Uga Jasinga

"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong hejo anu bahanna aya di leuwi curug, leuwi sangiang jeung nu sawarehna aya di girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung nu engke katelahna awi tangtu. Didinya bakal ngadeg gedong hejo di tonggoheun leuwi sangiang" * TiKokolot Jasinga*.
Tampilkan postingan dengan label SELAYANG PANDANG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SELAYANG PANDANG. Tampilkan semua postingan

PERLAWANAN KIAI TAPA, RATU BAGUS BUANG DAN RATU SITI TERHADAP KOMPENI

Pada masa pemerintahan Sultan Aripin (1750) timbul kerusuhan dan perlawanan terhadap Belanda, karena dianggap berbahaya , Belanda mengangkat Pangeran Gusti sebagai pengganti Sultan Haji. Tetapi langkah itu tidak membuat keadaan mereda, bahkan bertambah rusuh. Kiai Tapa (Penghulu Agung Mustofa) dan Tubagus Buang (Ratu Bagus Burhan) yang didukung kaum ulama dan rakyat bersatu melakukan perlawanan dan pengacauan di daerah Jasinga dan Priangan. 

Sebelumnya, Tahun 1735 Sultan Syifa Zainul Arifin ditangkap dan dibuang kompeni ke Ambon, setelah membantu Ratu Siti bersama Kiai Tapa atau Penghulu Agung Mustofa. Perlawanan Kiai Tapa semakin bertambah besA perlawanan. 

Ratu Bagus buang diangkat sebagai Sultan dengan Gelar Sultan Ahmad Adil dan kawin dengan Ratu Siti guna memperkuat legitimasinya atas tahta Banten, untuk memperlemah kedudukan Belanda, Kiai Tapa merusak penggilingan-penggilingan milik Belanda. Melihat posisi pemberontak semakin mantap, VOC melakukan serangan besar-besaran, sehingga perlawanan terpaksa mundur. Pertahanan mereka satu persatu jatuh ke tangan VOC (Juli 1751), akhirnya pasukan Kiai Tapa bertahan di Gunung Karang. 

Dalam pertempuran Cibodas pada Tanggal 17 Agustus 1751 barisan pemberontak mengalami kekalahan besar, sedangkan Kiai Tapa berhasil menyelamatkan diri ke selatan. pada akhir Tahun 1751, keadaan pemberontak semakin lemah, lebih lebih setelah Raden Bagus Buang menyerah karena sakit. 

Sumber : 
Wajah Pariwisata Jawa Barat 
Catatan kepahlawanan Yang Anti Kolonial nan Kunjung Padam 1994 
Perjuangan rakyat banten Menuju Provinsi 2001

ANDRIES DE WILDE (TUAN TANAH DI BANDUNG, JASINGA DAN SUKABUMI)


Dokter Andries de Wilde adalah tuan tanah pertama di daerah priangan dan seorang ahli bedah pada pasukan artileri Belanda. Kemudian diangkat menjadi Pembantu Gubernur Jendral Herman Wilem Daendels. Andries De Wilde sempat mengikat persahabatan dengan Liutenant Gouverneur Thomas Stamford Raffles (Gubernur Inggris untuk Indonesia). De Wilde diangkat sebagai Assistant to the Resident at Bandong (Residen Bandung) pada Agustus 1812 tapi jabatan itu tidak lama karena berselisih paham dengan Residen Macquoid yang lalu memecatnya. Kemudian Raffles mengangkatnya kembali sebagai pengawas penanaman kopi (Koffie OPZIENER) Yang berkedudukan di Tarogong-Garut.


Andries de Wilde juga memiliki tanah yang luas di Jasinga - Bogor dan pada 25 Januari 1813, ia membeli tanah di Sukabumi yang luasnya lima per duabelas bagian diseluruh tanah yang ada di Sukabumi seharga 58 ribu Ringgit Spanyol. tanah tersebut berbatasan dengan Lereng Gunung Gede Pangrangodi sebelah utara, Sungai Cimandiri di bagian selatan, lalu di arah barat berbatasan langsung dengan Keresidenan Jakarta dan Banten dan disebelah Timur dengan Sungai Cikupa.

