RUPA-RUPA

PUBLIKASI DAN PENELITIAN PANTUN SUNDA

Publikasi dan Penelitian Pantun Sunda
Oleh Atep Kurnia

Jonathan Rigg berutang budi kepada Ki Gembang. Menurut Roesjan dalam tulisannya "Kamus Sunda" yang dimuat di Kalawarti Djawatan Kabudajan Djawa-Kulon No 8 (tt), Rigg bisa menyusun kamus Sunda asing pertama dalam sejarah bahasa Sunda, A Dictionary of the Sunda (1862), dengan menempuh tigalangkah.

Pertama, ia mengumpulkan kata-kata Sunda dari Paririmbuan-ketjap karya Bupati Cianjur RA
Kusumaningrat yang mengumpulkan kata-kata Sunda dari wilayah Priangan barat. Selain itu, ia juga diuntungkan oleh hubungan baiknya dengan Demang Jasinga, Raden Natawiria.

Demang ini memiliki pengetahuan yang luas mengenai bahasa Sunda dialek Jasinga. Dari demang ini pun Rigg memperoleh banyak pengetahuan tentang kata-kata Sunda.

Akhirnya, sebagai langkah terakhir, Rigg mengundang Ki Gembang, seorang juru pantun terkenal dari Bogor. Tidak tanggung-tanggung, tiga kali Ki Gembang diminta memantun, yaitu pada 1847, 1848, dan 1850. Rigg memang berutang budi kepada tukang pantun.

Sebelumnya, pantun Sunda sudah dikenal paling tidak pada abad ke-16. Buktinya, naskah Sunda kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) sudah menyebutkan adanya empat carita pantun yang bisa jadi paling masyhur kala itu. Keempat carita itu adalah Siliwangi, Haturwangi, Banyakcatra, dan Langgalarang.

Publikasi


Sampai saat ini baru ada sekitar 50 carita pantun yang sudah tercatat. Kisah-kisah ini berasal dari berbagai daerah (budaya) Sunda, baik di wilayah administrasi Jawa Barat maupun Jawa Tengah (Brebes,Tegal, Purwokerto, dan Cilacap).

Kegiatan pengumpulannya sendiri telah cukup lama dilakukan. Orang Barat pertama yang berusaha mengumpulkan pantun Sunda adalah JJ Meijer. Ia pernah menjadi kontrolir di Banten selatan. Ia berhasil mempublikasikan sepuluh carita pantun dari Baduy dalam karyanya, Badoejsche Pantoenverhalen(1891).

Kemudian, ada CM Pleyte. Ia menulis enam tulisan berkenaan dengan carita pantun, antara lain Raden Moending Laja di Koesoema: Een oude, Soendasche ridder-roman met eene inleiding over den toekang pantoen (1907)

De ballade "Njai Soemoer Bandoeng": Eene Soendasche pantoenvertelling (1910); dan

De lotgevallen van Tjioeng Wanara naderhand vorst van Pakoean Padjadjaran (1910).

Selanjutnya, ia menerbitkan De Legende van den Loetoeng Kasaroeng: Een gewijde sage uit Tjirebon(1910). Buku ini kemudian dialihbahasakan ke bahasa Sunda menjadi Tjarita Loetoeng Kasaroeng: Dongeng Poetra Kahiangan Wedalan Tjirebon: Dipapaesan koe 12 Gambar (1923). Pada 1916, ia pun menyusun Twee pantoens van den Goenoeng Koembang: Een bijdrage tot de kennis van het Soendasch in Tegal.

Orang Jerman tak mau ketinggalan. Pada 1925 terbitlah Loetoeng Kasaroeng: eine uralte sundanesische Legende susunan FA Schoppel. Di samping itu, RS Wirananggapati mencatat carita pantun Ratu Bungsu Karma Jaya yang dipantunkan oleh Taswan dari Kuningan (1961). Pada 1970, Rakean Minda Kalangan menerbitkan Pantun Bogor: Lalakon Kalang Sunda Makalangan. Antara 1970 dan 1973 Ajip Rosidi memprakarsai Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda (PPP & FS). Hasilnya, PPP & FS merekam dan mentranskripsi 30 carita pantun, dan tak kurang dari 18 judul telah dibukukan. Demikian keterangan Ajip dalam tulisannya "My Experiences in Recording Pantun Sunda", (Indonesia, Vol 16, Oktober 1973).

Dalam proyek ini beberapa juru pantun dari Tatar Sunda diberi kesempatan untuk menuturkan carita pantun. Beberapa juru pantun yang diundang untuk mantun yaitu Ki Atjeng Tamadipura (Situraja), Ki Ating (Tegaldatar), Ki Atma (Banggala), Ki Enjum (Ujungberung), Ki Kamal (Lebakwangi), Ki Sadjin (Baduy), dan Ki Samid (Cisolok).

Penelitian

Penelitian pantun Sunda tentunya merupakan hasil dari pengumpulan pantun. Oleh karena itu, Pleyte dapat menerbitkan Woordenlijst tot de pantoen's Njai Soemoer Bandoeng, Tjioeng Wanara en Loetoeng Kasaroeng (1911), buku yang berisi daftar kata-kata dari tiga carita pantun yang digarapnya. FS Eringa menulis disertasinya mengenai carita pantun Lutung Kasarung berjudul Loetoeng Kasaroeng:Een mythologisch verhaal uit West-Java (1949). Setelah itu, Eringa pun tak berhenti menulis ihwal pantun Sunda. Umpamanya, pada 1952 ia menulis makalah berjudul Een recente toneel-bewerking van het Lutung Kasarung-verhaal.

Selanjutnya, pada Konferensi Sastra Daerah (1977), dalam makalahnya Struktur Ceritera Pantun Sunda:Berdasarkan Ceritera Badak Pamalang I, Iskandarwassid mengkaji carita pantun dari struktur penceritaannya. Kemudian, pada 1980 Tini Kartini dkk menerbitkan Struktur Cerita Pantun Sunda: Laporan Penelitian, dan pada 1984 secara khusus Tini menerbitkan Struktur Cerita Pantun Sunda: Alur.Menginjak era 1990-an, ada beberapa orang yang meneliti pantun Sunda. Andrew N Weintraub, peneliti bangsa Amerika, pada 1990 membuat tesis S-2 pada University of Hawaii tentang musik pantun Sunda, The Music of Pantun Sunda: An Epic Narrative Tradition of West Java, Indonesia. Ia pun menerbitkan buku perkenalan

terhadap pantun Sunda, Ngahudang Carita anu Baheula = To Awaken an Ancient Story: An Introduction to the Stories of Pantun Sunda pada 1991. Pada jurnal Asian Music (Vol 26, Autumn 1994-Winter 1995), ia juga menulis Tune, Text, and the Function of Lagu in Pantun Sunda, a Sundanese Oral Narrative Tradition. Kemudian, Ayatrohaedi dalam Carita Pantun: "Roman Sejarah" Sastra Lisan Sunda (1992)

menyoroti carita pantun yang dianggapnya sebagai "roman sejarah". Sementara itu, Idat Abdulwahid lebih memfokuskan perhatiannya pada Analisis Motif dan Leitmotif Cerita Pantun Sunda (1998).Menginjak era milenium baru, penelitian tentang pantun Sunda masih berlanjut. Ela Yulaeliyah,misalnya, menerbitkan Seni Pantun Sunda sebagai Sarana Ritual dan Hiburan: Laporan Penelitian pada 2000. Penelitian paling mutakhir mengenai pantun Sunda dilakukan oleh Jakob Sumardjo. Ia meneliti carita pantun berdasarkan hasil kerja PPP & FS. Hasil penelitiannya sudah dibukukan dalam Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun Sunda (2003); Hermeneutika Sunda: Simbol-simbol BabadPakuan/Guru Gantangan (2004); dan Khazanah Pantun Sunda: Sebuah Interpretasi (2006). Itulah selayang pandang tentang publikasi dan penelitian pantun Sunda. Namun, masalahnya kini, bagaimana generasi muda dapat mengenali kekayaan budaya Sunda tersebut? Sementara para juru pantun Sunda kian hari kian tiada. Para ahli pun sibuk sendiri meneliti pantun Sunda.


ATEP KURNIA Penulis Lepas, Tinggal di Bandung
www.kompas.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar