RUPA-RUPA

RINDUKU PADA BATU NISAN TUA

Betapa bahagianya ketika bos menyuruh saya untuk libur bekerja. Arus mudik lebaran haji meramaikan Bandara Cengkareng, walau tidak seramai arus pada lebaran Idul Fitri kemarin. Setelah terjaga dari tidur di kursi bus yang sengaja dipilih, mata memandang menembus jendela, ternyata tak jauh berbeda seperti dulu saya tinggalkan. Bogor, tertulis dipetunjuk jalan tol jagorawi ini dan saya pun semakin lega karena sebentar lagi tiba untuk bertemu dengan Udell di kosannya, Ciheuleut Bogor.

Turunnya harga BBM menjadi buah bibir masyarakat, baik itu supir angkot, penumpang m aupun Pedagang Kaki Lima. Terutama para penumpang yang bertanya-tanya dalam hati kenapa ongkos angkot gak ikut turun juga? Namun rindu pada batu nisan tua membuat hal itu biasa saja. Yang saya pikirkan hanyalah pergi ke salah satu kampung di Pandeglang Banten, yaitu kampung Wirasinga dengan tujuan mencari makam dan asal-usul keberadaan seorang tokoh yang bagi saya melegenda bernama Wirasinga yang hidup pada masa lampau. 

Untuk itu saya berencana pergi kesana dengan Udell. Bagi saya ini adalah kesempatan yang baik, walau capek karena baru saja mudik dari Banjarbaru Kalsel, saya tetap berkeras hati untuk pergi kesana.

Kampung Wirasinga adalah nama kampung yang berasal dari nama seorang tokoh yang melegenda bernama Wirasinga. Terletak dekat dengan Gunung Karang dan Gunung Pulasari di kecamatan Mekar Jaya desa Wirasinga. 

Untuk menuju ke kampung ini, dari terminal Pakupatan Serang kami menaiki bus yang menuju kearah Labuan lalu turun di perepatan Batu Bantar. Di perepatan kami naik ojeg, perjalanan berkisar ±20 menit untuk ke kampung tersebut melewati kampung-kampung lain. 

Adapun jalan alternatif lain dari arah Rangkas, yaitu naik bus Rudi jurusan Rangkas – Bogor, terus turun di Kebon Cau. Dari situ lalu naik ojek menuju kampung Wirasinga.

Wirasinga di Pandeglang dikenal dengan nama Eyang Wirasinga. Makamnya selalu diziarahi dari berbagai penjuru kota terutama oleh keturunan-keturunan beliau. Makam beliau oleh penduduk setempat pernah dibuat bangunan tertutup. 

Namun bangunan tersebut roboh dengan sendirinya, tanpa diketahui penyebabnya. Menurut masyarakat setempat, Konon Eyang Wirasinga ini adalah seorang tokoh yang sangat sakti, memiliki 7 harimau dan seekor Singa ghaib. Beliau berguru ke Cirebon dan meninggal dunia disana. 

Menurut Aki Wira sesepuh (tokoh masyarakat) setempat yang kami temui, setelah berguru dari Cirebon Eyang Wirasinga kembali ke Banten dan dimakamkan di kampung Wirasinga, pemakaman ini sangat dihormati. 

Setiap motor yang akan melewati pemakaman ini, harus mematikan mesin motor mereka dan mendorongnya. Baru setelah melewati pemakaman ini mereka menyalakannya kembali hal in berlangsung sampai tahun 1995. 

Beliau memiliki dua nama lain yaitu Wira Harita Kusuma dan Arya Jayasinga Kawasa. Kampung Wirasinga ini pada zaman penjajahan Belanda merupakan salah satu titik pertahanan untuk melawan Kompeni Belanda. Konon mortir yang ditembakkan oleh Kompeni Belanda tidak mampu menyentuh sedikitpun wilayah ini, mungkin karena adanya daya magis karomah makam beliau.

Di Jasinga, juga dikenal tokoh yang bernama Wirasinga namun memiliki cerita yang berbeda seperti halnya di kampung Wirasinga, bahkan dalam penyebutannya pun berbeda. Di Jasinga tokoh ini tidak di awali dengan sebutan eyang, hanya Wirasinga saja. Hubungan antara keberadaan tokoh Wirasinga di kampung Wirasinga dan Jasinga ini masih kami gali. 

Di Jasinga juga banyak keturunan-keturunan Wirasinga yang masih mengenal dan mengakui mereka adalah keturunan beliau, seperti halnya saya. Menurut data yang saya dapatkan, peninggalan Wirasinga yang sampai sekarang masih ada di Jasinga berupa tombak, bendera dan jubah. Bahkan di salah satu nisan tua di Gunung Kulantung kp. Babakan Jasinga terukir dengan tulisan Arab pegon “Armaja bin Ngabehi Lughot Wirasinga”.

Wirasinga di Jasinga terletak di Pemakaman Tua Curug dengan batu nisan pipih yang dihiasi ukiran berupa daun dan pola simetris yang indah setinggi ±50 cm. Bertengger diatas tanah yang lebih tinggi (Hunyur) dan di bawah rindang pohon jatake, dikelilingi sawah-sawah dan dekat dengan arus sungai Cidurian. Disekitarnya terdapat pula batu nisan yang sejenis dengan pola ukir yang berbeda-beda. Pemakaman Tua Curug ini berjarak ± 500 meter dari Pemakaman Tua Gunung Kulantung kearah utara dan ± 700 meter dari Gunung Angsana kearah barat.

Setelah selesai menziarahi dan mendapatkan informasi yang cukup, kami pun bertiga (Satu lagi adalah rekan kami yang bernama Agung yang kami jemput di rumahnya di kampung Baros, Pandeglang) mengakhiri perjalanan kami. 

Di sore yang cerah itu kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju perempatan Batu Bantar. Terlihat Gunung Karang dan Gunung Pulasari berdiri tegak dan megah.


Andri (Endoh) & Ade Nugraha (Udell),
07 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar