RUPA-RUPA

BUYUT SURA LAWANG TAJI

KISAH GERBANG PADJAJARAN WILAYAH BARAT


Kampung Lawang Taji berada di daerah Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Jasinga. Kampung ini terletak di daerah perbukitan dekat aliran sungai Cidurian.

Menurut penuturan Ma Nursih (Ma Uci) berusia 80 Tahun, salah satu keturunan Buyut Sura yang tinggal di Lawang Taji. Kampung Lawang Taji di buka oleh Buyut Buara (Langlang Buana) yang menikah dengan Buyut Ratu, keduanya berasal dari Banten. 

Mereka mempunyai seorang anak bernama Buyut Putih yang tinggal di Kampung Lawang Taji. Buyut Putih menikah dengan Buyut Sura yang berasal dari Cirebon. Ma Nursih (Ma Uci) adalah Seorang Dukun bayi (Paraji) di kampung tersebut.

Di kampung Lawang Taji terdapat pula Patilasan Prabu Taji Malela dari Sumedang. Menurut penuturan masyarakat Lawang Taji artinya “Nu ngabela Panto tempat Elang Taji”. Bahkan ada sumber yang menyebutkan dari para sesepuh bahwa Lawang Taji merupakan gerbang Pajajaran untuk wilayah barat.



Kalakay Jasinga, Juli 2008











KASEPUHAN ADAT CIPATAT DAN SIHUUT

Kasepuhan Adat SUNDA

Kita banyak mengenal beberapa Kasepuhan atau Kampung Adat yang tersebar di sekitar wilayah Tatar Sunda. Seperti Kanekes, Ciptagelar, Cisungsang, Kampung Naga dsb.

Tetapi kita jarang sekali mengetahui atau bahkan tidak pernah sama sekali mendengar tentang kedua kampung ini yaitu Cipatat Kolot dan Sihuut yang letaknya berada di Bogor bagian barat. 

Mungkin orang lebih mengenal Kampung Adat Urug daripada kedua kampung tersebut diatas. Namun menurut Kokolot Kasepuhan Adat Cipatat Kolot dan Sihuut, bahwa Kampung Urug adalah bagian dari Kasepuhan Cipatat Kolot. Dan menganggap Kasepuhan Cipatat Kolot sebagai Saudara tertua dari Kampung Urug dan Sihuut. 

Karena segala nasehat dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ritual Adat biasanya ditentukan oleh kasepuhan Adat Cipatat Kolot.

Letak Kasepuhan Cipatat Kolot tidak jauh dari Kampung Urug yang berjarak kurang lebih 3 Km ke arah selatan menuju kawasan pegunungan Halimun. Kasepuhan ini dipimpin oleh seorang Kokolot yang bernama Abah Acim. Tradisi yang masih berlangsung bertahan di kampung ini adalah: Ponggokan, Serentaun, Ziarah Salembur dan sebagainya.

Letak Kasepuhan Sihuut berada di wilayah barat daya dan berada di sebuah lembah dekat dengan aliran sungai Cibarengkok dan bendungan Congcorang, Kampung ini dipimpin oleh Kokolot Abah Sahim. Tradisi yang masih bertahan sama dengan Kasepuhan Adat Cipatat Kolot. Terkecuali untuk tradisi Serentaun apabila hasil panen Kasepuhan Sihuut sedikit, biasanya acaranya disatukan dengan Kasepuhan Adat Cipatat Kolot.


Kalakay Jasinga, September 2009





PITUTUR KOKOLOT KASEPUHAN ADAT SIHUUT

5 DAERAH SINGGAH BUYUT CIPATAT

Cerita yang kami dapat dari Kokolot Kasepuhan Adat Sihuut dari kunjungan ke Kampung ini adalah tentang asal-muasal Kasepuhan Adat yang ada di Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor. 

Cerita ini dimulai dari perjalanan Buyut Cipatat yang menempati beberapa wilayah di Bogor bagian barat dan kemudian meninggalkan ciri untuk daerah yang pernah disinggahinya hal ini dimungkinkan agar dikenali oleh beberapa keturunanya dikemudian hari. 

Daerah tersebut diantaranya:
  1. Panjaungan: di daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah Pande Besi atau membuat peralatan dari besi seperti perabotan dan alat pertanian.
  2. Ciasahan: di daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah membuat batu asahan untuk menunjang perajin pande besi dari daerah Panjaungan.
  3. Parung Sapi: di daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah keilmuan dalam bidang agama Islam, oleh karena itu di daerah ini banyak kita jumpai pesantren.
  4. Sajira: di daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah ilmu kejawaraan, oleh karena itu kebanyakan watak dari masyarakat ini berwatak keras.
  5. Seni Banten: di daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah dibidang kesenian.

Setelah meninggalkan ciri di daerah-daerah yang pernah disinggahi akhirnya Buyut Cipatat kembali ketempat asal di daerah Cipatat Kolot sampai akhir hayatnya, kemudian dikuburkan di sebuah bukit yang ada di Cipatat Kolot dekat dengan lembah manapa. 


Sampai sekarang makamnya banyak diziarahi oleh masyarakat dan keturunannya serta menjadi acara rutin tiap tahunnya yaitu acara Ziarah salembur atau Ziarah satu kampung ke Makam Buyut Cipatat.

Selain dari cerita di atas, Abah Sahim juga menceritakan tentang Jasinga. di daerah ini dahulu ada seorang yang bernama Ma Enong yang diberikan kepercayaan untuk menyimpan pusaka berupa Goong Kabuyutan, Seeng Kabuyutan dan Kekenceng (Kawali) Kabuyutan.

Ada juga cerita tentang asal-muasal kenapa disebut Jasinga. cerita ini berawal dari bumi yang di huni oleh hewan yang dapat berbicara, dan seekor singa menjelma menjadi Pemimpin kemudian singa ini berkata “enak juga ternyata menjadi seorang Raja”. 

Karena manusia tidak sudi dipimpin oleh seekor Singa akhirnya Singa ini di beri madat atau bako (sejenis Rokok) untuk dihisap karena terlena dengan kenikmatan madat ini akhirnya singa ini dapat diusir ke daerah pakidulan (luar negeri) oleh bangsa manusia. 

Untuk cerita Singa ini bagi Kami hanyalah Foklore atau Cerita rakyat yang berkembang juga di daerah-daerah lain seluruh nusantara dan mungkin juga seekor Singa ini adalah penggambaran tabiat manusia yang serakah.



KalakayJasinga, 
September 2009


JASINGA VERSI NINI SUMARNAH

KISAH PUTRA-PUTRA KI MUNDING LAYA

Pada dahulu kala di negeri Sunda wilayah bagian barat hidup seorang pembesar yang bernama: Ki Mundinglaya yang mempunyai lima orang putra yaitu:
  1. Wira Kosa
  2. Wira Dana
  3. Wira Danu
  4. Wira Singa
  5. Wira Ajun
Kemudian Ki Mundinglaya beserta lima orang putranya berperang melawan Banten dan akhirnya kalah serta banyak anak buahnya yang mati bahkan alat-alat perang dan bendera panji disita sebagai rampasan perang.

Ki Mundinglaya dan lima orang putranya beserta sisa pasukannya kembali ke negeri Sunda dan mereka pun akhirnya berpencar membuat pemukiman baru bahkan ada pula yang melarikan diri ke daerah Sumedang dan Cirebon.
  1. Wira Kosa, lari dan menetap di sebelah timur dan membuat pemukiman baru yang bernama Sipak.
  2. Wira Dana, lari ke daerah Caruban (Cirebon) dan menetap di sana.
  3. Wira Danu, lari ke daerah Sumedang dan menetap di sana.
  4. Wira Singa dan ayahnya Ki Mundinglaya ke daerah barat dan membuka pemukiman baru yang di beri nama Jasinga.
  5. Wira Ajun ke sebelah utara dan membuat pemukiman baru yang bernama Setu.

Dan akhirnya Ki Mundinglaya dan lima orang puteranya hidup sebagai rakyat biasa didaerahnya masing-masing dan menjalankan kegiatan seperti bercocok tanam, berkebun, menggembala ternak dll. 

Sehingga mereka aman dari kejaran pasukan Banten, dan nama-nama daerah seperti Sipak, Setu dan Jasinga sekarang telah berkembang menjadi sebuah desa yang ramai penduduknya. 

Bahkan nama Jasinga sendiri kini dijadikan sebuah Kecamatan yang didalamnya meliputi desa Sipak, Setu dan Jasinga itu sendiri.



Sumber : Nini Sumarmah
Kalakay Jasinga, 17 November 2009




JAMPE TANAM PADI HUMA DI PAGUNUNGAN JASINGA

DIPIMPIN KU SESEPUH KAMPUNG

Bismillahirrahmanirrahiim

Ngaseuk (Melubangi Tanah untuk menanam bibit)

Bulkukus menyan putih
Pat herang pat lenggang
Pat samaya-maya
Punika ajengan Nabi
Maka wawuh jung aluh
Maka nyerep jung lenyap
Sri kagunggum sri kagenggem
Kagunggum kanu keagungan
Kagenggem kanu karesa
Mahluk papanganing sri manusia
Allahuma ni herang
Allah dat les tanpa wekas


Jampe sawan (memberi mantra pada benih padi)

Nini awan-awan
Aki sawan-sawan
Sawan jampe sawan nu di jampe
Sawan jampe sorangan
Hirup ku Nabi waras ku Allah
Kersaning Allah

Tandur (Tanam padi)

Ashadu sadat bumi
Bumi suci badan suka
Suka-suka ku panarima
Tarima ku ujud ning Allah
La ilaha ilallah
Niat kula ngawinkeun sri ka bumi
La ilahailallah
Muhammadarrasulullah


Sumber : 

Ki Sartam, Barangbang Jasinga
Kalakay Jasinga


PESAN KOKOLOT KAMPUNG URUG

TI ABAH UKAT KAMPUNG URUG :

Mipit kudu amit
Ngala kudu menta
Nyaur kudu di ukur

Kalimat di atas bermakna jika kita menanam padi hingga panen,
maka kita harus minta izin kepada yang kuasa karena Dialah yang memberikan kehidupan, bicara dengan seperlunya dan bicara baik-baik”.

Sifat mahluk
Sifat tangkal cicing
Sifat sato nyaring
Sifat jalma eling

Kalimat di atas bermakna pohon hanya diam, hewan hanya berbunyi (bersuara), manusia adalah mahluk hidup yang di beri akal dari pada yang lainnya dan harus ingat kepada yang Maha Kuasa”.

Kalakay Jasinga, Maret 2007


UPACARA ADAT ZIARAH SALEMBUR

KASEPUHAN ADAT CIPATAT KOLOT 
SUKAJAYA BOGOR

Ziarah salembur merupakan prosesi ritual adat yang diadakan setiap tahun setelah hari raya Idul fitri, yang melibatkan seluruh masyarakat kasepuhan Cipatat Kolot dan sekitarnya. 

Acara tersebut di pimpin langsung oleh ketua adat (Olot) yang bernama Abah Acim.

Sebelum menuju makam keramat, masyarakat kasepuhan berkumpul di rumah (gedong) tempat tinggal Olot dengan menyerahkan berbagai macam makanan seperti nasi uduk, nasi kuning, bakakak ayam, sate kambing, ati ampela , buah-buahan dan ada pula yang menyerahkan uang ataupun rokok serta kemenyan sebagai syarat prosesi ziarah.


Tepat pukul 07.00 pagi, masyarakat berbondong-bondong menuju makam keramat Buyut Cipatat (Eyang Pandita) yang berada tepat di bawah lembah Manapa dengan membawa syarat-syarat ziarah. 

Makam keramat tersebut berada di dalam sebuah bangunan yang ditutupi dengan kain hijau.

Acara dilaksanakan dan dipimpin oleh Olot dengan membaca doa-doa menggunakan bahasa Sunda dan Arab dengan membakar kemenyan, kemudian di susul oleh seorang Ustadz yang membacakan doa Tawasul. 
Setelah doa selesai, masyarakat dipersilahkan untuk menikmati makanan dan minuman yang telah disediakan.

Setelah prosesi Ziarah Salembur di Makam Keramat Buyut Cipatat (Eyang Pandita) selesai, masyarakat Kasepuhan dipersilahkan berziarah ke makam keluarganya masing-masing yang berada di kompleks makam tersebut sekaligus membersihkannya.

Setibanya di rumah Olot, perwakilan masyarakat (kokolot) Kasepuhan Cipatat Kolot berkumpul untuk mengikuti acara pembagian kemenyan dan panglay (sejenis kunyit) untuk dibagikan kepada masyarakat dan berharap mendapatkan berkah dari Yang Maha Kuasa.

Hikmah dari Acara ini yang bisa kita petik adalah masih terpeliharanya tradisi masyarakat Sunda yang masih tersisa dan juga rasa kebersamaan, rasa kegotongroyongan masyarakat Kasepuhan yang patut kita contoh.


KALAKAY JASINGA, 
September 2009



RAMPAK BEDUG DI JASINGA

TRADISI RAMPAK BEDUG DI KAMPUNG MUNCANG DESA SIPAK JASINGA



















MANTRA PIKEUN NGAREPEHKEUN OROK

MANTRA UNTUK BAYI YANG SELALU MENANGIS DI TENGAH MALAM :





Cep hewang cep lenggang
Aya kalong newo-newo
Aya yaksa mentang di lawang
Kukudung geni penjara besi



Mantra ini biasanya dipakai oleh orang tua dahulu terutama kaum ibu-ibu untuk menenangkan anak balita yang menangis di malam hari tanpa sebab. Setelah mantra ini dibacakan, ditiupkan ke dalam gelas yang berisi air putih lalu diminum oleh balita yang menangis dan diusapkan ke muka.




KALAKAY JASINGA

MANTRA JAGA AWAK

MANTRA UNTUK MENJAGA DIRI KITA DALAM PERJALANAN :

Sri putih pangiring hurip
Sri herang sangsiram badan
Bulenget pangeran sakujur badan
Titip kula ka malaikat Ijroil
Nu aya di belah katuhu
Hayang dipangjagakeun, pang rasakeun
Beurang kalawan peuting keur malaekat Ijroil

Sri putih pangiring hurip
Sri herang sangsiram badan
Bulenget pangeran sakujur badan
Titip kula ka malaikat Isrofil
Nu aya di hareup
Hayang dipangjagakeun, pang rasakeun
Beurang kalawan peuting keur malaekat Isrofil

Sri putih pangiring hurip
Sri herang sangsiram badan
Bulenget pangeran sakujur badan
Titip kula ka malaikat Mikail
Nu aya di belah kenca
Hayang dipangjagakeun, pang rasakeun
Beurang kalawan peuting keur malaekat Mikail

Sri putih pangiring hurip
Sri herang sangsiram badan
Bulenget pangeran sakujur badan
Titip kula ka malaikat Jibril
Nu aya di tukang
Hayang dipangjagakeun, pang rasakeun
Beurang kalawan peuting keur malaekat Jibril


Note : Mantra ini digunakan untuk keselamatan dalam bepergian.



BENANG GUGURU TI GUNUNG
BENANG NANYA TI GURIANG

BATU TAPAK TAK LAGI KEBASAHAN PRASASTI CIARUTEUN

"Batu Tapak" Tak Lagi Kebasahan
Mulyawan Karim

Bongkahan batu itu berdiri kokoh di atas landasan semen, di bawah bangunan saung alias cungkup berukuran 7 x 7 meter, yang berdiri tak jauh dari bibir tebing Sungai Ciaruteun di Muara Jaya, Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Itulah batu bertulis yang dikenal sebagai Prasasti Ciaruteun.

Prasasti Ciaruteun adalah salah satu peninggalan sejarah yang menjadi tonggak awal sejarah Indonesia. Dalam buku-buku pelajaran sejarah, Prasasti Ciaruteun selalu disebut sebagai bukti keberadaan Kerajaan Tarumanagara (abad ke-4 sampai abad ke-7), yang bersama Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur merupakan kerajaan Hindu tertua di Nusantara.

Di permukaan batu sebesar anak lembu itu—panjang sekitar 1,6 meter dan tinggi 1,5 meter—terpahat sepasang telapak kaki manusia.

Di sampingnya ada pula pahatan kata-kata Sanskerta yang ditulis dalam huruf Palawa, membentuk puisi empat baris, yang artinya: "Kedua jejak kaki yang seperti telapak kaki Dewa Wisnu ini adalah milik raja dunia yang gagah berani lagi termasyhur, Purnawarman, penguasa Tarumanagara".

