RUPA-RUPA

SI PECAK JEUNG SI BURVT


Tradisi Caritaan Barudak Jasinga yang diceritakan kepada anak-anak oleh orang dewasa, yang dilaksanakan pada malam hari ketika berkumpul di pelataran rumah atau tempat-tempat ronda. 


Caritaan ini kebanyakan bersifat jenaka. Penyajian sengaja dengan bahasa aslinya agar arti dan makna nya tidak berubah.


SI PECAK JEUNG SI BURVT

Sore-sore Si Burvt ulin ka imahna Si Pecak


Si Burvt   : "Pecaak". Ngagero di hareup imah

Si Pecak  : "Uuuuy, aing dijerooo". Pecak ngabales

Si Burvt   : "Heh Pecak, urang ka sawah yuk, ngala kalapa !". Burvt ngajakan

Si Pecak  : "Mbunglah, geus rek magrib Rut".

Si Burvt   : "Alah maneh Cak, mani kugaya! Maneh mah rek beurang tau peuting ge tetep peuting. Kajenlah Cak nke jeung maneh dua siki aing mah hiji be. Jeung deui maneh ges lila tara nginum cai kalapa deui". Si Burvt ngoloan Si Pecak.

Si Pecak : "Bener oge nyah, hayu atuh". Ceuk Si Pecak bari jeung siap siap mangkat


Si Pecak jeung Si Burvt barangkat ka sawah. Si Burvt dihareupeun, Si Pecak di tukangeun Si Burvt.


Si Pecak  : "Geura naek Rut, Aing geus aus yeuh". Ceuk Si Pecak

Si Burvt   : "Cak, pan aing mah teu bisa naek tangkal kalapa". Si Burvt karak engeuh manehna teu bisa naek kalapa

Si Pecak  : "Nggeus geura naek bae, kos monyet". Si Pecak nitahan ka Si Burvt bari ngelusan tikorona

Si Burvt   : "Heu geh aing nyobaan lah". Bari ngalipetkeun sarungna jeung ngabayangkeun monyet keur naek kalapa


Akhirna Si Burvt naek, tapi kunaon tisaprak eta, Si Burvt eweuh soraan, najan digeuroan ge ku Si Pecak. Si Pecak panasaran ko Si Burvt digeroan titadi teu nyahut-nyahut. 

Kusabab Si Pecak ges teukuat auseun, manehna naek oge kana tangkal kalapa nu ditaekan ku Si Burvt. 

Lalahunan Si Pecak naekna, bari leungeuna ngarabaan luhureun sirahna ges nepi apa ncan. Pas rada luhur, lengeun Si Pecak akhirna ngageurewek eta kalapa. 


"Benang sia ku aing". Ceuk Si Pecak bungah
Teu lila Si Pecak ngomong deui ...

"Ieu kalapana ko bie nyah?". Ceuk Si Pecak bari panasaran


Teu lila kaluar cai dina eta kalapa ... diasaan ku Si Pecak


"Cai kalapa ko kieu amat?", kusabab Si Pecak geus lila tara nginum cai kalapa, poho deui kana rasana. 

"Wah cengkir ieu mah kalapana". Si Pecak ngomong sorangan


Teu lila eta kalapa di dudut ku Si Pecak, dipulintirkeun hela eta kalapa mbeh gampang didudutna. 

Geus kitu, pas didudut aya suara ngagoak, nyaeta suara Si Burvt. Tapi eta kalapa kaburu kagol kadudut ku Si Pecak. 

Terus Si Burvt ragag, lengeun Si Burvt nyeukelan ka lengeun Si Pecak. Ju be duanana ragag ...

GUBRAGGGGGGG !

"Adawwww ...". Si Burvt jeung Si Pecak ngagoak

Si Burvt  : "Pecak sia mah kabina-bina eta aing di krewek ku sia". Si Burvt ngambek

Si Pecak : "Aing teu nyaho eta sia, ja eweh soraan, atu sia cicing bae ku aing digeroan geh".

Si Burvt  : "Aing sieun pas diluhur, inggis Cak, aing pereum be di luhur. Aing teu nyaho sia horeng miluan nerekel naek. terus aing kiih ja sieun ges diluhur teubisa kahandap dei.

