Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo merupakan Kepala Kepolisian Negara (KKN) yang pertama. Sekarang lebih dikenal dengan nama Kepala Kepolisian Republik
Ia lahir dari pasangan Raden Ngabehi Martomihardjo (Jawa) dan Raden Ajeng Kasmirah (Sunda). Ayahnya merupakan seorang Asisten Wedana di daerah Jasinga, Bogor . Soekanto merupakan putra pertama dari enam bersaudara, yakni Roro Soejati, Roro, Soenarto, Raden Soelaeman Soejadi, Roro Soebandinah, dan Raden Mochamad Soemantri.
Masa kecil Soekanto diwarnai suasana disiplin. Hal itu dikarenakan jabatan ayahnya yang merupakan seorang pamong praja. Sebagai anak seorang priayi, Soekanto tidak kesulitan dalam menempuh pendidikan formal. Pada umur 5 tahun, ia masuk Frobel School (Sekolah Taman Kanak-Kanak Belanda). Dua tahun kemudian, ia melanjutkan ke Sekolah Rakyat Belanda (setingkat dengan Sekolah Dasar), yakni Europeesche Lagere School (ELS) di Tangerang hingga kelas II, kemudian melanjutkan lagi di ELS Bogor hingga tamat sekolah dasar.
Di sekolah, Soekanto merupakan murid yang cerdas, pendiam, disiplin, berjiwa keras, dan konsisten. Di luar pendidikan formal, ia juga menjalani pendidikan informal, yaitu pendidikan agama dari guru ngajinya yang bernama Ustad Mansyur.
Setamat dari ELS, Soekanto melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burger School (HBS) diBandung . Pendidikan HBS di Bandung hanya sampai kelas II. Kemudian ia pindah ke HBS Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di tingkat III. Dari tempat tinggalnya di Bogor , ia biasa bersekolah menggunakan kereta api menuju Jakarta .
Setamat dari ELS, Soekanto melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burger School (HBS) di
Tak lupa ia membawa sepeda kesayangannya yang bermerk “Fongers”. Pendidikan HBS yang seharusnya ditempuh dalam waktu lima tahun, terpaksa ditempuh lebih lama karena pada saat ujian akhir ia tidak lulus. Banyak hal yang membuat dia tidak lulus, seperti faktor kelelahan fisik karena pulang pergi Bogor – Jakarta dan banyaknya kegiatan di luar sekolah. Akhirnya Soekanto menamatkan HBS pada tahun 1928.
Setelah lulus HBS, Soekanto berkeinginan masuk Sekolah Tinggi Pertanian di Belanda. Tapi, karena kesulitan biaya akhirnya tidak jadi. Maka, ia memutuskan untuk meneruskan ke Recht Hooge School (RHS), yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Selama kuliah ia menjalaninya tidak dengan sepenuh hati. Selain karena biayanya yang mahal, ia menyadari kekurangan dirinya dalam bidang akademis. Akhirnya, Soekanto memutuskan keluar dari RHS pada tahun 1929. Saat itu ia baru mencapai tingkat II.
Setelah keluar dari RHS, pada tahun 1929, ia mengajukan lamaran ke Sekolah Aspiran Komisaris Polisi. Akan tetapi, lamaran itu ditolak dan ia malah ditawarkan untuk mengikuti pendidikan Hoofd Agent (kursus agen polisi). Tawaran itu ditolak Soekanto.
Setahun kemudian, Soekanto menerima telegram bahwa ia dipanggil untuk mengikuti pendidikan Sekolah Aspiran Komisaris Polisi (Aspirant Commisaris Van Politie). Hal itu sangat ia syukuri karena pada saat itu sulit rasanya bagi orang pribumi untuk masuk ke sekolah tersebut. Soekanto merupakan siswa Angkatan VIII. Lama pendidikan yang harus ditempuh selama 3 tahun dan tiap tahun ada kenaikan tingkat tanpa kenaikan pangkat.
Tahun pertama dilalui dengan lancar. Ketika naik ke tingkat II, Soekanto melangsungkan pernikahan. Ia menikah dengan Hadidjah Lena Mokoginta pada tanggal 21 April 1932 di sebuah bungalow di daerah Selabintana, Sukabumi. Pernikahan itu menambah semangat dia untuk segera menamatkan pendidikannya. Sebelum lulus, Soekanto menjalani praktek selama 2 tahun di kantor kepolisian Jatinegara. Pada tanggal 1 Agustus 1933, Soekanto berhasil menamatkan pendidikannya dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas III.
Tugas pertama Soekanto berdasarkan Keputusan Directur van Binnenlandsch Bestuur Nomor 2/73/10 adalah di Stads Politie (Kantor Besar Polisi) Semarang . Ketika bertugas di Semarang , ia berhasil menyelesaikan sebuah kasus pembunuhan. Atas keberhasilannya, Soekanto mendapat penghargaan sebagai polisi yang cekatan dalam melaksanakan tugas dari Hoofd Commisaris. Selama bertugas di Semarang , Soekanto berkenalan dengan Soemarto (seniornya di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi Sukabumi).
Soekanto bertugas di Semarang hanya sekitar satu setengah tahun. November 1934, ia pindah ke Purwokerto. Di sini tugas ia mengawasi kegiatan kantor-kantor polisi yang berada di Karesidenan Purwokerto. Selama bertugas di Purwokerto, tidak ada kasus penting yang diselesaikan Soekanto, hanya kejahatan-kejahatan kecil. Ia mendapat kenaikan pangkat menjadi Komisaris Polisi Kelas II.
Tahun 1938, Soekanto kembali bertugas di Semarang . Ketika bertugas di Semarang , masalah yang dihadapi semakin kompleks. Selain kejahatan yang intensitasnya makin tinggi, masalah politis juga dihadapi Soekanto. Sehubungan dengan meletusnya Perang Dunia II, Soekanto diperintahkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menangkap orang-orang Jerman dan Jepang yang dicurigai sebagai mata-mata. Tahun 1940, Soekanto dipindahtugaskan ke daerah Banjarmasin , Kalimantan . Di sana ia menjabat sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin dan Ajunct Technisch Leider der Veldpolitie di Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur.
Dua tahun bertugas di Kalimantan, tepatnya Januari 1942, tentara Jepang mulai masuk ke Indonesia . Ketika Jepang menduduki Kalimantan, Soekanto tetap menjalankan tugasnya di sana . Sedangkan pimpinannya Kepala Polisi Groen meninggalkan Kalimantan bersama para anggota keluarga aparatur pemerintah Belanda, termasuk keluarga Soekanto.
Ia bertugas mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang keadaan yang terjadi dan mengumpulkan senjata-senajata yang masih ada. Lalu ia diwajibkan melaporkannya kepada Komandan Militer di muara Sungai Barito. Soekanto kemudian diajak komandan militer ke Jawa sebagai saksi untuk membuktikan bahwa keadaan Kalimantan pada waktu itu memang harus ditinggalkan.
Sumber: www.museum.polri.go.id