RUPA-RUPA

ISLAM DAN SUNDA WIWITAN

ISLAM DAN SUNDA WIWITAN


Abad pertama sampai keempat hijriyah merupakan proses awal kedatangan Islam ke Nusantara. Hal ini ditandai antara lain oleh kehadiran para pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak permulaan abad ke-7 Masehi. Proses Islamisasi di tatar Pasundan terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dari kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Pasundan yang menerimanya.

Di kutip dari naskah "Carita Parahiyangan" diceritakan seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah Bratalegawa putra kedua dari Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar yang biasa berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. 

Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, kemudian ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa.

Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda pada tahun 1337 Masehi ini dijadikan titik tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda berasal dari Makah, yang dibawa pedagang (Bratalegawa); dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa bagian Barat, tetapi diperkenalkan juga di daerah pedalaman. 

Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.

Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes, Lebak, Banten yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan. 

Entah sampai kapan kepercayaan kumunitas Sunda Wiwitan ini tetap menjadi kepercayaan yang dianut oleh orang Baduy.

Dasar religi masyarakat Kanekes dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). 

Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahmana, Syiwa, Wisnu, Indra, Yama) menurut masyarakat Baduy, semuanya tunduk kepada Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai).

Menurut masyarakat Kanekes yang menganut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga alam, yaitu:

(1) Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; yaitu tempat bersemayamnya Sang Hyang Keresa di tempat yang paling atas;
(2) Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia, binatang, tumbuhan dan mahluk lainnya; Buana Panca Tengah ini dibagi menurut tingkat kesuciannya:
A. Sasaka Pusaka Buana, dianggap paling suci, hampir sejajar dengan Sasaka Domas atau Salaka Domas. Ini merupakan pusat dunia.
2. Kampung Dalam, Pusat lingkungan Desa Kanekes.
3. Kampung Luar/panamping/penyangga/bumper, Desa Kanekes, jadi pusat Banten
4. Banten, jadi pusat Sunda
5. Tanah Sunda
6. Luar Tanah Sunda

(3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan atau yang disebut dengan Mandala Hiyang tempat bersemayamnya Nyi Pohaci, Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu. Sunan Ambu ini sekarang dijadikan nama bangunan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung (STSI) Buah Batu.

Sang Hyang Karesa menurunkan tujuh Batara di Sasaka Pusaka Buana salah satunya adalah yang tertua, Batara Cikal. Batara Cikal inilah yang menjadi sesembahan masyarakat Kanekes. Sementara itu para Batara lainnya menyebar ke daerah Karang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bongbang, dan Banten.

Aturan Hidup

Masyarakat Karekes dalam kehidupan kesehariannya tidak lepas dari Titahan dan Pamali (Buyut). Atau banyaknya aturan di dalam kehidupan mereka, tidak boleh begini dan begitu.

Pengertian Buyut / Pamali disini ada dua jenis:
1. Buyut Adam Tunggal
Sebutan pamali bagi warga Tangtu —warga kampung dalam.
2. Buyut Nuhun,
Sebutan pamali yang berlaku bagi orang Panamping dan (warga Kanekes Luar).

Pamali / buyut ini mengandung arti:
a. melindungi kasucian dan kamurnian suka manusia.
b. melindungi kamurnian mandala / tempat tinggal.
c. melindungi tradisi.

Buyut / Pamali ini diadakan untuk melindungi Mandala Kaneke karena sejak kerajaan Sunda hancur (1579 M), tidak ada lagi yang melindungi Mandala Kanekes. Kepercayaan terhadap Buyut / Pamali bagi warga Kanekes ini sangatlah tinggi. Bagi warga yang tidak mempercayai adanya Buyut / Pamali, biasanya dikenakan hukuman atau sangsi. Hukuman atau sangsi ini bisa dikeluarkan, dibuang, diasingkan dari lingkungan dengan batas waktu 40 hari. Ritual hukuman ini disebut Panyapuan.

KALAKAY JASINGA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar