RUPA-RUPA

PENULUSARAN KAMUS SUNDA DIALEK JASINGA DI BANDUNG

Penulusaran Kamus Sunda Dialek Jasinga di Bandung

Bandung adalah tujuan kami mencari jejak sejarah. Hari itu tanggal 7 Desember 2008 pukul 12.30, sehari sebelum ldhul Adha. Kami berangkat ke Bandung dari Jasinga menggunakan sepeda motor, estimasi perjalanan kurang lebih 6 jam. Rute yang di tempuh termasuk rute favorit yaitu jalur puncak, memasuki jalur ini kami beristirahat karena hujan sangat lebat. Setelah hujan reda kami pun melanjutkan perjalanan. 

Hamparan hijau pohon teh cukup menyegarkan mata, hawa sore hari yang dingin di tambah lagi kabut turut menghiasi perjalanan kami sepanjang jalur puncak. Jalanan yang berkelok-kelok dan licin memaksa kami harus berhati-hati, setelah melewati puncak pass berarti kami memasuki batas wilayah Kabupaten Bogor dengan Cianjur.


Sebelum memasuki kota Cianjur kembali kami beristirahat di sebuah masjid untuk melaksanakan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar perjalanan kami lanjutkan meski di bawah guyuran hujan ringan. Tak terasa perjalanan yang kami tempuh telah melintasi jembatan sungai Citarum, sungai ini dulunya merupakan wilayah teritorial Tarumanagara di bawah kekuasaan raja Purnawarman. Pada tahun 670 masehi di pecah menjadi dua wilayah Kerajaan yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dan menjadikan Sungai Citarum ini sebagai batas. Selain itu sungai Citarum ini pernah pula menjadi batas wilayah kekuasaan kesultanan Banten. 


Kemudian wilayah Padalarang pun kami lewati dimana wilayah ini pernah menjadi saksi sejarah terjadinya pertempuran hebat antara laskar Banten dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Syeh Yusuf beserta anak-anak Sultan Ageung Tirtayasa yaitu Pangeran Purbaya, Pangeran Kulon, Pangeran Kidul dan lain-lain. Syeh Yusuf adalah seorang ulama Sufi dari Bugis Makassar dan diangkat sebagai seorang Mufti di kesultanan Banten di bawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa. 

Syeh Yusuf juga orang yang berjasa dalam membantu dan memimpin perlawanan rakyat Banten melawan penjajahan Belanda meski beliau bukan berasal dari Banten. Kembali ke perjalanan kami, setelah melewati Padalarang kami pun sampai di gerbang wilayah kota Cimahi dan akhirnya memasuki Kota Bandung mengambil jalur Pasar Baroe Bandung, sambil melihat bentuk arsitektur bangunan tempo doeloe yang berada di sepanjang jalan Otista Pasar Baru Bandung ini, tak terasa kami telah sampai di Tegalega dan di tempat ini terdapat Monumen bersejarah perjuangan rakyat Bandung yaitu monumen Bandung Lautan Api. Di seberang jalan dari taman Tegalega ini terdapat Museum sejarah Jawa Barat yaitu Museum Sri Baduga, di dalam museum ini terdapat berbagai macam naskah-naskah kuno dan benda-benda pusaka peninggalan kekayaan bumi Sunda. Tapi sayang kami tidak bisa masuk ke Museum tersebut dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan. 


Kami hanya bisa memandang dari seberang jalan sebuah replika Singa Barong yaitu sebuah kereta kuno Kesultanan Cirebon yang terpampang di dalam ruang kaca. Akhirnya perjalanan kami lanjutkan melewati alun-alun Bandung dan jalan Asia Afrika menuju toko buku Gramedia. Singgah di toko buku Gramedia dekat Bandung Indah Plaza atau lebih dikenal dengan BIP, di Gramedia ini kami hanya lihat-lihat saja dan sedikit baca-baca. “lumayanlah baca gratisan hehehe”. Koleksi tentang sejarah Sunda di toko buku ini sudah jarang kita temui, padahal setahun yang lalu masih banyak buku-buku tentang sejarah Sunda di tempat ini. Selain sejarah Sunda kami pun sempat melihat-lihat buku-buku terbitan terbaru tentang Tan Malaka. “hmhm…..Madilog Tan Malaka saya sudah punya Loh heehe”. Setelah cukup bosan di toko buku Gramedia ini, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ciwaruga untuk melepaskan lelah alias Tidur di tempat saudara. Tak terasa malam berganti pagi dan kami terlambat menyadari pagi itu 8 Desember 2008 adalah hari raya Idhul Adha. Tepat pukul 11 pagi perjalanan kami lanjutkan ke arah Buah Batu terus ke jalan Soekarno Hatta dengan tujuan tujuan Rumah Baca Buku Sunda milik pak Maman di daerah Margahayu perumahan Mekarwangi.


Cukup banyak koleksi-koleksi tentang buku-buku dan naskah Sunda di tempat ini. Yang membuat kami terpesona adalah kamus pertama Sunda - Inggris tulisan Jonathan Riggs tahun 1862, kamus ini berisi kosa kata Sunda asli dialek Jasinga dan bukan dialek Priangan. 


Kamus ini di tulis oleh Jonathan Riggs saat berada di Jasinga, untuk mengumpulkan kosa-kata sunda dialek Jasinga ini, Jonathan Riggs banyak di bantu oleh demang Jasinga pada waktu itu yaitu Raden Natawiria. 

Demang ini mempunyai pengetahuan yang cukup luas. ketebalan dari kamus ini adalah 537 halaman dengan kosa kata 9.803 kata, di Rumah Baca Buku Sunda ini juga cukup banyak sejarah tentang Banten. Di tempat ini pula kami juga bertemu dengan Pak Wishnu seorang Dokter medis yang juga sangat peduli terhadap sejarah. 

Dari beliau kami mendapatkan pelajaran tentang prosesi pembuatan keris. Meski pak Wishnu sendiri bukan asli Sunda namun beliau sangat peduli dan ingin sekali menggali tentang senjata Pusaka Sunda yaitu Kujang. Tak terasa waktu begitu cepat hingga akhirnya kami pun harus kembali ke tanah leluhur kami Jasinga. Suatu saat kami akan kembali ke Bandung untuk bersilaturahmi dan tentunya mengcopy Kamus Sunda Jonathan Riggs.


Penulis
Yana Mevlana,& Nday Kalakay Jasinga
Bandung, 9 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar