……

Panghareupan nu gumantung kana lalangit
Nu nangtung kuwung-kuwung ka lapuk bentang
Pangjurung ngapung ka manggung…

Kiwari….anak incu nyukcruk galur
Nu neruskeun lalampah, pikeun ngawangun JASINGA
Nu weweg sampeg mandala pageuh….



Diguratkeun di sisi Cidurian Jasinga 2006
Andri M.F

PENULUSARAN KAMUS SUNDA DIALEK JASINGA DI BANDUNG

Penulusaran Kamus Sunda Dialek Jasinga di Bandung

Bandung adalah tujuan kami mencari jejak sejarah. Hari itu tanggal 7 Desember 2008 pukul 12.30, sehari sebelum ldhul Adha. Kami berangkat ke Bandung dari Jasinga menggunakan sepeda motor, estimasi perjalanan kurang lebih 6 jam. Rute yang di tempuh termasuk rute favorit yaitu jalur puncak, memasuki jalur ini kami beristirahat karena hujan sangat lebat. Setelah hujan reda kami pun melanjutkan perjalanan. 

Hamparan hijau pohon teh cukup menyegarkan mata, hawa sore hari yang dingin di tambah lagi kabut turut menghiasi perjalanan kami sepanjang jalur puncak. Jalanan yang berkelok-kelok dan licin memaksa kami harus berhati-hati, setelah melewati puncak pass berarti kami memasuki batas wilayah Kabupaten Bogor dengan Cianjur.


Sebelum memasuki kota Cianjur kembali kami beristirahat di sebuah masjid untuk melaksanakan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar perjalanan kami lanjutkan meski di bawah guyuran hujan ringan. Tak terasa perjalanan yang kami tempuh telah melintasi jembatan sungai Citarum, sungai ini dulunya merupakan wilayah teritorial Tarumanagara di bawah kekuasaan raja Purnawarman. Pada tahun 670 masehi di pecah menjadi dua wilayah Kerajaan yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dan menjadikan Sungai Citarum ini sebagai batas. Selain itu sungai Citarum ini pernah pula menjadi batas wilayah kekuasaan kesultanan Banten. 


Kemudian wilayah Padalarang pun kami lewati dimana wilayah ini pernah menjadi saksi sejarah terjadinya pertempuran hebat antara laskar Banten dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Syeh Yusuf beserta anak-anak Sultan Ageung Tirtayasa yaitu Pangeran Purbaya, Pangeran Kulon, Pangeran Kidul dan lain-lain. Syeh Yusuf adalah seorang ulama Sufi dari Bugis Makassar dan diangkat sebagai seorang Mufti di kesultanan Banten di bawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa. 

Syeh Yusuf juga orang yang berjasa dalam membantu dan memimpin perlawanan rakyat Banten melawan penjajahan Belanda meski beliau bukan berasal dari Banten. Kembali ke perjalanan kami, setelah melewati Padalarang kami pun sampai di gerbang wilayah kota Cimahi dan akhirnya memasuki Kota Bandung mengambil jalur Pasar Baroe Bandung, sambil melihat bentuk arsitektur bangunan tempo doeloe yang berada di sepanjang jalan Otista Pasar Baru Bandung ini, tak terasa kami telah sampai di Tegalega dan di tempat ini terdapat Monumen bersejarah perjuangan rakyat Bandung yaitu monumen Bandung Lautan Api. Di seberang jalan dari taman Tegalega ini terdapat Museum sejarah Jawa Barat yaitu Museum Sri Baduga, di dalam museum ini terdapat berbagai macam naskah-naskah kuno dan benda-benda pusaka peninggalan kekayaan bumi Sunda. Tapi sayang kami tidak bisa masuk ke Museum tersebut dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan. 


Kami hanya bisa memandang dari seberang jalan sebuah replika Singa Barong yaitu sebuah kereta kuno Kesultanan Cirebon yang terpampang di dalam ruang kaca. Akhirnya perjalanan kami lanjutkan melewati alun-alun Bandung dan jalan Asia Afrika menuju toko buku Gramedia. Singgah di toko buku Gramedia dekat Bandung Indah Plaza atau lebih dikenal dengan BIP, di Gramedia ini kami hanya lihat-lihat saja dan sedikit baca-baca. “lumayanlah baca gratisan hehehe”. Koleksi tentang sejarah Sunda di toko buku ini sudah jarang kita temui, padahal setahun yang lalu masih banyak buku-buku tentang sejarah Sunda di tempat ini. Selain sejarah Sunda kami pun sempat melihat-lihat buku-buku terbitan terbaru tentang Tan Malaka. “hmhm…..Madilog Tan Malaka saya sudah punya Loh heehe”. Setelah cukup bosan di toko buku Gramedia ini, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ciwaruga untuk melepaskan lelah alias Tidur di tempat saudara. Tak terasa malam berganti pagi dan kami terlambat menyadari pagi itu 8 Desember 2008 adalah hari raya Idhul Adha. Tepat pukul 11 pagi perjalanan kami lanjutkan ke arah Buah Batu terus ke jalan Soekarno Hatta dengan tujuan tujuan Rumah Baca Buku Sunda milik pak Maman di daerah Margahayu perumahan Mekarwangi.


Cukup banyak koleksi-koleksi tentang buku-buku dan naskah Sunda di tempat ini. Yang membuat kami terpesona adalah kamus pertama Sunda - Inggris tulisan Jonathan Riggs tahun 1862, kamus ini berisi kosa kata Sunda asli dialek Jasinga dan bukan dialek Priangan. 


Kamus ini di tulis oleh Jonathan Riggs saat berada di Jasinga, untuk mengumpulkan kosa-kata sunda dialek Jasinga ini, Jonathan Riggs banyak di bantu oleh demang Jasinga pada waktu itu yaitu Raden Natawiria. 

Demang ini mempunyai pengetahuan yang cukup luas. ketebalan dari kamus ini adalah 537 halaman dengan kosa kata 9.803 kata, di Rumah Baca Buku Sunda ini juga cukup banyak sejarah tentang Banten. Di tempat ini pula kami juga bertemu dengan Pak Wishnu seorang Dokter medis yang juga sangat peduli terhadap sejarah. 

Dari beliau kami mendapatkan pelajaran tentang prosesi pembuatan keris. Meski pak Wishnu sendiri bukan asli Sunda namun beliau sangat peduli dan ingin sekali menggali tentang senjata Pusaka Sunda yaitu Kujang. Tak terasa waktu begitu cepat hingga akhirnya kami pun harus kembali ke tanah leluhur kami Jasinga. Suatu saat kami akan kembali ke Bandung untuk bersilaturahmi dan tentunya mengcopy Kamus Sunda Jonathan Riggs.


Penulis
Yana Mevlana,& Nday Kalakay Jasinga
Bandung, 9 Desember 2008