Ke tiga tokoh ini, yaitu Ki Demang Haur
Tangtu, Guru Alas Lumintang Kendungan dan Puun Buluh Panuh yang di
tugaskan oleh Prabu Siliwangi (Ragamulya Suryakencana) pada tahun 1579
untuk menyelamatkan Hanjuang Bodas dari serbuan Pasukan Banten. Setelah
mendapat tugas tersebut, ketiganya bersama sang raja segera mundur dari
Pakuan (ibukota) Padjajaran ke arah selatan, ke sebuah tempat yang
disebut Tegal Buleud dan membagi-bagi pengikutnya dalam
kelompok-kelompok kecil dan memberi kebebasan kepada para pengikutnya
tersebut untuk memilih jalan hidup masing-masing. Sementara itu, ketiga
pimpinan Bareusan Pangawinan bertekad untuk kembali ke dayeuh (kota)
yang telah ditinggalkan.
Dalam perjalanan menuju Dayeuh, ketiga
pimpinan Bareusan Pangawinan sepakat untuk berpisah dan menempuh jalan
hidup masing-masing, tetapi tetap memelihara hubungan satu dengan
Iainnya. Perjalanan hidup Guru Alas Lumintang Kendungan dan Puun Buluh
Panuh selanjutnya tidak diceritakan dengan jelas. Sedangkan Ki
Demang Haur Tangtu akhirnya menetap di daerah Guradog (Jasinga) hingga
akhir hayatnya.
Kuburan Ki Demang Haur Tangtu sekarang ini dikenal
dengan sebutan Makam Dalem Tangtu Awileat. Di Kampung Guradog ini Ki
Demang Haur Tangtu mempunyai keturunan, yaitu warga yang sekarang
bertempat tinggal di daerah Citorek dan dikenal dengan sebutan
kasepuhan. Dan turunan Ki Demang Haur Tangtu inilah asal muasal
berkembangnya kelompok sosial Kasepuhan.
Dalam cerita rakyat daerah
Cisolok disebutkan bahwa Ki Demang Haur Tangtu memperistri Nini
Tundarasa, seorang gadis dari Kampung Kaduluhur. Nini Tundarasa inilah
yang dianggap sebagai leluhur atau nenek moyang warga Kasepuhan
Ciptagelar. Setelah menjadi satu di antara beberapa istri Ki Demang Haur
Tangtu, Nini Tundarasa pindah dari Kampung Kaduluhur ke Kampung
Guradog. Selanjutnya, keturunan mereka berpindah-pindah tempat tinggal
dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dalam perjalanan sejarahnya,
warga kasepuhan telah berpindah beberapa kali tetapi tetap berada di
sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Awal perpindahan
dimulai dari Ieluhur mereka, yaitu Nini Tundarasa yang pindah dari
Kampung Kaduluhur ke Kampung Guradog. Di kampung Guradog ini
masih bisa ditemukan Tradisi-tradisi seperti Serentaun dsb. Selain itu
masih bisa kita jumpai di kampung ini para sepuh (kokolotnya) masih
menggunakan iket kepala. Meski sudah ada pengaruh modernisasi, bahkan
untuk para pemudanya meski iket tidak dipakai tetapi mereka kerap
membawa iket karena itu ciri menurut mereka.
++Kalakay Jasinga++
Pernah di posting di Facebook pada 5 juni 2015
Pernah di posting di Facebook pada 5 juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar