RUPA-RUPA

PUBLIKASI DAN PENELITIAN PANTUN SUNDA

Publikasi dan Penelitian Pantun Sunda
Oleh Atep Kurnia

Jonathan Rigg berutang budi kepada Ki Gembang. Menurut Roesjan dalam tulisannya "Kamus Sunda" yang dimuat di Kalawarti Djawatan Kabudajan Djawa-Kulon No 8 (tt), Rigg bisa menyusun kamus Sunda asing pertama dalam sejarah bahasa Sunda, A Dictionary of the Sunda (1862), dengan menempuh tigalangkah.

Pertama, ia mengumpulkan kata-kata Sunda dari Paririmbuan-ketjap karya Bupati Cianjur RA
Kusumaningrat yang mengumpulkan kata-kata Sunda dari wilayah Priangan barat. Selain itu, ia juga diuntungkan oleh hubungan baiknya dengan Demang Jasinga, Raden Natawiria.

Demang ini memiliki pengetahuan yang luas mengenai bahasa Sunda dialek Jasinga. Dari demang ini pun Rigg memperoleh banyak pengetahuan tentang kata-kata Sunda.

Akhirnya, sebagai langkah terakhir, Rigg mengundang Ki Gembang, seorang juru pantun terkenal dari Bogor. Tidak tanggung-tanggung, tiga kali Ki Gembang diminta memantun, yaitu pada 1847, 1848, dan 1850. Rigg memang berutang budi kepada tukang pantun.

Sebelumnya, pantun Sunda sudah dikenal paling tidak pada abad ke-16. Buktinya, naskah Sunda kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) sudah menyebutkan adanya empat carita pantun yang bisa jadi paling masyhur kala itu. Keempat carita itu adalah Siliwangi, Haturwangi, Banyakcatra, dan Langgalarang.

Publikasi


Sampai saat ini baru ada sekitar 50 carita pantun yang sudah tercatat. Kisah-kisah ini berasal dari berbagai daerah (budaya) Sunda, baik di wilayah administrasi Jawa Barat maupun Jawa Tengah (Brebes,Tegal, Purwokerto, dan Cilacap).

Kegiatan pengumpulannya sendiri telah cukup lama dilakukan. Orang Barat pertama yang berusaha mengumpulkan pantun Sunda adalah JJ Meijer. Ia pernah menjadi kontrolir di Banten selatan. Ia berhasil mempublikasikan sepuluh carita pantun dari Baduy dalam karyanya, Badoejsche Pantoenverhalen(1891).

Kemudian, ada CM Pleyte. Ia menulis enam tulisan berkenaan dengan carita pantun, antara lain Raden Moending Laja di Koesoema: Een oude, Soendasche ridder-roman met eene inleiding over den toekang pantoen (1907)

De ballade "Njai Soemoer Bandoeng": Eene Soendasche pantoenvertelling (1910); dan

De lotgevallen van Tjioeng Wanara naderhand vorst van Pakoean Padjadjaran (1910).

Selanjutnya, ia menerbitkan De Legende van den Loetoeng Kasaroeng: Een gewijde sage uit Tjirebon(1910). Buku ini kemudian dialihbahasakan ke bahasa Sunda menjadi Tjarita Loetoeng Kasaroeng: Dongeng Poetra Kahiangan Wedalan Tjirebon: Dipapaesan koe 12 Gambar (1923). Pada 1916, ia pun menyusun Twee pantoens van den Goenoeng Koembang: Een bijdrage tot de kennis van het Soendasch in Tegal.

Orang Jerman tak mau ketinggalan. Pada 1925 terbitlah Loetoeng Kasaroeng: eine uralte sundanesische Legende susunan FA Schoppel. Di samping itu, RS Wirananggapati mencatat carita pantun Ratu Bungsu Karma Jaya yang dipantunkan oleh Taswan dari Kuningan (1961). Pada 1970, Rakean Minda Kalangan menerbitkan Pantun Bogor: Lalakon Kalang Sunda Makalangan. Antara 1970 dan 1973 Ajip Rosidi memprakarsai Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda (PPP & FS). Hasilnya, PPP & FS merekam dan mentranskripsi 30 carita pantun, dan tak kurang dari 18 judul telah dibukukan. Demikian keterangan Ajip dalam tulisannya "My Experiences in Recording Pantun Sunda", (Indonesia, Vol 16, Oktober 1973).

Dalam proyek ini beberapa juru pantun dari Tatar Sunda diberi kesempatan untuk menuturkan carita pantun. Beberapa juru pantun yang diundang untuk mantun yaitu Ki Atjeng Tamadipura (Situraja), Ki Ating (Tegaldatar), Ki Atma (Banggala), Ki Enjum (Ujungberung), Ki Kamal (Lebakwangi), Ki Sadjin (Baduy), dan Ki Samid (Cisolok).

Penelitian

Penelitian pantun Sunda tentunya merupakan hasil dari pengumpulan pantun. Oleh karena itu, Pleyte dapat menerbitkan Woordenlijst tot de pantoen's Njai Soemoer Bandoeng, Tjioeng Wanara en Loetoeng Kasaroeng (1911), buku yang berisi daftar kata-kata dari tiga carita pantun yang digarapnya. FS Eringa menulis disertasinya mengenai carita pantun Lutung Kasarung berjudul Loetoeng Kasaroeng:Een mythologisch verhaal uit West-Java (1949). Setelah itu, Eringa pun tak berhenti menulis ihwal pantun Sunda. Umpamanya, pada 1952 ia menulis makalah berjudul Een recente toneel-bewerking van het Lutung Kasarung-verhaal.

Selanjutnya, pada Konferensi Sastra Daerah (1977), dalam makalahnya Struktur Ceritera Pantun Sunda:Berdasarkan Ceritera Badak Pamalang I, Iskandarwassid mengkaji carita pantun dari struktur penceritaannya. Kemudian, pada 1980 Tini Kartini dkk menerbitkan Struktur Cerita Pantun Sunda: Laporan Penelitian, dan pada 1984 secara khusus Tini menerbitkan Struktur Cerita Pantun Sunda: Alur.Menginjak era 1990-an, ada beberapa orang yang meneliti pantun Sunda. Andrew N Weintraub, peneliti bangsa Amerika, pada 1990 membuat tesis S-2 pada University of Hawaii tentang musik pantun Sunda, The Music of Pantun Sunda: An Epic Narrative Tradition of West Java, Indonesia. Ia pun menerbitkan buku perkenalan

terhadap pantun Sunda, Ngahudang Carita anu Baheula = To Awaken an Ancient Story: An Introduction to the Stories of Pantun Sunda pada 1991. Pada jurnal Asian Music (Vol 26, Autumn 1994-Winter 1995), ia juga menulis Tune, Text, and the Function of Lagu in Pantun Sunda, a Sundanese Oral Narrative Tradition. Kemudian, Ayatrohaedi dalam Carita Pantun: "Roman Sejarah" Sastra Lisan Sunda (1992)

menyoroti carita pantun yang dianggapnya sebagai "roman sejarah". Sementara itu, Idat Abdulwahid lebih memfokuskan perhatiannya pada Analisis Motif dan Leitmotif Cerita Pantun Sunda (1998).Menginjak era milenium baru, penelitian tentang pantun Sunda masih berlanjut. Ela Yulaeliyah,misalnya, menerbitkan Seni Pantun Sunda sebagai Sarana Ritual dan Hiburan: Laporan Penelitian pada 2000. Penelitian paling mutakhir mengenai pantun Sunda dilakukan oleh Jakob Sumardjo. Ia meneliti carita pantun berdasarkan hasil kerja PPP & FS. Hasil penelitiannya sudah dibukukan dalam Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun Sunda (2003); Hermeneutika Sunda: Simbol-simbol BabadPakuan/Guru Gantangan (2004); dan Khazanah Pantun Sunda: Sebuah Interpretasi (2006). Itulah selayang pandang tentang publikasi dan penelitian pantun Sunda. Namun, masalahnya kini, bagaimana generasi muda dapat mengenali kekayaan budaya Sunda tersebut? Sementara para juru pantun Sunda kian hari kian tiada. Para ahli pun sibuk sendiri meneliti pantun Sunda.


ATEP KURNIA Penulis Lepas, Tinggal di Bandung
www.kompas.com


TETESAN AIR MATA DARAH PALESTINA


Tetesan Air mata darah Palestina

Salam…..salam wahai baitul maqdis
Salam…..salam wahai tanah leluhurku…
Wahai negeri yang indah
Wahai negeri ribuan sujud
Pada tanahmu kaki agung Sang Nabi telah berpijak
Palestina…… ratapanmu
Jeritanmu…..membelah langit
Tangisanmu mengguncang Arasy
Jutaan malaikat tlah menangis
Diantara tetesan darah dan airmata
Bayi-bayi yang tak sempat menetek pada Ibunya
Palestina-palestina….kini mataku tertuju padamu
Palestina…..Negeri rintihan
Palestina …..Negeri tetesan darah Bani Adam
Wahai Bani Adam Palestina…..
Terbang- terbanglah…jiwamu dalam Surga keabadian.


Jasinga, 18 Januari 2009, 17.40
Andri Mirwan Fachri (endoh),
Kalakay Jasinga

TUTUNGGUL JEUNG TETENGGER

TUTUNGGUL JEUNG TETENGGER


JASINGA…Nu depa di bumi SUNDA
Ngaran anu nyorang ka denge
Lemah anu nyorang ka tincak

JASINGA…ngeun tinggal ngaran
Nu ka sampak ngeun barisan imah
Nu ka panggih ngeun riungan somah

LEUWI DALEM, PAGUTAN, ngandung carita
LEUWI SANGHYANG, GUNUNG KULANTUNG, 
saksi lalakon
CIDANGHYANG jeung PARAHYANG geus narikolot

Nanjungna JASINGA geus dilalakonkeun
Lalakon karuhun baheula
Nu ngawangun jeung bela pati lemah caina

Saksi kajayaan baheula……
Ayeuna ngan tutunggul nu ngajarantul
Tutunggul nu ngagaloler

JASINGA ayeuna, jiga leungit komara
Komara nu rek leungit wawangi
Jiga Cai nu tereh saat, Gunung nu tereh lebur
Seuneu nu rek parem, Lebak nu rek ruksak……

Panghareupan nu gumantung kana lalangit
Nu nangtung kuwung-kuwung ka lapuk bentang
Pangjurung ngapung ka manggung…

Kiwari….anak incu nyukcruk galur
Nu neruskeun lalampah, pikeun ngawangun JASINGA
Nu weweg sampeg mandala pageuh….



Diguratkeun di sisi Cidurian Jasinga 2006
Andri M.F

PENULUSARAN KAMUS SUNDA DIALEK JASINGA DI BANDUNG

Penulusaran Kamus Sunda Dialek Jasinga di Bandung

Bandung adalah tujuan kami mencari jejak sejarah. Hari itu tanggal 7 Desember 2008 pukul 12.30, sehari sebelum ldhul Adha. Kami berangkat ke Bandung dari Jasinga menggunakan sepeda motor, estimasi perjalanan kurang lebih 6 jam. Rute yang di tempuh termasuk rute favorit yaitu jalur puncak, memasuki jalur ini kami beristirahat karena hujan sangat lebat. Setelah hujan reda kami pun melanjutkan perjalanan. 

Hamparan hijau pohon teh cukup menyegarkan mata, hawa sore hari yang dingin di tambah lagi kabut turut menghiasi perjalanan kami sepanjang jalur puncak. Jalanan yang berkelok-kelok dan licin memaksa kami harus berhati-hati, setelah melewati puncak pass berarti kami memasuki batas wilayah Kabupaten Bogor dengan Cianjur.


Sebelum memasuki kota Cianjur kembali kami beristirahat di sebuah masjid untuk melaksanakan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar perjalanan kami lanjutkan meski di bawah guyuran hujan ringan. Tak terasa perjalanan yang kami tempuh telah melintasi jembatan sungai Citarum, sungai ini dulunya merupakan wilayah teritorial Tarumanagara di bawah kekuasaan raja Purnawarman. Pada tahun 670 masehi di pecah menjadi dua wilayah Kerajaan yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dan menjadikan Sungai Citarum ini sebagai batas. Selain itu sungai Citarum ini pernah pula menjadi batas wilayah kekuasaan kesultanan Banten. 


Kemudian wilayah Padalarang pun kami lewati dimana wilayah ini pernah menjadi saksi sejarah terjadinya pertempuran hebat antara laskar Banten dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Syeh Yusuf beserta anak-anak Sultan Ageung Tirtayasa yaitu Pangeran Purbaya, Pangeran Kulon, Pangeran Kidul dan lain-lain. Syeh Yusuf adalah seorang ulama Sufi dari Bugis Makassar dan diangkat sebagai seorang Mufti di kesultanan Banten di bawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa. 

Syeh Yusuf juga orang yang berjasa dalam membantu dan memimpin perlawanan rakyat Banten melawan penjajahan Belanda meski beliau bukan berasal dari Banten. Kembali ke perjalanan kami, setelah melewati Padalarang kami pun sampai di gerbang wilayah kota Cimahi dan akhirnya memasuki Kota Bandung mengambil jalur Pasar Baroe Bandung, sambil melihat bentuk arsitektur bangunan tempo doeloe yang berada di sepanjang jalan Otista Pasar Baru Bandung ini, tak terasa kami telah sampai di Tegalega dan di tempat ini terdapat Monumen bersejarah perjuangan rakyat Bandung yaitu monumen Bandung Lautan Api. Di seberang jalan dari taman Tegalega ini terdapat Museum sejarah Jawa Barat yaitu Museum Sri Baduga, di dalam museum ini terdapat berbagai macam naskah-naskah kuno dan benda-benda pusaka peninggalan kekayaan bumi Sunda. Tapi sayang kami tidak bisa masuk ke Museum tersebut dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan. 


Kami hanya bisa memandang dari seberang jalan sebuah replika Singa Barong yaitu sebuah kereta kuno Kesultanan Cirebon yang terpampang di dalam ruang kaca. Akhirnya perjalanan kami lanjutkan melewati alun-alun Bandung dan jalan Asia Afrika menuju toko buku Gramedia. Singgah di toko buku Gramedia dekat Bandung Indah Plaza atau lebih dikenal dengan BIP, di Gramedia ini kami hanya lihat-lihat saja dan sedikit baca-baca. “lumayanlah baca gratisan hehehe”. Koleksi tentang sejarah Sunda di toko buku ini sudah jarang kita temui, padahal setahun yang lalu masih banyak buku-buku tentang sejarah Sunda di tempat ini. Selain sejarah Sunda kami pun sempat melihat-lihat buku-buku terbitan terbaru tentang Tan Malaka. “hmhm…..Madilog Tan Malaka saya sudah punya Loh heehe”. Setelah cukup bosan di toko buku Gramedia ini, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ciwaruga untuk melepaskan lelah alias Tidur di tempat saudara. Tak terasa malam berganti pagi dan kami terlambat menyadari pagi itu 8 Desember 2008 adalah hari raya Idhul Adha. Tepat pukul 11 pagi perjalanan kami lanjutkan ke arah Buah Batu terus ke jalan Soekarno Hatta dengan tujuan tujuan Rumah Baca Buku Sunda milik pak Maman di daerah Margahayu perumahan Mekarwangi.


Cukup banyak koleksi-koleksi tentang buku-buku dan naskah Sunda di tempat ini. Yang membuat kami terpesona adalah kamus pertama Sunda - Inggris tulisan Jonathan Riggs tahun 1862, kamus ini berisi kosa kata Sunda asli dialek Jasinga dan bukan dialek Priangan. 


Kamus ini di tulis oleh Jonathan Riggs saat berada di Jasinga, untuk mengumpulkan kosa-kata sunda dialek Jasinga ini, Jonathan Riggs banyak di bantu oleh demang Jasinga pada waktu itu yaitu Raden Natawiria. 

Demang ini mempunyai pengetahuan yang cukup luas. ketebalan dari kamus ini adalah 537 halaman dengan kosa kata 9.803 kata, di Rumah Baca Buku Sunda ini juga cukup banyak sejarah tentang Banten. Di tempat ini pula kami juga bertemu dengan Pak Wishnu seorang Dokter medis yang juga sangat peduli terhadap sejarah. 

Dari beliau kami mendapatkan pelajaran tentang prosesi pembuatan keris. Meski pak Wishnu sendiri bukan asli Sunda namun beliau sangat peduli dan ingin sekali menggali tentang senjata Pusaka Sunda yaitu Kujang. Tak terasa waktu begitu cepat hingga akhirnya kami pun harus kembali ke tanah leluhur kami Jasinga. Suatu saat kami akan kembali ke Bandung untuk bersilaturahmi dan tentunya mengcopy Kamus Sunda Jonathan Riggs.


Penulis
Yana Mevlana,& Nday Kalakay Jasinga
Bandung, 9 Desember 2008

RINDUKU PADA BATU NISAN TUA

Betapa bahagianya ketika bos menyuruh saya untuk libur bekerja. Arus mudik lebaran haji meramaikan Bandara Cengkareng, walau tidak seramai arus pada lebaran Idul Fitri kemarin. Setelah terjaga dari tidur di kursi bus yang sengaja dipilih, mata memandang menembus jendela, ternyata tak jauh berbeda seperti dulu saya tinggalkan. Bogor, tertulis dipetunjuk jalan tol jagorawi ini dan saya pun semakin lega karena sebentar lagi tiba untuk bertemu dengan Udell di kosannya, Ciheuleut Bogor.

Turunnya harga BBM menjadi buah bibir masyarakat, baik itu supir angkot, penumpang m aupun Pedagang Kaki Lima. Terutama para penumpang yang bertanya-tanya dalam hati kenapa ongkos angkot gak ikut turun juga? Namun rindu pada batu nisan tua membuat hal itu biasa saja. Yang saya pikirkan hanyalah pergi ke salah satu kampung di Pandeglang Banten, yaitu kampung Wirasinga dengan tujuan mencari makam dan asal-usul keberadaan seorang tokoh yang bagi saya melegenda bernama Wirasinga yang hidup pada masa lampau. 

Untuk itu saya berencana pergi kesana dengan Udell. Bagi saya ini adalah kesempatan yang baik, walau capek karena baru saja mudik dari Banjarbaru Kalsel, saya tetap berkeras hati untuk pergi kesana.

Kampung Wirasinga adalah nama kampung yang berasal dari nama seorang tokoh yang melegenda bernama Wirasinga. Terletak dekat dengan Gunung Karang dan Gunung Pulasari di kecamatan Mekar Jaya desa Wirasinga. 

Untuk menuju ke kampung ini, dari terminal Pakupatan Serang kami menaiki bus yang menuju kearah Labuan lalu turun di perepatan Batu Bantar. Di perepatan kami naik ojeg, perjalanan berkisar ±20 menit untuk ke kampung tersebut melewati kampung-kampung lain. 

Adapun jalan alternatif lain dari arah Rangkas, yaitu naik bus Rudi jurusan Rangkas – Bogor, terus turun di Kebon Cau. Dari situ lalu naik ojek menuju kampung Wirasinga.

Wirasinga di Pandeglang dikenal dengan nama Eyang Wirasinga. Makamnya selalu diziarahi dari berbagai penjuru kota terutama oleh keturunan-keturunan beliau. Makam beliau oleh penduduk setempat pernah dibuat bangunan tertutup. 

Namun bangunan tersebut roboh dengan sendirinya, tanpa diketahui penyebabnya. Menurut masyarakat setempat, Konon Eyang Wirasinga ini adalah seorang tokoh yang sangat sakti, memiliki 7 harimau dan seekor Singa ghaib. Beliau berguru ke Cirebon dan meninggal dunia disana. 

Menurut Aki Wira sesepuh (tokoh masyarakat) setempat yang kami temui, setelah berguru dari Cirebon Eyang Wirasinga kembali ke Banten dan dimakamkan di kampung Wirasinga, pemakaman ini sangat dihormati. 

Setiap motor yang akan melewati pemakaman ini, harus mematikan mesin motor mereka dan mendorongnya. Baru setelah melewati pemakaman ini mereka menyalakannya kembali hal in berlangsung sampai tahun 1995. 

Beliau memiliki dua nama lain yaitu Wira Harita Kusuma dan Arya Jayasinga Kawasa. Kampung Wirasinga ini pada zaman penjajahan Belanda merupakan salah satu titik pertahanan untuk melawan Kompeni Belanda. Konon mortir yang ditembakkan oleh Kompeni Belanda tidak mampu menyentuh sedikitpun wilayah ini, mungkin karena adanya daya magis karomah makam beliau.

Di Jasinga, juga dikenal tokoh yang bernama Wirasinga namun memiliki cerita yang berbeda seperti halnya di kampung Wirasinga, bahkan dalam penyebutannya pun berbeda. Di Jasinga tokoh ini tidak di awali dengan sebutan eyang, hanya Wirasinga saja. Hubungan antara keberadaan tokoh Wirasinga di kampung Wirasinga dan Jasinga ini masih kami gali. 

Di Jasinga juga banyak keturunan-keturunan Wirasinga yang masih mengenal dan mengakui mereka adalah keturunan beliau, seperti halnya saya. Menurut data yang saya dapatkan, peninggalan Wirasinga yang sampai sekarang masih ada di Jasinga berupa tombak, bendera dan jubah. Bahkan di salah satu nisan tua di Gunung Kulantung kp. Babakan Jasinga terukir dengan tulisan Arab pegon “Armaja bin Ngabehi Lughot Wirasinga”.

Wirasinga di Jasinga terletak di Pemakaman Tua Curug dengan batu nisan pipih yang dihiasi ukiran berupa daun dan pola simetris yang indah setinggi ±50 cm. Bertengger diatas tanah yang lebih tinggi (Hunyur) dan di bawah rindang pohon jatake, dikelilingi sawah-sawah dan dekat dengan arus sungai Cidurian. Disekitarnya terdapat pula batu nisan yang sejenis dengan pola ukir yang berbeda-beda. Pemakaman Tua Curug ini berjarak ± 500 meter dari Pemakaman Tua Gunung Kulantung kearah utara dan ± 700 meter dari Gunung Angsana kearah barat.

Setelah selesai menziarahi dan mendapatkan informasi yang cukup, kami pun bertiga (Satu lagi adalah rekan kami yang bernama Agung yang kami jemput di rumahnya di kampung Baros, Pandeglang) mengakhiri perjalanan kami. 

Di sore yang cerah itu kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju perempatan Batu Bantar. Terlihat Gunung Karang dan Gunung Pulasari berdiri tegak dan megah.


Andri (Endoh) & Ade Nugraha (Udell),
07 Desember 2008

GANJENE CIREBON

GANJENE CIREBON
Hari jadi Kota Cirebon ke-639

Pesta rakyat yang bertajuk Ganjene Cirebon merupakan bentuk apresiasi masyarakat Cirebon dalam rangka hari jadi kota Cirebon yang ke 639. Ganjene Cirebon berarti Genitnya Cirebon dimaksudkan agar masyarakat Cirebon lebih kreatif dan dinamis dalam meramaikan peringatan hari jadi kota Cirebon.

Hari jadi kota Cirebon bertepatan dengan tanggl 1 Muharram yang merupakan tahun baru hijriyah. Lahirnya kota Cirebon merujuk pada peristiwa ketika Pangeran Walangsungsang membuka pedukuhan Cirebon pada tahun 1367 Saka atau 1445 Masehi dan tepat pada tanggal 1 Muharam.