Andries de Wilde mengajukan permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diizinkan menukar tanahnya di Bogor dan Sukabumi dengan sebidang tanah di Bandung Utara. Tanah pengganti itu meliputi wilayah yang luas memanjang dari Cimahi di Barat sampai Cibeusi di timur. Sebelah utara dibatasi Gunung Tangkuban Perahu, sedangkan selatan dibatasi jalan raya pos. Berarti, setengah dari luas Kabupaten Bandung sekarang dimiliki Andries de Wilde seorang. Selain bertanam kopi, de Wilde juga beternak sapi dengan puluhan budak belian sebagai pekerja kebunnya.

Dokter Andries De Wilde menikah dengan dengan mojang Priangan dan mendirikan vila indah di "Kampung Banong", kira-kira di daerah Dago Atas. Di tanah bekas gudang kopi miliknya didirikan Gedong Papak yang sekarang kita kenal sebagai kantor Pemerintah Kota Bandung (Balai Kota).

Perjalanan hidup De Wilde ternyata tidak mulus. Masa Gubernur Jendral Van der Capellen kepemilikan tanahnya dibatalkan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam keadaan bangkrut ia pulang ke Negeri Belanda untuk mengadu kepada Raja Willem.


+KALAKAY JASINGA+

Fans page Facebook Kalakay Jasinga 5 Maret 2013


  • Yasa Otipatijagatnata Ari tuan tanah ayeuna d jasinga saha?
    2
  • Si Bilatung Dulang Tah eta nu kiwari katelah kuburan walanda di kp lio jambu.,..
    1
    • Like
    • Reply
    • Message
    • 7y
  • Enday Bendy Irawan Dr.andries de wilde seorang ahli bedah yg pernah tìnggal dì Jasinga yg pertamakali menggnti nama kp.cikole dngn nama Soeka boemen/ sukabumi pda tgl 8 januari 1815 m.
  • Enday Bendy Irawan Dr.andries de wilde seorang ahli bedah yg pernah tìnggal dì Jasinga yg pertamakali menggnti nama kp.cikole dngn nama Soeka boemen/ sukabumi pda tgl 8 januari 1815 m.
  • Enday Bendy Irawan Dr.andries de wilde seorang ahli bedah yg pernah tìnggal dì Jasinga yg pertamakali menggnti nama kp.cikole dngn nama Soeka boemen/ sukabumi pda tgl 8 januari 1815 m.
  • Alfatih Mustofa ada kesalahan dari mata uang yang digunakan.
    58 ribu ringgit spanyol??? .
    ketika raffles berkuasa.

    ada "2" jenis mata uang.
    1: EVC mata uang kongsi dagang inggris berbahan timah cetakan tahun 1813 dan 1814 dengan nama DOIT JAVA.
    2: raffles juga mencetak mata uang perak yang dicetak disurabaya pada tahun 1813. 1814.1815.1816.
    dengan nama JAVA RUPPE BRITISH.
    .
    jadi seharuanya di era raffles dan tahun 1813 pembelian tanah menggunakan mata uang JAVA RUPEE BRITISH.
    bukan ringgit spanyol.
    1

CIKAL BAKAL KABUPATEN LEBAK

CIKAL BAKAL KABUPATEN LEBAK 


Pada masa Maulana Yusuf (1570-1580) wilayah kesultanan Banten membentang dari pesisir utara sampai wilayah pedalaman termasuk wilayah Pakuan Pajajaran yang ditaklukan Banten dan dibantu Cirebon pada tahun 1579. Para ponggawa Pajajaran yang ditaklukan kemudian diislamkan dan dibiarkan memegang jabatannya semula, dengan demikian gangguan yang dikhawatirkan datang dari pajajaran sudah berkurang.

Namun menurut sumber setempat (jagat pakidulan) atau Bayah yang sekarang menjadi Kabupaten Lebak dulunya daerah tersebut tidak aman karena masih sering terjadi kekacauan. Untuk mengamankan Jagat Kidul Penguasa Banten memerintahkan Dalem Jasinga Rd. Mas Tirta Kusumah untuk mengamankan daerah selatan ini.

