RUPA-RUPA

BATU TAPAK TAK LAGI KEBASAHAN PRASASTI CIARUTEUN

"Batu Tapak" Tak Lagi Kebasahan
Mulyawan Karim

Bongkahan batu itu berdiri kokoh di atas landasan semen, di bawah bangunan saung alias cungkup berukuran 7 x 7 meter, yang berdiri tak jauh dari bibir tebing Sungai Ciaruteun di Muara Jaya, Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Itulah batu bertulis yang dikenal sebagai Prasasti Ciaruteun.

Prasasti Ciaruteun adalah salah satu peninggalan sejarah yang menjadi tonggak awal sejarah Indonesia. Dalam buku-buku pelajaran sejarah, Prasasti Ciaruteun selalu disebut sebagai bukti keberadaan Kerajaan Tarumanagara (abad ke-4 sampai abad ke-7), yang bersama Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur merupakan kerajaan Hindu tertua di Nusantara.

Di permukaan batu sebesar anak lembu itu—panjang sekitar 1,6 meter dan tinggi 1,5 meter—terpahat sepasang telapak kaki manusia.

Di sampingnya ada pula pahatan kata-kata Sanskerta yang ditulis dalam huruf Palawa, membentuk puisi empat baris, yang artinya: "Kedua jejak kaki yang seperti telapak kaki Dewa Wisnu ini adalah milik raja dunia yang gagah berani lagi termasyhur, Purnawarman, penguasa Tarumanagara".

Purnawarman, raja ketiga Tarumanagara, yang berkuasa pada tahun 395-434, adalah putra Daryawarman, Raja Tarumanagara sebelumnya.

Setelah dinobatkan, Raja Purnawarman langsung memindahkan ibu kota kerajaan dari Jayasingapura ke tempat yang letaknya lebih ke utara, yang kemudian dinamakan Sundapura. Konon, Jayasingapura itulah tempat yang kini dikenal sebagai Kecamatan Jasinga di Bogor.


Kunjungan anak sekolah

Karena selalu disebut dalam pelajaran sejarah di sekolah, sejak lama banyak warga Jakarta, Bogor, dan sekitarnya yang penasaran ingin melihat sendiri Prasasti Ciaruteun. Apalagi, juga sering disebut, di dekat lokasi prasasti itu, yang oleh warga setempat sering disebut sebagai batu tapak, juga ada batu bertulis lain yang berhias pahatan telapak kaki gajah milik Raja Purnawarman.

Kecamatan Cibungbulang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Bogor. Dengan kendaraan umum atau pribadi, perjalanan ke sana memakan waktu sekitar satu jam, melalui jalan raya menuju Leuwiliang, di sebelah barat Bogor.

Petunjuk jalan menuju situs arkeologi Kampung Muara Jaya bisa ditemui beberapa kilometer selepas Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Darmaga.

Setelah berbelok kanan dan melewati Pasar Ciampea, kita masih harus berbelok ke kiri, ke jalan sempit yang diapit kebun-kebun singkong dan buah-buahan. Di tengah salah satu lahan kebun buah itulah cungkup Prasasti Ciaruteun itu berdiri.

"Tiap hari ada saja yang datang," kata Atma, warga Muara Jaya yang penjaga Prasasti Ciaruteun saat ditemui, pertengahan pekan lalu.

"Mereka datang dari Bogor, Jakarta, dan Bandung. Malah, baru-baru ini ada suami-istri yang datang dari Surabaya. Turis asing pun kadang-kadang ada," kata Atma (53) yang karyawan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, yang wilayah kerjanya mencakup Bogor.

Namun, pengunjung terbanyak adalah pelajar sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) dari berbagai daerah, terutama Bogor, Jakarta, dan Depok. Tiap bulan, rata-rata ada lima rombongan sekolah yang datang. Tiap rombongan yang bisa mencapai 100 siswa lebih datang didampingi para guru.

Kehadiran anak-anak sekolah inilah yang membawa rezeki tambahan bagi Atma. "Kalau ada rombongan, saya bisa dapat uang tips sampai Rp 50.000," kata Atma yang fasih bercerita soal riwayat batu bertulis yang ia jaga.

"Lumayan untuk menambah uang honor yang pas-pasan," ujar petugas yang honorarium resminya sebagai perawat prasasti hanya Rp 200.000 per bulan.


Ditarik ke darat

Saat pertama kali ditemukan pada abad ke-18, Prasasti Ciaruteun berada di dasar Sungai Ciaruteun, anak Sungai Cisadane. Prasasti itu tepatnya ditemukan di dekat tepi selatan Sungai Ciaruteun, sekitar 100 meter dari muaranya di Sungai Citarum.

Seperti bebatuan lain yang terserak di Ciaruteun, prasasti itu pun selalu basah terendam air. Cuma bagian yang bertulis dan pahatan telapak kaki Raja Purnawarman saja selalu kering karena terletak di bagian atas.

Pada bulan Juni 1981, peninggalan sejarah tersebut baru dipindahkan ke darat. Kegiatan pemindahan dilakukan sebuah tim arkeologi dengan biaya dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

"Batu ditarik oleh 20 orang yang dibagi ke dalam dua regu yang bekerja bergantian. Meski sudah dibantu katrol, setiap jam batu hanya bergeser rata-rata lima sentimeter saja," kata Atma, yang mengaku ikut terlibat dalam kegiatan pemindahan, 25 tahun lalu itu.

"Baru setelah sebulan batu seberat delapan ton itu sampai di tempat ini," jelasnya sambil menunjuk batu yang kini berada di sisi utara Ciaruteun, sekitar 100 meter dari lokasinya yang asli.

Pemindahan dilakukan juga agar penjagaan dan perawatannya lebih gampang. "Dulu, batu sering dicoret-coret pengunjung iseng. Anak-anak muda merusak dengan ikut memahatkan di sana dengan paku nama dan tanggal kunjungan mereka," kata Atma sambil menunjuk beberapa pahatan liar yang masih jelas terlihat.

"Di sini lebih aman. Saya bisa lebih gampang mengawasinya setiap hari," kata Atma yang rumahnya terletak cuma beberapa puluh meter dari cungkup Prasasti Ciaruteun alias batu tapak.

Dengan ditariknya ke darat, prasasti tersebut tidak basah lagi. Dan, prasasti itu sekarang lebih mudah dilihat.


KALAKAY JASINGA

ISLAM DAN SUNDA WIWITAN

ISLAM DAN SUNDA WIWITAN


Abad pertama sampai keempat hijriyah merupakan proses awal kedatangan Islam ke Nusantara. Hal ini ditandai antara lain oleh kehadiran para pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak permulaan abad ke-7 Masehi. Proses Islamisasi di tatar Pasundan terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dari kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Pasundan yang menerimanya.

Di kutip dari naskah "Carita Parahiyangan" diceritakan seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah Bratalegawa putra kedua dari Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar yang biasa berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. 

Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, kemudian ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa.

Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda pada tahun 1337 Masehi ini dijadikan titik tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda berasal dari Makah, yang dibawa pedagang (Bratalegawa); dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa bagian Barat, tetapi diperkenalkan juga di daerah pedalaman. 

Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.

Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes, Lebak, Banten yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan. 

Entah sampai kapan kepercayaan kumunitas Sunda Wiwitan ini tetap menjadi kepercayaan yang dianut oleh orang Baduy.

Dasar religi masyarakat Kanekes dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). 

Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahmana, Syiwa, Wisnu, Indra, Yama) menurut masyarakat Baduy, semuanya tunduk kepada Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai).

Menurut masyarakat Kanekes yang menganut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga alam, yaitu:

(1) Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; yaitu tempat bersemayamnya Sang Hyang Keresa di tempat yang paling atas;
(2) Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia, binatang, tumbuhan dan mahluk lainnya; Buana Panca Tengah ini dibagi menurut tingkat kesuciannya:
A. Sasaka Pusaka Buana, dianggap paling suci, hampir sejajar dengan Sasaka Domas atau Salaka Domas. Ini merupakan pusat dunia.
2. Kampung Dalam, Pusat lingkungan Desa Kanekes.
3. Kampung Luar/panamping/penyangga/bumper, Desa Kanekes, jadi pusat Banten
4. Banten, jadi pusat Sunda
5. Tanah Sunda
6. Luar Tanah Sunda

(3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan atau yang disebut dengan Mandala Hiyang tempat bersemayamnya Nyi Pohaci, Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu. Sunan Ambu ini sekarang dijadikan nama bangunan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung (STSI) Buah Batu.

Sang Hyang Karesa menurunkan tujuh Batara di Sasaka Pusaka Buana salah satunya adalah yang tertua, Batara Cikal. Batara Cikal inilah yang menjadi sesembahan masyarakat Kanekes. Sementara itu para Batara lainnya menyebar ke daerah Karang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bongbang, dan Banten.

Aturan Hidup

Masyarakat Karekes dalam kehidupan kesehariannya tidak lepas dari Titahan dan Pamali (Buyut). Atau banyaknya aturan di dalam kehidupan mereka, tidak boleh begini dan begitu.

Pengertian Buyut / Pamali disini ada dua jenis:
1. Buyut Adam Tunggal
Sebutan pamali bagi warga Tangtu —warga kampung dalam.
2. Buyut Nuhun,
Sebutan pamali yang berlaku bagi orang Panamping dan (warga Kanekes Luar).

Pamali / buyut ini mengandung arti:
a. melindungi kasucian dan kamurnian suka manusia.
b. melindungi kamurnian mandala / tempat tinggal.
c. melindungi tradisi.

Buyut / Pamali ini diadakan untuk melindungi Mandala Kaneke karena sejak kerajaan Sunda hancur (1579 M), tidak ada lagi yang melindungi Mandala Kanekes. Kepercayaan terhadap Buyut / Pamali bagi warga Kanekes ini sangatlah tinggi. Bagi warga yang tidak mempercayai adanya Buyut / Pamali, biasanya dikenakan hukuman atau sangsi. Hukuman atau sangsi ini bisa dikeluarkan, dibuang, diasingkan dari lingkungan dengan batas waktu 40 hari. Ritual hukuman ini disebut Panyapuan.

KALAKAY JASINGA




JIRAT HURUF ARAB DARI BUKIT KULANTUNG

Yang Unik Dari Bukit Kulantung

ADA Apa dengan Bukit Kulantung? Jalan raya beraspal yang menghubungkan Jasinga dengan daerah Tenjo, Bogor, memang relatif sepi, termasuk yang melewati Desa Setu, Kecamatan Jasinga. Jarang yang memperhatikan kalau ruas jalan di daerah ini terdapat oleh dua buah bukit yang meski tidak terlalu besar namun tampak gagah dengan hutannya yang cukup lebat. Salah satu bukit ini bernama Kulantung yang bagi pelancong tampak sebagai bukit biasa dan "tidak ada apa-apanya," terutama bagi mereka yang belum pernah mendekatinya.

Memang, Kulantung adalah bukit biasa dengan tumbuhan khas tropis yang rapat, mulai dari semak hingga pepohonan besar. Namun, sekitar 500 meter dari jalan raya - sekali lagi, jarang yang mengetahui - terdapat warisan yang sangat berharga dan penting khususnya dalam khasanah kepurbakalaan masa Islam, yaitu kompleks makam kuna.

Saat ini kompleks makam kuna ini menjadi salah satu tempat yang dianggap keramat sehingga sering didatangi peziarah. Memang, belum diketahui sosok tokoh yang dimakamkan, termasuk asal-usul dan kronologinya. Namun demikian kondisi umum situs cukup terawat karena dijaga oleh seorang juru kunci yang bekerja secara sukarela.

Sang juru kunci menceritakan bahwa jika dikaitkan dengan peninggalan leluhur di sekitar kompleks, selain makam-makam kuna juga terdapat naskah kuna yang ditulis dengan huruf pegon dan berbahasa Jawa. Namun, ternyata isi naskah tidak berkaitan dengan keberadaan gugusan makam kuna ini karena berisi doa dalam tawasul kepada Nabi Muhammad SAW dan keturunannya seperti Fatimah dan Hasan Husen. Yang pasti adalah bahwa gugusan makam kuna - yang menurut arkeolog penting - bukanlah satu-satunya warisan leluhur yang tidak hanya harus dijaga, tetapi yang lebih penting adalah harus "dibaca" makna yang ada di dalamnya.

Yang Unik dan Yang Khas

Meski diceritakan oleh Jurukunci bahwa mulanya jumlah makam kuna yang konon bentuk dan bahannya hampir seragam ini mencapai ratusan, akan tetapi yang terlihat masih lengkap saat ini dapat dihitung dengan jari kita. Melihat kondisinya, masuk akal memang kalau jumlah sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan yang terlihat, terutama karena faktor lingkungan yang merusak dan menimbun gugus makam lainnya. Belum lagi usianya yang sudah mencapai ratusan tahun. Oleh karena itu banyak makam kuna yang hanya memperlihatkan nisannya saja sementara badan makamnya (jirat) sudah tertimbun. Total jika ini dihitung maka keseluruhan makam kuna yang dapat dikenali berjumlah sekitar 50 buah.

Kita tak akan terkejut jika hanya membayangkan keberadaan bentuk makam kuna di sini karena persebaran makam kuna di Indonesia memang sangat banyak dengan berbagai keunikannya. Namun jika diperhatikan secara seksama, ada sesuatu yang lain yang jarang (atau bahkan tidak) ditemukan di tempat lain. Jika di tempat lain keunikan umumnya ada pada bentuk nisannya, maka di tempat ini justru bentuk badan makamnya (jirat) yang sangat unik dan khas.

Secara umum bentuk jirat pada sebagian besar makam adalah sederhana dan dapat dikatakan seragam, yaitu berupa balok batu (tinggi sekitar 10 cm dari muka tanah) yang disusun empat persegi panjang membujur dengan orientasi hampir utara-selatan. Ciri khas dan yang unik adalah adanya lempeng batu dalam posisi horisontal di bagian kaki (selatan). Sedangkan di bagian kepala (utara) berdiri nisan dari batu dalam ukuran yang cukup besar. Sekilas lempeng batu ini tampak seperti nisan yang rebah, dan justru ini adalah salah satu keunikan yang khas.

Masing-masing jirat juga memperlihatkan beberapa hal yang berbeda, terutama dalam hal bentuk lempeng batu tersebut, yang paling tidak memperlihatkan 4 bentuk. Keempat bentuk lempeng batu ini adalah: 1) membulat (setengah lingkaran), 2) segitiga, 3) sisi bergelombang, dan 4) bentuk sisi mematah.

Selain itu, hal lain yang berbeda pada masing-masing jirat juga terletak pada aspek dekoratif. Umumnya, makam kuna di situs ini dipenuhi oleh hiasan yang dibuat dengan teknik ukir pada seluruh bagiannya, kecuali pada beberapa jirat. Namun pada lempengan batu unsur dekoratif selalu hadir, meskipun bentuk hiasannya berbeda-beda. Demikian pula dengan balok batu yang membentuk jirat, jenis hiasan yang diukirkan juga menunjukkan berbagai variasi. Hiasan yang ada pada jirat meliputi geometris dan suluran yang diukirkan cenderung memenuhi bidang yang ada. Cukup menakjubkan memang: bidang yang relatif sempit tidak menghalangi kreatifitas dan ungkapan seni, yang - sekali lagi - unik dan menjadi ciri khas situs Kulantung.

Nisan-nisan yang ada juga memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri, meski terdiri atas dua bentuk dasar, yaitu segi 8 dan pipih. Gambaran variasi bentuk nisan di situs Kulantung adalah sebagai berikut:

Bentuk dasar segi 8 terdiri atas:

- Tipe gada 1: kaki berpelipit, badan melebar ke atas; tanpa pundak; bagian kepala membulat; mahkota juga membulat
- Tipe gada 2: kaki berpelipit; badan melebar ke atas; pundak berprofil lurus; bagian kepala bersegi 8; dan mahkota bertingkat
- Tipe gada 3: kaki berpelipit, badan melebar ke atas; profil pundak melengkung; bagian kepala bersegi 8; dan mahkota bertingkat.
> Bentuk dasar pipih terdiri atas:
- Tipe kipas 1: profil kaki lurus; badan melebar ke atas; tanpa pundak; bagian kepala meruncing bergelombang, tanpa mahkota
- Tipe kipas 2: profil kaki lurus, badan melebar ke atas; tanpa pundak; bagian kepala sisi bergelombang; tanpa mahkota.

Tak Perlu Takut

Makam (kuna) merupakan salah satu indikasi adanya permukiman (kuna) dengan aspek kehidupan yang cukup kompleks. Selain itu, makam kuna juga mengandung berbagai data yang penting untuk menggambarkan masyarakat pendukungnya dimasa lalu. Kandungan data pada makam kuna antara lain meliputi aspek teknologi dan aspek seni. Aspek teknologi paling tidak mencakup pemilihan bahan, cara pengerjaan, pemilihan bentuk dan sebagainya. Aspek seni yang ditunjukkan oleh bentuk dan unsur dekoratif antara lain mencakup jenis dan ragam hias, penempatan, dan makna yang ada di dalamnya.

Pendek kata, jika makam kuna dilihat sebagai sebuah warisan yang tidak hanya harus dilestarikan tetapi juga harus dicari maknanya, maka tidak ada alasan untuk merasa takut pada sosoknya. Banyak aspek yang bisa membawa kita kepada pemahaman makna yang ada pada wujud makam kuna sebagai sebuah warisan. 

Memahami makna untuk belajar mengerti jati diri dan apa yang terjadi di sekeliling kita. Tidak berlebihan sebenarnya jika memang memiliki niat dan mau sedikit mengotak-atik "huruf-huruf" yang ada pada makam kuna agar terbaca dengan lebih jelas. Satu hal lagi: kompleks makam kuna jangan diartikan sebagai pekuburan tempat hantu bergentayangan! 



(Sugeng Riyanto)(Pusat Penelitian Arkeologi/Proyek Pengembangan Media Kebudayaan 2003)

ANGKLUNG ALAT MUSIK TRADISIONAL ASLI JAWA BARAT

Angklung: Alat Musik Tradisional Asli Jawa Barat

Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.

Angklung yang tertua di dalam sejarah yang masih ada disebut Angklung Gubrag dibuat di Jasinga, Bogor, Indonesia dan usianya telah mencapai 400 tahun. Sekarang ini, beberapa angklung tersebut disimpan di Museum Sri Baduga, Bandung, Indonesia.

Dengan berjalannya waktu, Angklung bukan hanya dikenal di seluruh Nusantara, tetapi juga merambah ke berbagai negara di Asia. Pada akhir abad ke-20, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang didasarkan pada skala suara diatonik. Setelah itu, angklung telah digunakan di dalam bisnis hiburan sejak alat musik ini dapat dimainkan secara berpadu dengan berbagai macam alat musik lainnya. Pada tahun 1966, Udjo Ngalagena, seorang siswa dari Tuan Daeng Soetigna mengembangkan angklung berdasarkan skala suara alat musik Sunda, yaitu salendro, pelog, dan madenda.

Macam-macam Angklung
 
1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka Badui) digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Angklung ditabuh ketika orang Kanekes menanam padi; ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar ritus padi dan tetap memunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: "Lutung Kasarung", "Yandu Bibi", "Yandu Sala", "Ceuk Arileu", "Oray-orayan", "Dengdang", "Yari Gandang", "Oyong-oyong Bangkong", "Badan Kula", "Kokoloyoran", "Ayun-ayunan", "Pileuleuyan", "Gandrung Manggu", "Rujak Gadung", "Mulung Muncang", "Giler", "Ngaranggeong", "Aceukna", "Marengo", "Salak Sadapur", "Rangda Ngendong", "Celementre", "Keupat Reundang", "Papacangan", dan "Culadi Dengdang".

Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Badui Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan, tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.

Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak tiga buah. Di Kajeroan, kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, Kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu, Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

2. Angklung Dogdog Lojor 

Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah dua buah dogdog lojor dan empat buah angklung besar. Keempat buah angklung ini memunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang. Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: "Bale Agung", "Samping Hideung", "Oleng-oleng Papanganten", "Si Tunggul Kawung", "Adulilang", dan "Adu-aduan". Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

3. Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa Kampung Cipining mengalami musim paceklik.

4. Angklung Badeng

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau ke-17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen belajar agama Islam ke Kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu dua angklung roel, satu angklung kecer, empat angklung indung dan angklung bapa, dua angklung anak, dua buah dogdog, dua buah terbang atau gembyung, serta satu kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain disajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam. Lagu-lagu badeng: "Lailahaileloh", "Ya’ti", "Kasreng", "Yautike", "Lilimbungan", dan "Solaloh".

5. Buncis

Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit, lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.


Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu "cis kacang buncis nyengcle ...". Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung indung, dua angklung ambrug, satu angklung panempas, dua angklung pancer, satu angklung enclok, tiga buah dogdog (satu talingtit, satu panembal, dan satu badublag). Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: "Badud", "Buncis", "Renggong", "Senggot", "Jalantir", "Jangjalik", "Ela-ela", "Mega Beureum". Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.

Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni: angklung buncis (Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan Timur/Ciamis), angklung bungko (Indramayu), angklung gubrag (Bogor), angklung ciusul (Banten), angklung dog dog lojor (Sukabumi), angklung badeng (Malangbong, Garut), dan angklung padaeng yang identik dengan angklung nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.



Kepustakaan
Kurnia, Ganjar. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat.
http://www.angklung-udjo.co.id/sau/angklung.php (20 Maret 2009)