Purnawarman, raja ketiga Tarumanagara, yang berkuasa pada tahun 395-434, adalah putra Daryawarman, Raja Tarumanagara sebelumnya.

Setelah dinobatkan, Raja Purnawarman langsung memindahkan ibu kota kerajaan dari Jayasingapura ke tempat yang letaknya lebih ke utara, yang kemudian dinamakan Sundapura. Konon, Jayasingapura itulah tempat yang kini dikenal sebagai Kecamatan Jasinga di Bogor.


Kunjungan anak sekolah

Karena selalu disebut dalam pelajaran sejarah di sekolah, sejak lama banyak warga Jakarta, Bogor, dan sekitarnya yang penasaran ingin melihat sendiri Prasasti Ciaruteun. Apalagi, juga sering disebut, di dekat lokasi prasasti itu, yang oleh warga setempat sering disebut sebagai batu tapak, juga ada batu bertulis lain yang berhias pahatan telapak kaki gajah milik Raja Purnawarman.

Kecamatan Cibungbulang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Bogor. Dengan kendaraan umum atau pribadi, perjalanan ke sana memakan waktu sekitar satu jam, melalui jalan raya menuju Leuwiliang, di sebelah barat Bogor.

Petunjuk jalan menuju situs arkeologi Kampung Muara Jaya bisa ditemui beberapa kilometer selepas Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Darmaga.

Setelah berbelok kanan dan melewati Pasar Ciampea, kita masih harus berbelok ke kiri, ke jalan sempit yang diapit kebun-kebun singkong dan buah-buahan. Di tengah salah satu lahan kebun buah itulah cungkup Prasasti Ciaruteun itu berdiri.

"Tiap hari ada saja yang datang," kata Atma, warga Muara Jaya yang penjaga Prasasti Ciaruteun saat ditemui, pertengahan pekan lalu.

"Mereka datang dari Bogor, Jakarta, dan Bandung. Malah, baru-baru ini ada suami-istri yang datang dari Surabaya. Turis asing pun kadang-kadang ada," kata Atma (53) yang karyawan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, yang wilayah kerjanya mencakup Bogor.

Namun, pengunjung terbanyak adalah pelajar sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) dari berbagai daerah, terutama Bogor, Jakarta, dan Depok. Tiap bulan, rata-rata ada lima rombongan sekolah yang datang. Tiap rombongan yang bisa mencapai 100 siswa lebih datang didampingi para guru.

Kehadiran anak-anak sekolah inilah yang membawa rezeki tambahan bagi Atma. "Kalau ada rombongan, saya bisa dapat uang tips sampai Rp 50.000," kata Atma yang fasih bercerita soal riwayat batu bertulis yang ia jaga.

"Lumayan untuk menambah uang honor yang pas-pasan," ujar petugas yang honorarium resminya sebagai perawat prasasti hanya Rp 200.000 per bulan.


Ditarik ke darat

Saat pertama kali ditemukan pada abad ke-18, Prasasti Ciaruteun berada di dasar Sungai Ciaruteun, anak Sungai Cisadane. Prasasti itu tepatnya ditemukan di dekat tepi selatan Sungai Ciaruteun, sekitar 100 meter dari muaranya di Sungai Citarum.

Seperti bebatuan lain yang terserak di Ciaruteun, prasasti itu pun selalu basah terendam air. Cuma bagian yang bertulis dan pahatan telapak kaki Raja Purnawarman saja selalu kering karena terletak di bagian atas.

Pada bulan Juni 1981, peninggalan sejarah tersebut baru dipindahkan ke darat. Kegiatan pemindahan dilakukan sebuah tim arkeologi dengan biaya dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

"Batu ditarik oleh 20 orang yang dibagi ke dalam dua regu yang bekerja bergantian. Meski sudah dibantu katrol, setiap jam batu hanya bergeser rata-rata lima sentimeter saja," kata Atma, yang mengaku ikut terlibat dalam kegiatan pemindahan, 25 tahun lalu itu.

"Baru setelah sebulan batu seberat delapan ton itu sampai di tempat ini," jelasnya sambil menunjuk batu yang kini berada di sisi utara Ciaruteun, sekitar 100 meter dari lokasinya yang asli.

Pemindahan dilakukan juga agar penjagaan dan perawatannya lebih gampang. "Dulu, batu sering dicoret-coret pengunjung iseng. Anak-anak muda merusak dengan ikut memahatkan di sana dengan paku nama dan tanggal kunjungan mereka," kata Atma sambil menunjuk beberapa pahatan liar yang masih jelas terlihat.

"Di sini lebih aman. Saya bisa lebih gampang mengawasinya setiap hari," kata Atma yang rumahnya terletak cuma beberapa puluh meter dari cungkup Prasasti Ciaruteun alias batu tapak.

Dengan ditariknya ke darat, prasasti tersebut tidak basah lagi. Dan, prasasti itu sekarang lebih mudah dilihat.


KALAKAY JASINGA

ISLAM DAN SUNDA WIWITAN

ISLAM DAN SUNDA WIWITAN


Abad pertama sampai keempat hijriyah merupakan proses awal kedatangan Islam ke Nusantara. Hal ini ditandai antara lain oleh kehadiran para pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak permulaan abad ke-7 Masehi. Proses Islamisasi di tatar Pasundan terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dari kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Pasundan yang menerimanya.

Di kutip dari naskah "Carita Parahiyangan" diceritakan seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah Bratalegawa putra kedua dari Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar yang biasa berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. 

Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, kemudian ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa.

Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda pada tahun 1337 Masehi ini dijadikan titik tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda berasal dari Makah, yang dibawa pedagang (Bratalegawa); dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa bagian Barat, tetapi diperkenalkan juga di daerah pedalaman. 

Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.

Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes, Lebak, Banten yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan. 

Entah sampai kapan kepercayaan kumunitas Sunda Wiwitan ini tetap menjadi kepercayaan yang dianut oleh orang Baduy.

Dasar religi masyarakat Kanekes dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). 

Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahmana, Syiwa, Wisnu, Indra, Yama) menurut masyarakat Baduy, semuanya tunduk kepada Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai).

Menurut masyarakat Kanekes yang menganut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga alam, yaitu:

(1) Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; yaitu tempat bersemayamnya Sang Hyang Keresa di tempat yang paling atas;
(2) Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia, binatang, tumbuhan dan mahluk lainnya; Buana Panca Tengah ini dibagi menurut tingkat kesuciannya:
A. Sasaka Pusaka Buana, dianggap paling suci, hampir sejajar dengan Sasaka Domas atau Salaka Domas. Ini merupakan pusat dunia.
2. Kampung Dalam, Pusat lingkungan Desa Kanekes.
3. Kampung Luar/panamping/penyangga/bumper, Desa Kanekes, jadi pusat Banten
4. Banten, jadi pusat Sunda
5. Tanah Sunda
6. Luar Tanah Sunda

(3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan atau yang disebut dengan Mandala Hiyang tempat bersemayamnya Nyi Pohaci, Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu. Sunan Ambu ini sekarang dijadikan nama bangunan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung (STSI) Buah Batu.

Sang Hyang Karesa menurunkan tujuh Batara di Sasaka Pusaka Buana salah satunya adalah yang tertua, Batara Cikal. Batara Cikal inilah yang menjadi sesembahan masyarakat Kanekes. Sementara itu para Batara lainnya menyebar ke daerah Karang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bongbang, dan Banten.

Aturan Hidup

Masyarakat Karekes dalam kehidupan kesehariannya tidak lepas dari Titahan dan Pamali (Buyut). Atau banyaknya aturan di dalam kehidupan mereka, tidak boleh begini dan begitu.

Pengertian Buyut / Pamali disini ada dua jenis:
1. Buyut Adam Tunggal
Sebutan pamali bagi warga Tangtu —warga kampung dalam.
2. Buyut Nuhun,
Sebutan pamali yang berlaku bagi orang Panamping dan (warga Kanekes Luar).

Pamali / buyut ini mengandung arti:
a. melindungi kasucian dan kamurnian suka manusia.
b. melindungi kamurnian mandala / tempat tinggal.
c. melindungi tradisi.