Terus si pecak buru-buru lumpat ka cai kusabab awakna baseuh ku kiih si burvt.

Selesai.




Kalakay Jasinga

PANCEUR PANGAWINAN GURADOG JASINGA


Pancer Pangawinan di Guradog didirikan oleh seorang Tokoh yang bernama Ki Demang Haur Tangtu atau nama lain Dalem Tangtu Awileat. Ki Demang Haur Tangtu (Dalem Tangtu Awileat) adalah salah satu Pimpinan dari Pasukan Bareusan Pangawinan selain dari 2 tokoh lainnya yaitu Guru Alas Lumintang Kendungan dan Puun Buluh Panuh.

Ke tiga tokoh ini, yaitu Ki Demang Haur Tangtu, Guru Alas Lumintang Kendungan dan Puun Buluh Panuh yang di tugaskan oleh Prabu Siliwangi (Ragamulya Suryakencana) pada tahun 1579 untuk menyelamatkan Hanjuang Bodas dari serbuan Pasukan Banten. Setelah mendapat tugas tersebut, ketiganya bersama sang raja segera mundur dari Pakuan (ibukota) Padjajaran ke arah selatan, ke sebuah tempat yang disebut Tegal Buleud dan membagi-bagi pengikutnya dalam kelompok-kelompok kecil dan memberi kebebasan kepada para pengikutnya tersebut untuk memilih jalan hidup masing-masing. Sementara itu, ketiga pimpinan Bareusan Pangawinan bertekad untuk kembali ke dayeuh (kota) yang telah ditinggalkan.

Dalam perjalanan menuju Dayeuh, ketiga pimpinan Bareusan Pangawinan sepakat untuk berpisah dan menempuh jalan hidup masing-masing, tetapi tetap memelihara hubungan satu dengan Iainnya. Perjalanan hidup Guru Alas Lumintang Kendungan dan Puun Buluh Panuh selanjutnya tidak diceritakan dengan jelas. Sedangkan Ki Demang Haur Tangtu akhirnya menetap di daerah Guradog (Jasinga) hingga akhir hayatnya. 

Kuburan Ki Demang Haur Tangtu sekarang ini dikenal dengan sebutan Makam Dalem Tangtu Awileat. Di Kampung Guradog ini Ki Demang Haur Tangtu mempunyai keturunan, yaitu warga yang sekarang bertempat tinggal di daerah Citorek dan dikenal dengan sebutan kasepuhan. Dan turunan Ki Demang Haur Tangtu inilah asal muasal berkembangnya kelompok sosial Kasepuhan. 

Dalam cerita rakyat daerah Cisolok disebutkan bahwa Ki Demang Haur Tangtu memperistri Nini Tundarasa, seorang gadis dari Kampung Kaduluhur. Nini Tundarasa inilah yang dianggap sebagai leluhur atau nenek moyang warga Kasepuhan Ciptagelar. Setelah menjadi satu di antara beberapa istri Ki Demang Haur Tangtu, Nini Tundarasa pindah dari Kampung Kaduluhur ke Kampung Guradog. Selanjutnya, keturunan mereka berpindah-pindah tempat tinggal dari satu tempat ke tempat lainnya.

Dalam perjalanan sejarahnya, warga kasepuhan telah berpindah beberapa kali tetapi tetap berada di sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Awal perpindahan dimulai dari Ieluhur mereka, yaitu Nini Tundarasa yang pindah dari Kampung Kaduluhur ke Kampung Guradog. Di kampung Guradog ini masih bisa ditemukan Tradisi-tradisi seperti Serentaun dsb. Selain itu masih bisa kita jumpai di kampung ini para sepuh (kokolotnya) masih menggunakan iket kepala. Meski sudah ada pengaruh modernisasi, bahkan untuk para pemudanya meski iket tidak dipakai tetapi mereka kerap membawa iket karena itu ciri menurut mereka. 


++Kalakay Jasinga++

Pernah di posting di Facebook pada 5 juni 2015 
 
 

 

7 AJARAN SUNDA DAN FATWA RAJA PURNAWARMAN

Dikisahkan bahwa pada dahulu kala dimana saat itu Raja Kerajaan Tarumanegara yang termasyur, yaitu Raja Purnawarman memberikan fatwa kepada masyarakatnya dengan pembagian wilayah-wilayah yang diprioritaskan sesuai 7 ajaran sunda. 

Tujuh Ajaran Sunda tersebut adalah Pangawinan, Parahyang, Bongbang, Singa Bapang, Gajah Lumejang, Sungsang Girang dan Sungsang Hilir. 

Istilah-istilah 7 ajaran Sunda tersebut memiliki arti dan fungsi yang berbeda-beda.

Pangawinan atau kawinan berarti dua sifat dalam satu tubuh, kesetaraan gender. Di pangawinan ini terdiri dari 40 keluarga dan satu keluarga pemimpin. Berpakaian warna putih, rumah tinggal mereka menuju satu arah, penghidupan membuat anyam-anyaman. 

Adapun arti putih adalah bersih, punya i'tikad untuk hidup berjiwa bersih. Anyam-anyaman disimpulkan bahwa walaupun berasal dari helai yang lemah tapi kalau disusun akan kokoh dan berguna. Mereka merasa yakin tak ada batu karang yang kuat yang bisa menahan aliran satu arus yang kuat. Wilayah pangawinan diperkirakan di daerah Ngasuh.

Parahyang yang terdiri dari kata Para yang berarti banyak dan kata Hyang yang berarti menghilang. Wilayah Parahyang ini mempunyai prioritas ajaran bahwa harus berani mengakui dan berbuat jujur apa saja yang telah hilang dari dirinya. Wilayah Parahyang ini diperkirakan di daerah Cileles.
    

Bongbang diartikan pohon-pohon di dalam hutan yang ditebang atau dibabad terang, artinya masyarakat Sunda harus mau membersihkan diri dari dosa. Baik dosa kecil maupun dosa yang besar. Wilayah Bongbang ini diperkirakan di daerah Sajira (Fatsajira).

Singa Bapang Diambil dari seekor singa yang biasanya setelah mengambil sikap dia tidak melihat ke kiri atau ke kanan. Bapang berarti teguh pendirian. Wilayah Singa Bapang ini diperkirakan di daerah Cikareo.

Gajah Lumejang diambil dari sifat gajah yang apabila seekor gajah bangun tak bisa cepat berdiri tetapi disaat berdiri sulit untuk dirubuhkan. Selanjutnya menjadi lambang pendidikan (Ganesha, lambang pasti). Wilayah Singa Bapang ini diperkirakan di Parung Kujang, Gunung Kencana.


Sungsang Girang mempunyai arti berani melihat ke belakang untuk dijadikan cermin. Mempelajari masa lalu dan diambil hikmahnya. Wilayah Sungsang Girang ini diperkirakan di daerah Sogong, Bayah.

Sungsang Hilir mempunyai arti harus bisa melihat ke masa depan, berpedoman, tidak sembarang melangkah ke depan. Kebiasaan di wilayah tersebut biasanya mengolah seni. Wilayah Sungsang Hilir ini diperkirakan di daerah Cibarena, Pelabuhan Ratu.

Konon katanya tradisi bagi orang Sunda yang ingin memperdalam 7 ajaran Sunda ini, diharuskan napak tilas ke semua 7 wilayah tersebut dan menetap dimasing-masing wilayah beberapa waktu untuk menerima ajaran dari ketua adat masing-masing wilayah tersebut. 



Kalakay Jasinga
 
Sumber : Alm. Bapak Agus Jamaludin



DIBALIK KISAH DESA ARGAPURA DAN NYAI RENGGANIS


Dikisahkan pada sebuah desa di kaki bukit, hidup seorang Pandita bernama Ki Argapura yang memiliki seorang putri yang cantik jelita yang bernama Nyai Rengganis. 



Ada gula ada semut, inilah yang dialami oleh Nyai Rengganis dimana banyak sekali yang ingin mempersunting putri Ki Argapura tersebut untuk dijadikan istri.  

Banyak para bangsawan, pemimpin negeri, saudagar dan pendekar yang datang ke desa tersebut hanya ingin melihat kecantikan Nyai Rengganis dan memohon restu kepada Ki Argapura, namun tidak satupun lamaran mereka diterima.

Penolakan Nyai Rengganis dikarekan dia tidak merasa ada yang cocok untuk dirinya dan membuat bingung Ki Argapura. 

Bahkan banyak dari mereka yang melamar menggunakan cara pemaksaan dan kekerasan agar bisa disetujui oleh Ki Argapura, sehingga hal inilah yang mengganggu pikiran ayahnya Nyai Rengganis.

Untuk mengatasi hal yang tidak diinginkan dan karena sayang kepada putrinya maka Ki Argapura membawa pergi Nyai Rengganis di malam hari disertai dengan hujan yang sangat lebat. 

Kepergian mereka tidak ada seorang pun yang tahu, hingga akhirnya keberadaan mereka tidak diketahui lagi seperti menghilang begitu saja bagai ditelan bumi.

Para bangsawan, Pemimpin negeri, Saudagar dan Pendekar yang mencintai Nyai Rengganis yang cantik jelita tersebut sangat kehilangan Nyai rengganis dan Ki Argapura yang akhirnya dikenanglah  daerah tersebut dengan nama Desa Argapura dan Gunung Rengganis (Raganis).


KALAKAY JASINGA

































PERBEDAAN BAHASA SUNDA PRIANGAN DAN SUNDA BANTEN


THE DIFFERENCE OF SUNDA PRIANGAN AND SUNDA BANTEN

Bahasa Sunda yang berada di Banten, serta yang berada di daerah Priangan (Garut, Tasikmalaya, Bandung, dll.) memiliki beberapa perbedaan. Mulai dari dialek pengucapannya, sampai beberapa perbedaan pada kata-katanya. 


Sundanese in Banten, as well as those in the Priangan area (Garut, tasik Malaya, bandung, etc.) have some differences. Starting from a dialect of the pronunciation to some differences in the words.

Bahasa Sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, Bahasa Sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuna. 

Sundanese in Banten also generally does not recognize level, still seems to have a close relationship with Old Sundanese.

Namun oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan (Priangan), Bahasa Sunda Banten (Rangkasbitung, Pandeglang, Lebak) digolongkan sebagai bahasa Sunda kasar. 

But by the majority of people who speak Sundanese who have levels (Priangan), Sundanese Banten (Rangkasbitung, Pandeglang, Lebak) is classified as a coarse Sundanese language.

Secara prakteknya, Bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai Bahasa Sunda dialek Barat. Pengucapan bahasa Sunda di Banten umumnya berada di daerah Selatan Banten (Lebak, Pandeglang).

In practice, Banten Sundanese is classified as Western Sundanese dialect. Sundanese pronunciation in Banten is generally located in the southern area of Banten (Lebak, Pandeglang).


Berikut beberapa contoh perbedaannya: 

Bahasa Indonesia/Bahasa Sunda(Banten)/Bahasa Sunda(Priangan) 

Sangat/ jasa /pisan 
Dia/ nyana/ anjeunna 
Susah/gati/ hese 
Seperti /doang /siga 
Tidak pernah/ tilok /tara 
Saya/ aing /abdi 
Mereka /maraneh /aranjeuna 
Melihat /noong ningali/nenjo 
Makan /hakan /tuang dahar 
Kenapa/ pan/ naha 
Singkong/ dangdeur /sampeu 
Tidak mau/ embung/endung/ alim 
Belakang /Tukang/ Pengker 
Repot /haliwu /rebut 
Baju /Jamang/ Acuk 
Teman /Orok /Batur

Here are some examples of the differences :

Indonesian/Sundanese (Banten)/Sundanese (Priangan)

Sangat/ jasa /pisan 
Dia/ nyana/ anjeunna 
Susah/gati/ hese 
Seperti /doang /siga 
Tidak pernah/ tilok /tara 
Saya/ aing /abdi 
Mereka /maraneh /aranjeuna 
Melihat /noong ningali/nenjo 
Makan /hakan /tuang dahar 
Kenapa/ pan/ naha 
Singkong/ dangdeur /sampeu 
Tidak mau/ embung/endung/ alim 
Belakang /Tukang/ Pengker 
Repot /haliwu /rebut 
Baju /Jamang/ Acuk 
Teman /Orok /Batur


Contoh perbedaan dalam kalimatnya seperti:

Ketika sedang berpendapat,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Jeuuuh aing mah embung jasa jadi doang jelma nu kedul!"

Sunda Priangan: "Ah abdi mah alim janten jalmi nu pangedulan teh!"

Bahasa Indonesia: "Wah saya sangat tidak mau menjadi orang yang malas!"

Examples of differences in sentences such as :

While in opinion, 

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Jeuuuh aing mah embung jasa jadi doang jelma nu kedul!"

Sunda Priangan: "Ah abdi mah alim janten jalmi nu pangedulan teh!"



Bahasa Indonesia: "Wah saya sangat tidak mau menjadi orang yang malas!


Ketika mengajak kerabat untuk makan,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Teh Eka, maneh arek hakan teu?"

Sunda Priangan: "Teh Eka, badé tuang heula?"

Bahasa Indonesia: "(Kak) Eka, mau makan tidak?"

While inviting relatives to eat,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Teh Eka, maneh arek hakan teu?"

Sunda Priangan: "Teh Eka, badé tuang heula?"



Bahasa Indonesia: "(Kak) Eka, mau makan tidak?"


Ketika sedang berbelanja,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Lamun ieu dangdeur na sabarahaan mang? Tong mahal jasa."

Sunda Priangan: "Dupi ieu sampeu sabarahaan mang? Teu kénging awis teuing nya"

Bahasa Indonesia: "Kalau (ini) harga singkongnya berapa bang? Jangan kemahalan."


While shopping,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Lamun ieu dangdeur na sabarahaan mang? Tong mahal jasa."

Sunda Priangan: "Dupi ieu sampeu sabarahaan mang? Teu kénging awis teuing nya"


Bahasa Indonesia: "Kalau (ini) harga singkongnya berapa bang? Jangan kemahalan."


Ketika sedang menunjuk,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Eta diditu maranehna orok aing"

Sunda Priangan: " Eta palih ditu réréncangan abdi. "

Bahasa Indonesia: "Mereka semua (di sana) adalah teman saya"

While pointing,

Sunda Banten (Rangkasbitung): "Eta diditu maranehna orok aing"

Sunda Priangan: " Eta palih ditu réréncangan abdi. "



Bahasa Indonesia: "Mereka semua (di sana) adalah teman saya"



Meski berbeda pengucapan dan kalimat, namun bukan berarti beda bahasa, hanya berbeda dialek. Berbeda halnya dengan bahasa Sunda Priangan yang telah terpengaruh dari kerajaan Mataram. 

Although difference pronunciation and sentence, but  it does not mean different languages, only different dialects. Unlike the case with the Sundanese language Priangan which has been influenced by the Kingdom of Mataram.

Hal itu yang menyebabkan bahasa Sunda Priangan memiliki beberapa tingkatan. Sementara bahasa Sunda Banten, tidak memiliki tingkatan. 

That is why the Sundanese Priangan language has several levels. While the Sundanese Banten language does not have levels.

Penutur aktif bahasa Sunda Banten saat ini, contohnya adalah orang-orang Sunda yang tinggal di daerah Banten bagian selatan (Pandeglang, Lebak). 

Active speakers of Banten Sundanese right now, for example, are Sundanese who live in the southern part of Banten (Pandeglang, Lebak).

Sementara masyarakat tradisional pengguna dialek ini adalah suku Baduy di Kabupaten Lebak.

While the Traditional community of dialect users is the Baduy in Lebak Regency.

Wilayah Utara Banten seperti Serang umumnya menggunakan bahasa campuran (multi-bilingual) , antara bahasa Sunda dan Jawa.

The northern region of banten like Serang generally uses a mixed (Multi bilingual), language between Sundanese and Javanese. 




Kalakay Jasinga