Uga Jasinga

"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong hejo anu bahanna aya di leuwi curug, leuwi sangiang jeung nu sawarehna aya di girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung nu engke katelahna awi tangtu. Didinya bakal ngadeg gedong hejo di tonggoheun leuwi sangiang" * TiKokolot Jasinga*.

BAHASA SUNDA DULU SANGAT EGALITER

BAHASA SUNDA KINI DAN DULU



Hingga tahun 1600-an, orang Sunda sama sekali tidak mengenal undak-usuk (tingkatan) dalam berbahasa. “Pada masa era kerajaan Sunda seperti Pajajaran berjaya, bahasa Sunda adalah bahasa yang sangat egaliter dan demokratis,”ungkap Ajip Rosidi kepada saya dalam sebuah wawancara beberapa waktu yang lalu.

Ungkapan sastrawan Sunda asal Majalengka itu, dipertegas oleh Nina Lubis. Menurut sejarahwan Universitas Padjajaran tersebut, kata-kata Ajip memang bukan dongeng semata. Buktinya, semua naskah yang berasal dari masa Kerajaan Sunda abad ke-16 seperti Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) dan Carita Parahyangan (sekitar 1580) menggunakan bahasa yang sangat egaliter.

“Itu artinya, bahasa Sunda tidak mengenal tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa, yaitu bahasa ngoko (kasar) dan kromo (halus),” tulis Nina Lubis dalam Bahasa Sunda yang Demokratis (Pikiran Rakyat, April 2000).

Dan memang dalam manuskrip-manuskrip Sunda tua serta prasasti-prasasti sebelum abad ke-17, kata-kata dalam bahasa leumeus (halus) memang bisa dikatakan tidak ada. Alih-alih demikian, kata-kata siya (kamu), kawula (saya), beja (berita), dititah (diperintahkan) serta banyak kata yang dikenal hari ini sebagai bagian dari bahasa Sunda kasar justru sering banyak dijumpai di dokumen-dokumen tua tersebut.

Di kalangan penganut agama Sunda Wiwitan (seperti orang-orang Baduy di Banten), penggunaan bahasa Sunda tua ini bahkan terus dilestarikan hingga sekarang. Bahkan saya sempat mengenal salah satu penganut Sunda Wiwitan dari Belanda. Namanya Beni Sastrawidjaya (75), yang menolak keras menggunakan bahasa Sunda versi hari ini. Alasannya sederhana, ”Bahasa yang sekarang dipakai itu bahasa Sunda versi penjajah,” katanya.

Saya sempat terkejut mendengar ungkapan Aki Beni itu. Tapi setelah saya baca dan telisik sana-sini, apa yang dikatakan itu memang benar adanya. Mungkin tak banyak orang Jawa Barat tahu, sekitar 1624-1708, wilayah-wilayah yang sekarang dikenal sebagai Ciamis, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Bandung, Cianjur dan Sukabumi adalah jajahan Kerajaan Mataram.

Saat Mataram menguasai wilayah-wilayah Sunda (meskipun secara tidak langsung, karena kekuasaan di wilayah kabupaten, tetap dipegang oleh elite lokal) tersebut, otomatis kewajiban menggunakan bahasa Jawa (versi Yogya dan Solo) diberlakukan sebagai pengantar resmi dalam urusan-urusan administrasi antara pusat (Keraton Mataram) dengan daerah (kadipaten-kadipaten).

Menurut Nina Lubis, saat itu bahasa Jawa menjadi bahasa yang wajib dikuasai layaknya bahasa Indonesia hari ini. Bahkan saat itu ada anggapan penguasaan atas bahasa ini menjadi ukuran kebangsawanan seorang elite politik. “ Hal ini dapat dibaca dalam surat-surat pribadi ataupun karya sastra atau karya sastra-sejarah yang ditulis oleh elite politik di Tatar Sunda (misalnya babad, wawacan, sajarah, dsb.),” tulis Nina.

Para menak Sunda yang mengabdi kepada Mataram rupanya ingin menerapkan bentuk dominasi psikologis tersebut kepada rakyatnya. Jadilah semua tata cara dan etika Mataram (termasuk feodalisme-nya) berlaku di semua wilayah Priangan. Ini sesuai sekali dengan pendapat pakar Poskolonial asal India, Gayatri Svivak: “Bangsa yang inferior adalah sekumpulan manusia yang tidak percaya diri dan selalu berlindung pada kebesaran kaum yang menjajahnya dengan bersikap seperti layakknya kaum penjajah, ”tulisnya dalam Teori Post Kolonial.

Sejak saat itu bahasa Sunda tua yang egaliter mulai dilamurkan. Untuk memelihara citra dan dominasi mereka terhadap kaum cacah kuricah (rakyat kecil), bahasa dan tulisan Sunda diatur oleh undak usuk basa yang serba rumit sehingga pada awal abad ke-20 bahasa Sunda telah terbentuk dalam kasta-kasta seperti bahasa lemes pisan (halus sekali), lemes(halus), sedeng (sedang), dan kasar (kasar), dan kasar pisan (kasar sekali).

“Pemakaian tingkatan bahasa ini dibedakan karena status sosial, umur, dan hubungan kekerabatan. Bahasa yang halus sekali dipergunakan kepada kaum menak luhur (bangsawan tinggi) dan kepada para pejabat Belanda,” tulis Nina Lubis.

Cianjur merupakan kadipaten yang para menaknya bisa menyerap secara efektif gaya dan watak bahasa Jawa Mataram itu. Begitu efektifnya upaya adopsi lingusitik ini, hingga menyebabkan Cianjur dikenal sebagai pengguna bahasa Sunda paling halus di wilayah Priangan. Ibarat Solo atau Yogyakarta bagi para pengguna bahasa Jawa. Tapi di lain pihak, ini menjadi indikator sejarah bahwa Cianjur adalah kadipaten paling loyal bagi Mataram, kesultanan yang pernah menjajah sebagian wilayah Priangan. (Hendijo)


KR - Kalakay Jasinga
Pernah di Posting di FB 25 Agustus 2014