Di kawasan bagian Barat Bogor, tepatnya di daerah Jasinga terdapat berbagai versi cerita rakyat yang menceritakan asal-usul nama daerah Jasinga. Hanya saja saat ini cerita tersebut tidak begitu populer kecuali orang tua atau sesepuh saja yang masih bisa menceritakannya.
Keberadaan Jasinga tidak terlepas dari mitos seekor Singa dan dari berbagai versi Itulah masyarakat pun menceritakan tokoh-tokoh yang membabak Jasinga menjelma menjadi Singa.
Sekilas cerita rakyat Jasinga yang pada awalnya adalah sebuah pasir (bukit) yang bernama Bayah. Pasir Bayah dihuni oleh orang-orang Sunda Pajajaran. Disitulah mereka hidup karena sumber kehidupan sungai Cidurian berada di bawahnya. Konflik terjadi di daerah sekitar Pasir Bayah, antara Pasir Bayah dengan Mayak (suatu daerah di Barat Daya).
Konflik tak dapat dihindarkan, wangsa Mayak meminta bantuan kepada pimpinan Daerah Koleang untuk memerangi Wangsa Pasir Bayah. Peperangan terjadi di daerah Pangapakan, selama beberapa hari. Tiba-tiba datang 3 orang santri yang pada waktu itu, tidak seorang pun tahu dari mana mereka berasal. Mereka datang bermaksud hendak melerai konflik. Namun yang terjadi kemudian, mereka pun masuk ke Palagan.
Namun 3 santri tersebut malah menjadi bulan-bulanan oleh 2 wangsa yang berperang. Mereka pun mundur dari palagan, dan menghimpun kekuatan hingga 3 santri tersebut menjelma menjadi singa. Konflik tak dapat diredam dan akhirnya 3 santri ikut dalam peperangan di palangan, sehingga terjadilah perang segitiga.
Wangsa Pasir Bayah dan wangsa Mayak yang dibantu Wangsa Koleang tak sanggup melawan amukan singa. Karena sima dan amukan Singa, 2 wangsa keluar dari palagan. Wangsa Pasir Bayah meninggalkan Pasir Bayah kemudian mereka menetap di Pakidulan (pantai Selatan Banten), wangsa Mayak dan Koleang kembali ke tempat asalnya.
Di lahan sebelah barat pangapakan berjajar laskar-laskar pejuang yang gugur dari 2 wangsa, mayat-mayat laskar tersebut dibariskan seperti ikan Peda, maka daerah itu dinamakan Rancapeda. Darahnya pun mengalir seperti Curug (air terjun) hingga ke sungai Cidurian dan daerah tersebut dinamakan Leuwi Curug.
Singa berubah wujud kembali menjadi 3 orang santri, dan kemudian merekalah yang berkuasa walaupun pada awalnya mereka hanya bermaksud melerai dan meredam konflik 2 wangsa.
Kemenangan singa diperingati bersamaan dengan pemberian nama gelar 3 orang santri karena telah jaya dalam perang dan daerah Bayah diberi nama Jasinga yang berasal dari jaya Singa yang berarti kemenangan Singa.
Kemenangan singa diperingati bersamaan dengan pemberian nama gelar 3 orang santri karena telah jaya dalam perang dan daerah Bayah diberi nama Jasinga yang berasal dari jaya Singa yang berarti kemenangan Singa.
Gelar 3 santri itu adalah :
1. Munding Leuweung Jaganagara
2. Munding Laya Omas
3. Munding Laya Kusuma
Mereka berhak menempati daerah masing-masing yang ada di sekitar Jasinga dan merekapun bermusyawarah. Munding Leuweung Jaganagara bertanya kepada Munding Laya Kusuma dan Munding Laya Omas.
Munding Leuwung Jaganagara : “Sia rek kamana, Kusuma ?”
Munding Laya Kusuma : “Kami mah rek didieu bae, ja geus cukup loba sandang jeung pangan didieu mah, bisa ngumpulkeun suluh, pangan jeung lainna”.
Munding Laya Omas : “Kami rek leumpang ka beulah kulon, ngke kami rek diuk di kulon sampe ka boga katurunan.”
Munding Leuweung Jaganagara : “Geus… lamun kitu mah kahayangna, aing rek diuk di gunung curi. Aing anu ngasuh sia duaan jeung aing nu ngajagaanana”.
Mereka menempati daerah masing-masing, Munding Leuwung Jaganagara menempati daerah Gn. Curi (sekarang Kp. Ngasuh) dan dia yang mengontrol sekaligus membimbing Munding Laya Kusuma dan Munding Laya Omas. Munding Leuweung Kusuma menempati daerah sekitar Pasir Bayah yang cukup luas dan diberi nama Jasinga yang mengalir Sungai Cidurian. Sedangkan Munding Laya Omas berkelana ke Barat (sekarang Banten).
Begitulah cerita rakyat yang dituturkan oleh orang tua dan sesepuh Jasinga. Nama-nama daerah Mayak, Pasir Bayah, Rancapeda, Ngasuh hingga kini masih ada, hanya saja kini cerita tersebut tidak begitu populer akibat ditinggalkannya budaya tutur oleh sebagian masyarakat, kecuali mereka yang masih menyimpan cerita dan bisa menuturkan. Jika saja cerita rakyat berbagai versi dapat dituturkan kepada anak cucu, maka nama-nama daerah di Jasinga jadi sangat bermakna.
Disusun oleh :
WAWAN
Kalakay Jasinga, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar