Uga Jasinga
PERLAWANAN RATU BAGUS BUANG TERHADAP KOMPENI HINGGA AKHIR HAYATNYA MENURUT CATATAN LUAR
PERLAWANAN KIAI TAPA, RATU BAGUS BUANG DAN RATU SITI TERHADAP KOMPENI
SEJARAH BERDIRINYA SEKOLAH MUHAMMADYAH JASINGA
SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA ORGANISASI MUHAMMADIYAH JASINGA
TILU IWUNG DALAM BUDAYA MASYARAKAT SUNDA JASINGA
Sebutan tilu iwung pertama kali diperkenalkan
kepada Kalakay Jasinga ti Kokolot Jasinga. Pada waktu itu sekitar Tahun 2006
yang lalu diceritakanlah dengan Uga Jasinga yang berbunyi :
"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong
hejo anu bahana aya di Leuwi Curug, Leuwi Sanghyang, jeung anu sawarehna aya di
girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung anu katelahna
awi tangtu".
Konsep tilu iwung ini, kemungkinan besar sama
seperti konsep tritangtu sunda pada umumnya. Sebutan tritangtu dapat ditemukan
dalam naskah sunda lama, Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) pada lampir 26,
yang berbunyi "Ini tritangtu dibumi, bayu pinahka prebu, sabdapinahka
rama, hedap pinahka resi" (inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan
kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi).
Tritangtu di atas mengandung bayu, sabda,
hedap atau lampah ucap tekad dalam bahasa sunda sekarang. Meskipun ada tiga hal
atau ketentuan, tetapi sebenarnya tetap satu entitas atau keberadaan. Setiap
manusia memiliki tiga hal itu, yakni tekad atau keinginan dan kehendak, ucap
yang berarti pikiran dan lampah yang berarti tindakan. Kalau seseorang
melakukan sesuatu tentu ada tujuan dan keinginannya, dan tindakan itu dilakukan
setelah dipikirkannya. Tekad, ucap lampah adalah tiga potensi manusia yang
merupakan satu kesatuan untuk menandakan bahwa dia itu hidup. (Jakob Sumardjo,
Struktur filosofis Artefak Sunda).
Dalam masyarakat adat Baduy yang terletak di
Desa Kanekes Banten juga dikenal konsep pemerintahan tritangtu yang dikenal
dengan tiga kampung utama di baduy dalam yaitu Cibeo, Cikeusik, dan
Cikertawana. Ketiga kampung tersebut dipimpin oleh puun di masing masing
kampung tersebut yang memiliki tugas yang berbeda.
Sedikit penjelasan mengenai konsep tritangtu
atau tilu tangtu atau masyarakat Jasinga dalam Uga Jasinga menyebutnya tilu
iwung. Lalu bagaimana konsep budaya tritangtu ini begitu melekat pada
masyarakat Jasinga hingga era dimana melawan penjajah belanda waktu itu? Dimana yang tersaji
dalam cerita rakyat Jasinga, Uga Jasinga itu sendiri, nama tempat hingga gerakan perlawanan
terhadap penjajah Belanda saat itu.
Yang pertama kembali kepada Uga Jasinga, bisa
jadi yang kami dapatkan dari Kokolot Jasinga tersebut adalah hanya sepenggal
saja atau tidak utuh. Bisa jadi Uga Jasinga ini sebetulnya memiliki lebih
banyak lagi penggalan-penggalan yang menjelaskan tentang ramalan masa depan.
Karena pengertian dari uga itu sendiri menurut Nandang Rusnandar, yaitu :
"Uga merupakan salah satu tradisi lisan
masyarakat sunda, di dalamnya terkumpul segenap memori kolektif. Analisis
terhadap uga meliputi nilai-nilai dalam bentuk simbol yang tersirat di
dalamnya. Uga mampu meramalkan perubahan sosial sesuai dengan zamannya. Apabila
dilihat dari orientasi waktu, uga dapat menunjukkan: (1) Tercipta dan
dituturkan pada masa lampau, (2) Dituturkan pada masa lampau dan terjadi pada
waktu lalu, (3) Dituturkan pada masa lampau dan sekarang (sedang terjadi), (4)
dituturkan pada masa lampau, ramalan untuk masa yang akan datang. Fungsi uga
disamping untuk memprediksi ia juga harus dijadikan sebagai alat antisifasi
tentang sesuatu yang bakal terjadi diwaktu yang akan datang".
Tilu iwung dalam uga Jasinga tersebut
mengindikasikan sebagai kriteria atau penentu atau bisa saja berupa landasan
atau juga bisa sebagai falsafah untuk dapat berdirinya "gedong hejo "
tersebut. Penutur yang mencipta Uga Jasinga tersebut tentu sudah tahu apa itu
maksud dari tilu iwung tersebut, jika dikaitkan dengan kesamaan hal tersebut
mengindikasikan kesamaan makna dari tritangtu dimana berarti pada masa lalu
masyarakat jasinga sudah mengenal konsep tritangtu seperti di daerah kabuyutan
sunda lainnya.
Yang ke-dua adalah adanya tiga nama tempat
dimana tiga tempat itu memiliki nama hyang di akhiran katanya, yaitu Parahyang,
Cidanghyang dan Sanghyang. Ketiga tempat tersebut bila dilihat dari atas di
maps maka akan membentuk garis segitiga, dimana ditengah tengahnya dialiri oleh
sungai terbesar di Jasinga yaitu Cidurian. Hal tersebut tentunya bukanlah suatu
kebetulan dimana ketiga nama-nama tersebut merupakan nama yang tua, ada sejak
dahulu kala.
Yang ketiga dari cerita rakyat Jasinga yaitu
kisah tiga santri dalam peperangan di daerah yang bernama Pangapakan antara
orang-orang sunda pajajaran yang berlokasi di Pasir bayah dan wangsa mayak, dan
kisah tiga bersaudara yang adu tanding kerbau ke Palembang yang bernama
Jayaleksana, Jayaseta dan Jayawangsa. Dilihat dari nama santri tersebut
kemungkinan cerita ini terjadi pada masa islam. Ketiga santri yang melambangkan
tiga kekuatan.
Tentunya kisah kisah ini merupakan karya
sastra yang hingga saat ini masih terdengar diantara masyarakat Jasinga. Kisah
kisah heroik seperti ketiga santri yang datang tiba-tiba dalam pertempuran Wangsa
Mayak dan Wangsa Pasir Bayah, berusaha melerai antara dua wangsa yang sedang
berperang hebat itu. Namun apa yang terjadi ketiga santri tersebut malah
menjadi bulan-bulanan para petarung ksatria di palagan, sehingga terjadilah
peperangan segitiga. Karena ketiga santri itu mengamuk menjadi singa singa yang
buas, akhirnya kedua wangsa yang bertikai tersebut tidak dapat menandingi
amukan ketiga singa tersebut yang menyebabkan keluar dari medan perang. Wangsa
mayak kembali ke tempat asalnya di Mayak dan Koleang, sedangkan Wangsa Pasir
bayah mengungsi ke daerah pakidulan selatan yang sekarang bernama Bayah. Tiga
santri ini bisa jadi adalah simbol yang menandakan tritangtu atau tiga kekuatan
atau pangraksa, dan simbol singa merupakan simbol budaya sunda yang gagah
berani. Konon nama Jasinga dinamakan dari ketiga nama santri yang berubah
menjadi singa tersebut dan memenangkan pertarungan menjadi jaya singa dan
jadilah bernama Jasinga.
Selain kisah ketiga santri di atas, terdapat
lagi kisah tiga bersaudara yang mendapatkan undangan adu tanding kerbau oleh Raja
Palembang, yang terkenal tidak pernah terkalahkan di setiap lomba adu kerbau.
Ketiga bersaudara itu bernama Jayaleksana, Jayaseta dan Jayawangsa. Ketiga
bersaudara itu memiliki kelebihan-kelebihan diantaranya Jayaleksana sebagai
saudara tertua memiliki kelebihan kemampuan kedigdayaan dan ilmu kanuragan yang
tinggi. Jayaseta sebagai kakak ke-dua memiliki keunggulan pandai berdiplomatis
dan yang terakhir Jayawangsa tidak memiliki kemampuan apa apa, bahkan tubuhnya
mungil dan pendek. Singkat cerita karena mereka tidak membawa kerbau betulan,
Jayaleksana sebelum tiba di Palembang telah merubah adik bungsunya Jayaseta.
Dan ketika berhadapan adu tanding dengan dengan kerbau pribumi alangkah
terkejutnya ketiga bersaudara itu karena ukuran kerbau pribumi itu sangatlah
besar dan gagah. Namun hal tersebut tidak membuat gentar ketiga saudara dari negeri
Jasinga itu. Dimulai dari kerbau Palembang yang ukurannya besar memulai
serangan kepada Jayawangsa yang telah berubah menjadi kerbau yang kecil. Jaya
wangsa selalu menghindar serangan kerbau pribumi itu, namun pada satu
kesempatan ketika Jaya Wangsa menghindari serangan kerbau Palembang itu
kebetulan dia tepat berada tepat dibawah alat vital kerbau besar itu, dan
menandukan tanduknya ke alat vital kerbau besar sehingga mengakibatkan
tersungkurnya kerbau kebanggaan itu dan mengalami kekalahan.
Bila kita amati kisah di atas jelaslah bahwa
pesan dari konsep tiga kekuatan itu sangatlah terlihat dari Jayaleksana yang memiliki
keahlian ilmu kanuragan yang tinggi, dan Jayaseta yang memiliki kelebihan
diplomatis, sedangkan yang bungsu memiliki keunggulan keberanian dan
keberuntungan.
Yang ke -4, Jasinga merupakan daerah terakhir
kekuatan Kesultanan Banten disaat para pembesar Banten mengungsi ke Muncang
Jasinga dan Sajira Lebak pada masa kudeta yang dilakukan oleh Sultan Haji dan
VOC terhadap Sultan Agung Tirtayasa (1682). Nama Tigaraksa di tangerang
terbentuk atas dasar tiga kekuatan atau pangraksa yaitu Banten, Jasinga dan
Angke (Jayakarta). Diantara tiga wilayah kekuatan itu lah terdapat daerah yang
berada di tengah-tengah itu yang bernama balaraja. Balaraja diyakini sebagai
tempat berkumpulnya para raja raja pada masa itu.
Dari cerita cerita yang dipaparkan diatas
simbol tiga kekuatan itu menurut kami bukanlah sesuatu yang kebetulan. Dari
nama tempat, tokoh dalam cerita, dan sumber sejarah di atas menunjukkan konsep
tritangtu dari zaman ke zaman. Tiga santri kemungkinan menunjukan pada masa
awal masuk islam di Jasinga, dan tiga bersaudara yang adu tanding kerbau ke
palembang mungkin menunjukkan masa yang lebih lampau lagi pada masa sebelum Islam. Tilu iwung dalam uga
Jasinga dan Tilu Hyang yang merupakan nama tempat yang membentuk wilayah
segitiga di Jasinga, bisa jadi masanya lebih tua lagi. Dan masa peperangan dengan Belanda
yang menyusun kekuatan Tiga Pangraksa atau Tigaraksa berlangsung pada abad ke-18.
Kalakay Jasinga