Untuk melaksanakan perintah penguasa Banten, Dalem Jasinga pindah dari Jasinga (Bogor) ke Bayah yang diikuti oleh seluruh perangkat pemerintahannya. Sementara itu dengan pindahnya Jasinga ke Bayah maka status jasinga berubah menjadi setingkat kademangan. Jadi menurut sumber lokal Cikal bakal Kabupaten Lebak berasal dari Jasinga dan pertama kali memerintah Jagat Kidul (Bayah). Didaerah ini terdapat petilasan yang diyakini sebagai makam Rd. Mas Tirta Kusumah.

Kalakay Jasinga

SEKILAS RIWAYAT MARIBAYA JASINGA DAN PANGERAN SURYAKANCANA

STORY OF MARIBAYA JASINGA AND THE PRINCE OF SURYAKANCANA

Maribaya adalah sebuah hutan yang dihuni oleh komplotan perampok yang dipimpin oleh Sembaga dan bermukim di sebuah kobong. 

Maribaya is a forest inhabited by robbers who led by Sembaga and live in a kobong.

Mereka selalu merampok dan menjagal siapa saja yang melintasi daerah tersebut bahkan barang-barang yang dibawa oleh pasukan Banten dan Suryakancana dari Bogor sekalipun.

They always robbed and slaughtered anyone who crossed the area, even goods carried by Banten and Suryakancana troops from Bogor.

Hutan tersebut sangat berbahaya untuk dilewati bagi pasukan Banten maupun Suryakancana, hingga mereka menyebutnya dengan nama hutan Marabahaya, Marabaya atau Maribaya yang berarti di sini tempat berbahaya.

The forest is very dangerous to be passed for Banten and Suryakancana troops, so they call it by the name of the forest Marabahaya (dangerous), or Marabaya or Maribaya which means here a dangerous place.

Pada suatu ketika kedua pasukan tersebut menuju hutan Maribaya dari arah tempat asal masing-masing dan keduanya dipertemukan oleh dalem Cipayaeun. Daerah tempat kedua pasukan itu bertemu dinamakan Samprok (bahasa Sunda = paamprok). 


At one day the two troops headed for the Maribaya forest from the direction of the respective origins and both were met by the Dalem Cipayaeun. The area were the two troops met was called Samprok (Sundanese = paamprok).

Kemudian semuanya berunding tak jauh dari Samprok dan tempat mereka berunding dinamakan Sampiran. Melihat ada sekumpulan beberapa pasukan, Sembaga pun mendekati dan bermaksud merampas barang-barang apa saja yang dibawa kedua pasukan itu. 

Then everyone negotiates not far from Samprok and the place they negotiate called Sampiran. Seeing that there was a group of several troops Sembaga approach and intended to seize whatever items the two troops carried. 

Ketika hendak merampas, Pangeran Suryakancana yang memimpin pasukan dari Bogor itu langsung melawan dan membacok akan tetapi tidak mempan, perkelahian pun semakin seru. 

When Sembaga was about to seize, prince Suryakancana, who led the troops from Bogor, immediately fought and hacked, but did not work, then the fight was even more exciting. 

Berita perkelahian antara komplotan Sembaga dengan pasukan Banten dan Suryakancana itu pun terdengar oleh Wirasinga yang ada di Jasinga dan mengundangnya segera pergi ke Maribaya untuk membantu pasukan Banten dan Suryakancana. 


News of the fight between Sembaga with Banten and Suryakancana troops was heard by Wirasinga in Jasinga and invited him to immediately go to Maribaya to help the Banten and Suryakencana troops. 



Atas restu sesepuh Janglapa, Ibu Ratu memerintahkan Wirasinga untuk menghabisi Sembaga. Ketika Pangeran Suryakancana hendak membacok Sembaga, seketika itu Wirasinga menghalanginya.

On the blessing of Janglapa elders, the queen mother ordered Wirasinga to finish off Sembaga. When the prince of Suryakancana was about to hack Sembaga Wirasinga immediately blocked him.

Wirasinga menghalangi dan berkata, “ Biarlah kakang Suryakancana, biar aku yang akan menghabisinya “. “ Silakan Wirasinga “, jawab Pangeran Suryakancana. Seketika itu pula Sembaga tewas ditusuk oleh Wirasinga dengan keris miliknya. Kepala Sembaga putus ditebas hingga terpental ke arah Janglapa dan badannya berada di Samprok atau Janglapa Cinengah. Sejak Sembaga tewas, daerah pertempuran itu masih dinamakan maribaya.

Wirasinga interfered and said, "Let brother Suryakencana, let me finish him". "Please Wirasinga", answered prince Suryakancana. Instantly Sembaga died stabbed by Wirasinga with his keris. Sembaga's head was cut down until it bounced toward Janglapa and his body was in Samprok or Janglapa Cinengah. Since Sembaga died the area of battle was still called the Maribaya.

Maribaya yang diceritakan bukan perkampungan yang saat ini dihuni penduduk, tetapi dahulu berada di sisi sungai Cidurian yang bernama Leuwi Jasar.

Maribaya is not a settlement that is currently inhabited by the residents, but it used to be on the side of the Cidurian river named Leuwi Jasar.

Wirasinga mengajak Pangeran Suryakancana dan Banten untuk singgah ke Jasinga sekaligus merayakan atas kemenangan pertempuran di Maribaya. Dalam perjalanan menuju Jasinga banyak penduduk yang melihat iring-iringan pasukan tersebut dan tampak seekor singa memimpin di depan yang sebenarnya ia adalah Dalem Wirasinga.

Wirasinga invited prince Suryakancana and Banten to stop at Jasinga while celebrating the victory of the battle in Maribaya. on the ways to Jasinga many residents saw the convoy of troops and a lion was seen leading in front of what he actually was Dalem Jasinga.


Cariosan Riwayat Maribaya

KALAKAY JASINGA

MASYARAKAT KAMPUNG CINA TARISI DAN GOLOK CHENG LIEM

Pada masa pendudukan Jepang di Jasinga sekitar tahun 1942 seluruh pabrik karet Kolonial Belanda di Jasinga dan Cimaraca dirusak dan dikuasai, dampak lainya juga tidak beroperasinya pabrik-pabrik milik swasta. 

Seperti pabrik minyak sereh yang berada di Janglapa di sebelah  utara wilayah Jasinga yang bangkrut ditinggalkan pemiliknya dan meninggalkan buruh – buruh pabrik yang mayoritas adalah warga etnis Tionghoa yang didatangkan dari Tangerang.  

Mereka terdiri dari beberapa kepala keluarga tinggal di tempat seadanya di pinggiran desa.



Haji Sanusi yang saat itu menjabat Kepala Desa Bagoang tergugah untuk memindahkan mereka ke suatu tempat di wilayahnya.  

Mereka lalu mendapatkan tempat di Kampung Tarisi Desa Bagoang yang berada di pinggir Jalan antara Jasinga – Tenjo.  Masyarakat Tionghoa ini bermarga Tan yang menganut agama leluhurnya , dan penduduk asli desa Bagoang menerimanya dan hidup bertoleransi. 

Masyarakat Jasinga menyebut penduduk kampung itu dengan sebutan Cina Tarisi. Ada beberapa dari mereka yang mempunyai keahlian sebagai pandai besi tempa.

Pemerintah Jepang saat itu mememinta kepada Haji Sanusi selaku kepala Desa Bagoang agar dapat memenuhi kebutuhan tentara Jepang  berupa  pisau  Bayonet ( Pisau pada ujung senapan ). 

Haji Sanusi menunjuk Tan Cheng Liem dan kawan – kawannya untuk membuatkan beberapa pisau bayonet. Beberapa pisau Bayonet yang memenuhi standar tentara Jepang lalu dibawanya untuk kebutuhan perang. 



Pada bulan Agustus tahun 1945 Jepang menyerah tanpa syarat oleh pasukan Sekutu dan pergi ke negerinya, saat itu pesanan pisau bayonet tidak ada lagi, Haji Sanusi berinisiatif agar kegiatan pembuatan pisau dilanjutkan dan menggantinya dengan membuat Bedog atau Golok. 

Golok buatan Tan Cheng Liem mempunyai bentuk dan hiasan yang khas dan bercorak campuran pribumi dan Tionghoa (Cina) dan lebih populer dengan nama Bedog Ceng Lim atau Golok Ceng Lim. 

Golok dari kampung Tarisi ini masih bertahan hingga kini, pada perkembangannya tidak saja golok yang dibuat tetapi pisau dapur dan pisau raut. Setelah Tan Cheng Liem wafat, kerajinan golok diteruskan oleh putranya, Tan Soe Hay.

(Sumber : Alm. Bpk.Ukay Sukari Desa Bagoang)