Buyut / Pamali ini diadakan untuk melindungi Mandala Kaneke karena sejak kerajaan Sunda hancur (1579 M), tidak ada lagi yang melindungi Mandala Kanekes. Kepercayaan terhadap Buyut / Pamali bagi warga Kanekes ini sangatlah tinggi. Bagi warga yang tidak mempercayai adanya Buyut / Pamali, biasanya dikenakan hukuman atau sangsi. Hukuman atau sangsi ini bisa dikeluarkan, dibuang, diasingkan dari lingkungan dengan batas waktu 40 hari. Ritual hukuman ini disebut Panyapuan.

KALAKAY JASINGA




JIRAT HURUF ARAB DARI BUKIT KULANTUNG

Yang Unik Dari Bukit Kulantung

ADA Apa dengan Bukit Kulantung? Jalan raya beraspal yang menghubungkan Jasinga dengan daerah Tenjo, Bogor, memang relatif sepi, termasuk yang melewati Desa Setu, Kecamatan Jasinga. Jarang yang memperhatikan kalau ruas jalan di daerah ini terdapat oleh dua buah bukit yang meski tidak terlalu besar namun tampak gagah dengan hutannya yang cukup lebat. Salah satu bukit ini bernama Kulantung yang bagi pelancong tampak sebagai bukit biasa dan "tidak ada apa-apanya," terutama bagi mereka yang belum pernah mendekatinya.

Memang, Kulantung adalah bukit biasa dengan tumbuhan khas tropis yang rapat, mulai dari semak hingga pepohonan besar. Namun, sekitar 500 meter dari jalan raya - sekali lagi, jarang yang mengetahui - terdapat warisan yang sangat berharga dan penting khususnya dalam khasanah kepurbakalaan masa Islam, yaitu kompleks makam kuna.

Saat ini kompleks makam kuna ini menjadi salah satu tempat yang dianggap keramat sehingga sering didatangi peziarah. Memang, belum diketahui sosok tokoh yang dimakamkan, termasuk asal-usul dan kronologinya. Namun demikian kondisi umum situs cukup terawat karena dijaga oleh seorang juru kunci yang bekerja secara sukarela.

Sang juru kunci menceritakan bahwa jika dikaitkan dengan peninggalan leluhur di sekitar kompleks, selain makam-makam kuna juga terdapat naskah kuna yang ditulis dengan huruf pegon dan berbahasa Jawa. Namun, ternyata isi naskah tidak berkaitan dengan keberadaan gugusan makam kuna ini karena berisi doa dalam tawasul kepada Nabi Muhammad SAW dan keturunannya seperti Fatimah dan Hasan Husen. Yang pasti adalah bahwa gugusan makam kuna - yang menurut arkeolog penting - bukanlah satu-satunya warisan leluhur yang tidak hanya harus dijaga, tetapi yang lebih penting adalah harus "dibaca" makna yang ada di dalamnya.

Yang Unik dan Yang Khas

Meski diceritakan oleh Jurukunci bahwa mulanya jumlah makam kuna yang konon bentuk dan bahannya hampir seragam ini mencapai ratusan, akan tetapi yang terlihat masih lengkap saat ini dapat dihitung dengan jari kita. Melihat kondisinya, masuk akal memang kalau jumlah sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan yang terlihat, terutama karena faktor lingkungan yang merusak dan menimbun gugus makam lainnya. Belum lagi usianya yang sudah mencapai ratusan tahun. Oleh karena itu banyak makam kuna yang hanya memperlihatkan nisannya saja sementara badan makamnya (jirat) sudah tertimbun. Total jika ini dihitung maka keseluruhan makam kuna yang dapat dikenali berjumlah sekitar 50 buah.

Kita tak akan terkejut jika hanya membayangkan keberadaan bentuk makam kuna di sini karena persebaran makam kuna di Indonesia memang sangat banyak dengan berbagai keunikannya. Namun jika diperhatikan secara seksama, ada sesuatu yang lain yang jarang (atau bahkan tidak) ditemukan di tempat lain. Jika di tempat lain keunikan umumnya ada pada bentuk nisannya, maka di tempat ini justru bentuk badan makamnya (jirat) yang sangat unik dan khas.

Secara umum bentuk jirat pada sebagian besar makam adalah sederhana dan dapat dikatakan seragam, yaitu berupa balok batu (tinggi sekitar 10 cm dari muka tanah) yang disusun empat persegi panjang membujur dengan orientasi hampir utara-selatan. Ciri khas dan yang unik adalah adanya lempeng batu dalam posisi horisontal di bagian kaki (selatan). Sedangkan di bagian kepala (utara) berdiri nisan dari batu dalam ukuran yang cukup besar. Sekilas lempeng batu ini tampak seperti nisan yang rebah, dan justru ini adalah salah satu keunikan yang khas.

Masing-masing jirat juga memperlihatkan beberapa hal yang berbeda, terutama dalam hal bentuk lempeng batu tersebut, yang paling tidak memperlihatkan 4 bentuk. Keempat bentuk lempeng batu ini adalah: 1) membulat (setengah lingkaran), 2) segitiga, 3) sisi bergelombang, dan 4) bentuk sisi mematah.

Selain itu, hal lain yang berbeda pada masing-masing jirat juga terletak pada aspek dekoratif. Umumnya, makam kuna di situs ini dipenuhi oleh hiasan yang dibuat dengan teknik ukir pada seluruh bagiannya, kecuali pada beberapa jirat. Namun pada lempengan batu unsur dekoratif selalu hadir, meskipun bentuk hiasannya berbeda-beda. Demikian pula dengan balok batu yang membentuk jirat, jenis hiasan yang diukirkan juga menunjukkan berbagai variasi. Hiasan yang ada pada jirat meliputi geometris dan suluran yang diukirkan cenderung memenuhi bidang yang ada. Cukup menakjubkan memang: bidang yang relatif sempit tidak menghalangi kreatifitas dan ungkapan seni, yang - sekali lagi - unik dan menjadi ciri khas situs Kulantung.

Nisan-nisan yang ada juga memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri, meski terdiri atas dua bentuk dasar, yaitu segi 8 dan pipih. Gambaran variasi bentuk nisan di situs Kulantung adalah sebagai berikut:

Bentuk dasar segi 8 terdiri atas:

- Tipe gada 1: kaki berpelipit, badan melebar ke atas; tanpa pundak; bagian kepala membulat; mahkota juga membulat
- Tipe gada 2: kaki berpelipit; badan melebar ke atas; pundak berprofil lurus; bagian kepala bersegi 8; dan mahkota bertingkat
- Tipe gada 3: kaki berpelipit, badan melebar ke atas; profil pundak melengkung; bagian kepala bersegi 8; dan mahkota bertingkat.
> Bentuk dasar pipih terdiri atas:
- Tipe kipas 1: profil kaki lurus; badan melebar ke atas; tanpa pundak; bagian kepala meruncing bergelombang, tanpa mahkota
- Tipe kipas 2: profil kaki lurus, badan melebar ke atas; tanpa pundak; bagian kepala sisi bergelombang; tanpa mahkota.

Tak Perlu Takut

Makam (kuna) merupakan salah satu indikasi adanya permukiman (kuna) dengan aspek kehidupan yang cukup kompleks. Selain itu, makam kuna juga mengandung berbagai data yang penting untuk menggambarkan masyarakat pendukungnya dimasa lalu. Kandungan data pada makam kuna antara lain meliputi aspek teknologi dan aspek seni. Aspek teknologi paling tidak mencakup pemilihan bahan, cara pengerjaan, pemilihan bentuk dan sebagainya. Aspek seni yang ditunjukkan oleh bentuk dan unsur dekoratif antara lain mencakup jenis dan ragam hias, penempatan, dan makna yang ada di dalamnya.

Pendek kata, jika makam kuna dilihat sebagai sebuah warisan yang tidak hanya harus dilestarikan tetapi juga harus dicari maknanya, maka tidak ada alasan untuk merasa takut pada sosoknya. Banyak aspek yang bisa membawa kita kepada pemahaman makna yang ada pada wujud makam kuna sebagai sebuah warisan. 

Memahami makna untuk belajar mengerti jati diri dan apa yang terjadi di sekeliling kita. Tidak berlebihan sebenarnya jika memang memiliki niat dan mau sedikit mengotak-atik "huruf-huruf" yang ada pada makam kuna agar terbaca dengan lebih jelas. Satu hal lagi: kompleks makam kuna jangan diartikan sebagai pekuburan tempat hantu bergentayangan! 



(Sugeng Riyanto)(Pusat Penelitian Arkeologi/Proyek Pengembangan Media Kebudayaan 2003)