Pada perayaan ini terdapat beberapa titik pertunjukan kesenian di kota Cirebon. Kesenian yang ditampilkan yaitu Wayang Purwa, Sandiwara Klasik, Kirab Budaya dan 14 kesenian dalam pesta rakyat Cirebon. Khusus di Keraton Kanoman diadakan acara baca Babad Cirebon yang merupakan ritual tahunan keraton.

Pembukaan hari jadi Cirebon diawali dengan Kirab Budaya yang menampilkan arak-arakan prajurit keraton dari Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan serta kesenian khas Cirebon yaitu Burok dan Genjring Dog-dog. 

Masyarakat pun diikut-sertakan dalam Kirab Budaya ini menampilkan arak-arakan Santri dan Komunitas Sepeda Ontel. Arak-arakan prajurit keraton jarang sekali ditampilkan dan biasanya hanya dalam acara Grebeg Maulud saja. Jelas sekali ini adalah sebuah eksistensi keberadaan keraton. 

Kirab Budaya mengambil start dari alun-alun Kasepuhan dan rute yang dilalui adalah jalan-jalan yang berada di pusat kota Cirebon dengan tujuan akhir balai kota Cirebon

Sepanjang arak-arakan diguyur hujan deras tetapi tidak menyurutkan semangat peserta kirab dalam menampilkan ekspresinya. Masyarakat Cirebon yang datang dari berbagai penjuru dan bahkan datang dari luar kota Cirebon secara antusias menyaksikan Kirab Budaya. Arak- arakan memasuki kantor walikota Cirebon dan disambut oleh walikota Cirebon.

Keesokan harinya pada tanggal 28 Desember 2008, didepan balai kota Cirebon diadakan acara pesta rakyat Cirebon.

Acara yang diselenggarakan oleh Disbudpar Pemkot Cirebon ini menampilkan 14 macam kesenian Cirebon, pameran produk kerajinan serta jajanan kuliner khas cirebon. 14 kesenian yang dipertunjukkan adalah Tari Topeng, Sintren, Tarling Klasik, Burok, Sampyong, Berokan, Genjring dog-dog, Wayang Wong, Barongsai, Macapat Babad Cirebon, Gembyung, Jagal Regol, Tayuban dan Renteng. Diantara kesenian yang bersifat magis terutama Tari Sintren, Topeng Beling, Debus (Genjrog Dog-dog), Berokan dan Tari Topeng.

Acara ini dibuka oleh walikota Cirebon pada pukul 09.30 dan berakhir pada pukul 24.00. warga berduyun-duyun dengan antusias melihat pertunjukan kesenian yang memang sebagian diantaranya jarang sekali ditampilkan. Warga pun berharap agar pesta rakyat ini dapat diadakan setiap tahun.


Penulis
Wawan, Kalakay Jasinga
Cirebon, Desember 2008



SITUS TUBAGUS BUANG


Beberapa titik situs makam kuno di Jasinga terdapat makam leluhur Banten, salah satunya adalah makam Pagutan yang berada pada pertemuan dua sungai yaitu Cidurian dan Cikeam. Letak makam Pagutan dekat dengan pemukiman warga, namun keberadaannya nampak tak terawat. Sebagian masyarakat Jasinga menunjukkan bahwa makam Tubagus Buang berada di kompleks pemakaman Pagutan. 

Ada pula yang menunjukkan makamnya terletak di pemakaman Kampung Kandang (kurang lebih 500 meter dari Pagutan).

Masyarakat mengetahui makam Tubagus Buang berdasarkan keterangan dari mulut ke mulut atau sumber dari para sepuh sebelumnya. Menurut salah seorang sesepuh Jasinga, sekitar tahun 60-an makam Tubagus Buang tampak nisannya berbentuk gada dengan kondisi patah pada bagian atasnya dan terdapat ukiran huruf arab pegon. 

Makam tersebut berada di bawah pohon kemang orok, akan tetapi dengan tumbangnya pohon kemang orok, kini makam tersebut tak lagi terlihat, mungkin karena tertimpa dahan atau batang pohon yang besar. 

Nisan-nisan makam di sekitarnya pun rusak dengan kondisi patah, miring dan tenggelam karena faktor lingkungan. Masyarakat hanya mengetahui bahwa Tubagus Buang adalah tokoh dari kesultanan Banten, tetapi mereka tidak mengetahui sejarah dan asal-usulnya.

Menurut sejarah Banten, Tubagus Buang adalah kerabat Sultan Banten yang berontak terhadap VOC karena telah melakukan intervensi terhadap kesultanan Banten. 

Tubagus Buang berjuang bersama Kyai Tapa yang tak lain adalah kerabatnya, pemberontakan Tubagus Buang dan Kyai Tapa berawal dari rakyat Banten yang dikhianati oleh Ratu Syarifah yang bersekutu dengan VOC. Ratu Syarifah adalah istri dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin (1733-1750). 

Sebelumnya Ratu Syarifah adalah seorang janda dari pegawai VOC di Batavia, Ratu Syarifah bersekutu dengan VOC dan membuang putra mahkota yaitu Pangeran Gusti ke Ceylon (Srilangka). Ratu Syarifah menginginkan agar menantunya yaitu Pangeran Syarif Abdullah dijadikan Sultan Banten. 

Ia pun menyebarkan fitnah bahwa suaminya gila dan kemudian ditangkap Belanda. Diangkatnya Pangeran Syarif Abdullah sebagai Sultan Banten atas persetujuan Belanda, hal ini membuat kemarahan bagi kerabat kesultanan dan rakyat Banten yang tidak setuju dengan pengangkatan sultan baru. 

Secara kekerabatan Tubagus Buang adalah keponakan dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Ariffin (1733-1750). Sedangkan Kyai Tapa adalah saudara seayah dengan Sultan Muhammad Syifa Zainul Ariffin.

Pemberontakan dipimpin oleh Tubagus Buang dan Kyai Tapa dengan menyerang Keraton Surosowan, akan tetapi Benteng Keraton sulit ditembus karena bantuan VOC yang begitu kuat. 

Selanjutnya Tubagus Buang dan Kyai Tapa menyerang dengan cara gerilya dan mendirikan kanton-kantong perlawanan, salah satunya di Gunung Munara (Rumpin), Pandeglang, Bogor dan Tangerang. 

Tubagus Buang melakukakan gerilya sekitar Banten selama dua tahun, karena desakan pasukan VOC maka pasukan Tubagus Buang terpukul mundur ke pedalaman. Sementara Kyai Tapa meneruskan hingga ke Pandeglang dan Bogor, Pasukan Tubagus Buang mundur hingga ke Jasinga. 

Rakyat Jasinga ikut serta membantu perlawanan yang dilakukan Tubagus Buang. Perlawanan gerilya membuat VOC semakin terdesak dan hingga akhirnya Gubernur Jenderal Mossel menanggapi tuntutan rakyat Banten, agar Pangeran Gusti (Putra Mahkota) dikembalikan dari Srilanka dan menangkap Ratu Syarifah beserta menantunya Pangeran Syarif Abdullah sebagai biang kerusuhan rakyat Banten.

Begitulah sekilas sejarah Tubagus Buang dalam perlawanan menentang VOC. dari memori kolektif masyarakat yang didapat dan jika diteliti lebih lanjut, maka akan terbukalah beberapa situs sekitar Jasinga dan akan ditemukan kebenarannya. Karena disini sangat dibutuhkan pengkajian oleh para ahli Arkeolog/kepurbakalaan serta Sejarawan agar masyarakat Jasinga tidak memandang Tokoh dan Sejarah sebagai suatu yang memburamkan.



Sumber:

· Sejarah Banten, Sultan, Ulama dan Jawara Banten, Hj. Nina Lubis 2002
· Catatan masa lalu Banten, Michrob & Chudari
· Sesepuh Cisonggom, Jasinga
· Masyarakat Jasinga
· Gapura basa untuk SLTP


Penulis
Wawan (Kalakay Jasinga)
Jasinga, Desember 2008