RUPA-RUPA

SUMUR BEUNGBEK CIDURIAN

HALODO PANJANG JEUNG HESE CAI




Sudah lebih dari 3 minggu tidak turun hujan. Berita kekeringan di seluruh daerah Indonesia muncul di tv dan media sosial. Pemerintah berupaya keras dalam menanggulangi kekeringan ini. Bukan hanya itu saja, kebakaran hutan pun menjadi sangat mudah di musim kemarau ini. Semua warga masyarakat kesulitan memperoleh air bersih, karena sumur di rumah mereka telah mengering.

Musim kemarau panjang bukan hal yang aneh sebetulnya bagi masyarakat Jasinga dan sekitarnya. Musim ini memang sejak dahulu kala setiap tahunnya dialami oleh warga selama 6 bulan lamanya. Perbedaannya adalah pada saat ini sungai dan sumur warga lebih cepat surut dibandingkan dengan yang lalu. Belum satu bulan tidak turun hujan, sungai dan sumur menyusut cepat.


Usim halodo dalam bahasa warga sekitar, biasanya juga adanya sedikit perubahan dalam memenuhi kebutuhan air. Seperti contoh disetiap pagi dan sore di sungai Cidurian akan dibanjiri oleh warga baik yang berada disekitar sungai maupun warga yang jauh. Karena sumur-sumur yang berada di rumah masing-masih sudah ada yang kering. Mereka dalam memenuhi kebutuhan air akan selalu beraktifitas di sungai untuk kebutuhan air. 


Aktifitas-aktifitas ini seperti MCK (mandi, cuci, dan kakus), dan kebutuhan stok air bersih. Bagi warga yang cukup jauh, Mereka akan berbondong-bondong ke sungai Cidurian untuk mengambil air dan menyimpannya dirumah. Stok air ini berguna untuk kebutuhan mereka dalam jangka waktu beberapa hari saja, seperti cuci piring, air minum dan lainnya. Sedangkan untuk mandi dan cuci pakaian aktifitas akan selalu di sungai. 

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat Jasinga dan sekitarnya memiliki kebiasaan membuat sumur. Sumur ini dinamakan dengan sumur beungbek. Sumur beungbek ini dibuat di sekitar sungai yang permukaannya sudah tidak dialiri air. Sumur digali di bebatuan dan berpasir baik ditepi maupun di badan sungai. Pembuatan sumur beungbek ini digali dengan kedalaman kurang lebih 50 cm dan diameter kira kira sekitar satu meter. Kegunaan sumur ini adalah untuk memperoleh air bersih dari resapan pasir dan batuan secara langsung dari air sungai yang mengalir di dekatnya. Sumur ini diandalkan oleh warga saat "halodo panjang jeung hese cai" atau dalam bahasa indonesia adalah saat musim kemarau dan susah air. 


KALAKAY JASINGA

IKAN DARI CIDURIAN

IKAN REGIS DARI CIDURIAN



Sudah beberapa hari ini tidak turun hujan. Sepertinya saat ini adalah musim kemarau, walau pun sistem musim sekarang tidak seteratur musim di tahun 90-an. Dua musim pada saat itu, dimulai dari Bulan Maret sampai Agustus adalah musim kemarau. Bulan Maret yang diakhiri dengan huruf "t", masyarakat dulu menganalogikannya dengan "raat" atau "saat" (sama-sama berakhiran huruf t) yang dalam bahasa indonesia berarti reda atau berhenti hujan. Mulai dari September sampai Agustus adalah musim hujan. Bulan September dengan akhiran "ber" kalau masyarakat dulu menganalogikan dengan pertanda hujan yang dalam bahasa Indonesia "ber" berarti turun hujan.

Datangnya musim kemarau, sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jasinga untuk mencari ikan, terutama ikan regis atau genggehek (Mystacholeucus Marginatus). Walau pun bukan hanya musim kemarau saja, akan tetapi ikan regis ini lebih mudah didapat pada saat musim kemarau karena mereka hidup di aliran sungai yang dangkal. Ikan ini akan mudah terlihat karena kilauan sisiknya yang terkena sinar matahari. 

Ikan regis adalah sejenis ikan air tawar yang terdapat banyak sekali di Cidurian dan sungai-sungai lainnya di Jawa Barat. Ukuran ikan ini yang paling besar menurut pengalaman masyarakat adalah sebesar 3 ramo (jari) orang dewasa. Di Cidurian masyarakat mendapatkan ikan ini dengan cara nguseup (memancing) dan ngaheurap (menjala). Ikan ini adalah ikan yang umum didapat oleh masyarakat dan juga menjadi ikan yang digemari karena rasanya yang enak.

Untuk mengolah ikan regis masyarakat Jasinga biasanya di goreng garing, di pais atau bisa juga di cobek. Konon katanya ikan regis ini sangat berkhasiat sekali bagi ibu-ibu yang sedang menyusui agar produksi ASI meningkat. Namun, alangkah disayangkan saat ini untuk mendapatkan ikan regis tidak sebanyak dahulu kala. Kualitas air yang banyak sampah dan debit air yang semakin menurun sangatlah mempengaruhi keberlangsungan habitat ikan ini. Dan yang paling disayangkan adalah adanya sebagian warga menggunakan obat-obatan yang berbahaya bagi lingkungan untuk mendapatkan hasil yang instan. Seperti contoh di sangkaling, di kocok, di bilet dan lain sebagainya menurut bahasa setempat. 

KALAKAY JASINGA
Foto ilustrasi oleh Ayus

BAHASA SUNDA DULU SANGAT EGALITER

BAHASA SUNDA KINI DAN DULU



Hingga tahun 1600-an, orang Sunda sama sekali tidak mengenal undak-usuk (tingkatan) dalam berbahasa. “Pada masa era kerajaan Sunda seperti Pajajaran berjaya, bahasa Sunda adalah bahasa yang sangat egaliter dan demokratis,”ungkap Ajip Rosidi kepada saya dalam sebuah wawancara beberapa waktu yang lalu.

Ungkapan sastrawan Sunda asal Majalengka itu, dipertegas oleh Nina Lubis. Menurut sejarahwan Universitas Padjajaran tersebut, kata-kata Ajip memang bukan dongeng semata. Buktinya, semua naskah yang berasal dari masa Kerajaan Sunda abad ke-16 seperti Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) dan Carita Parahyangan (sekitar 1580) menggunakan bahasa yang sangat egaliter.

“Itu artinya, bahasa Sunda tidak mengenal tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa, yaitu bahasa ngoko (kasar) dan kromo (halus),” tulis Nina Lubis dalam Bahasa Sunda yang Demokratis (Pikiran Rakyat, April 2000).

Dan memang dalam manuskrip-manuskrip Sunda tua serta prasasti-prasasti sebelum abad ke-17, kata-kata dalam bahasa leumeus (halus) memang bisa dikatakan tidak ada. Alih-alih demikian, kata-kata siya (kamu), kawula (saya), beja (berita), dititah (diperintahkan) serta banyak kata yang dikenal hari ini sebagai bagian dari bahasa Sunda kasar justru sering banyak dijumpai di dokumen-dokumen tua tersebut.

Di kalangan penganut agama Sunda Wiwitan (seperti orang-orang Baduy di Banten), penggunaan bahasa Sunda tua ini bahkan terus dilestarikan hingga sekarang. Bahkan saya sempat mengenal salah satu penganut Sunda Wiwitan dari Belanda. Namanya Beni Sastrawidjaya (75), yang menolak keras menggunakan bahasa Sunda versi hari ini. Alasannya sederhana, ”Bahasa yang sekarang dipakai itu bahasa Sunda versi penjajah,” katanya.

Saya sempat terkejut mendengar ungkapan Aki Beni itu. Tapi setelah saya baca dan telisik sana-sini, apa yang dikatakan itu memang benar adanya. Mungkin tak banyak orang Jawa Barat tahu, sekitar 1624-1708, wilayah-wilayah yang sekarang dikenal sebagai Ciamis, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Bandung, Cianjur dan Sukabumi adalah jajahan Kerajaan Mataram.

Saat Mataram menguasai wilayah-wilayah Sunda (meskipun secara tidak langsung, karena kekuasaan di wilayah kabupaten, tetap dipegang oleh elite lokal) tersebut, otomatis kewajiban menggunakan bahasa Jawa (versi Yogya dan Solo) diberlakukan sebagai pengantar resmi dalam urusan-urusan administrasi antara pusat (Keraton Mataram) dengan daerah (kadipaten-kadipaten).

Menurut Nina Lubis, saat itu bahasa Jawa menjadi bahasa yang wajib dikuasai layaknya bahasa Indonesia hari ini. Bahkan saat itu ada anggapan penguasaan atas bahasa ini menjadi ukuran kebangsawanan seorang elite politik. “ Hal ini dapat dibaca dalam surat-surat pribadi ataupun karya sastra atau karya sastra-sejarah yang ditulis oleh elite politik di Tatar Sunda (misalnya babad, wawacan, sajarah, dsb.),” tulis Nina.

Para menak Sunda yang mengabdi kepada Mataram rupanya ingin menerapkan bentuk dominasi psikologis tersebut kepada rakyatnya. Jadilah semua tata cara dan etika Mataram (termasuk feodalisme-nya) berlaku di semua wilayah Priangan. Ini sesuai sekali dengan pendapat pakar Poskolonial asal India, Gayatri Svivak: “Bangsa yang inferior adalah sekumpulan manusia yang tidak percaya diri dan selalu berlindung pada kebesaran kaum yang menjajahnya dengan bersikap seperti layakknya kaum penjajah, ”tulisnya dalam Teori Post Kolonial.

Sejak saat itu bahasa Sunda tua yang egaliter mulai dilamurkan. Untuk memelihara citra dan dominasi mereka terhadap kaum cacah kuricah (rakyat kecil), bahasa dan tulisan Sunda diatur oleh undak usuk basa yang serba rumit sehingga pada awal abad ke-20 bahasa Sunda telah terbentuk dalam kasta-kasta seperti bahasa lemes pisan (halus sekali), lemes(halus), sedeng (sedang), dan kasar (kasar), dan kasar pisan (kasar sekali).

“Pemakaian tingkatan bahasa ini dibedakan karena status sosial, umur, dan hubungan kekerabatan. Bahasa yang halus sekali dipergunakan kepada kaum menak luhur (bangsawan tinggi) dan kepada para pejabat Belanda,” tulis Nina Lubis.

Cianjur merupakan kadipaten yang para menaknya bisa menyerap secara efektif gaya dan watak bahasa Jawa Mataram itu. Begitu efektifnya upaya adopsi lingusitik ini, hingga menyebabkan Cianjur dikenal sebagai pengguna bahasa Sunda paling halus di wilayah Priangan. Ibarat Solo atau Yogyakarta bagi para pengguna bahasa Jawa. Tapi di lain pihak, ini menjadi indikator sejarah bahwa Cianjur adalah kadipaten paling loyal bagi Mataram, kesultanan yang pernah menjajah sebagian wilayah Priangan. (Hendijo)


KR - Kalakay Jasinga
Pernah di Posting di FB 25 Agustus 2014

BATU ARCA RIWAYAT MU KINI

ASA GEUS LILA JASA TEU APRAK-APRAKAN DEUI .. 

Pada tahun 2008 masyarakat Jasinga dan sekitarnya digegerkan oleh batu peninggalan zaman purbakala yang berbentuk seperti kura-kura. Batu ini bukan batu biasa, karena ukurannya yang sangat besar seberat 6 ton. 

Mereka masyarakat Jasinga menyebutnya batu kuya (sunda), seiring berita media masa mengabarkan hilangnya batu yang memiliki diameter 3 meter dan tinggi sekitar 4 meter. 

Seingat kami saat itu adalah di bulan Ramadhan ketika masyarakat menjalankan ibadah puasa, sehingga bagi kami bila bulan Ramadhan tiba, kami teringat kembali dengan Batu Kuya tersebut. Seperti saat ini puasa Ramadhan 1440 H. Bedanya, cuaca puasa saat itu sedang musim panas, atau dalam bahasa sundanya "usim halodo" sedangkan sekarang antara sore dan malam selalu diguyur hujan. 



Pada Tahun 2009, Kalakay Jasinga beberapa kali berkunjung ke Kasepuhan Adat Sihuut Cigudeg dan Cipatat Kolot. Sangat menarik sekali bagi kami hingga pada saat itu kami sering memperbincangkannya disetiap sua. 

Sehingga pada puncaknya kami menghadiri sebuah acara adat yaitu Upacara Adat Ziarah Salembur. Ziarah Salembur merupakan prosesi ritual adat yang diadakan setiap tahun setelah hari raya Idul Fitri. Kami teringat dengan ucapan Abah Sahim. 

"Hiji deui Batu Kuya aya di Sajira duka mun di Sajira bakal leungit deui, bakal kumaha?" 

Pada Tahun 2011, expedisi Kalakay Jasinga ke batu Arca Cigudeg. Batu ini berada di Kampung Dukuh Cigudeg. Dengan melewati jalur Lawang Taji ke arah Lembur Prayoga kami dengan penuh semangat disajikan dengan pemandangan luar biasa indahnya sebuah pedesaan dan perbukitan. 

Disini kami bisa melihat Gunung Pangradin dari jauh dari arah utara pangradin. Jalan menanjak lembur Prayoga lalu melewati ladang-ladang warga. Setelah itu kami memasuki sebuah kampung. Ketika kami memasuki kampung tersebut, kami tidak menemukan satu orang pun, bahkan rumah-rumah layaknya sebuah kampung. 

Lalu kami pun bertanya-tanya dalam hati, dimanakan kampung itu? Kebetulan ada seorang warga yang lewat kami pun menanyakan kepadanya. Ternyata kampung tersebut adalah sebuah kampung yang sudah tidak berpenghuni, semua warga pindah ke lokasi sebrang, katanya. 

Kami pun meneruskan perjalanan, ke arah kampung tersebut. Hanya beberapa pondasi tua dan beberapa bekas berpenghuni sisa-sisa dari peradaban kecil dimana pasti ada cerita-cerita waktu itu. Entah itu cerita masa kecil, cerita masa duka ataupun cerita masa suka warga tersebut. 



Tak jauh setelah melewati sepetak ladang singkong, kami menemukan rumah reot dan tua. kami pun penasaran mendekati rumah siapakah gerangan?

Setelah mengucapkan salam kepada rumah tersebut, keluarlah seorang kakek tua. Beliau sangat ramah sekali, seolah-olah seorang kekek yang ketemu cucu kesayangannya. 

Dengan sebuah tongkat Aki Niman berjalan keluar dan duduk di kursi besi tua di depan rumah. Kami pun berbincang-bincang dengan beliau dan menanyakan lokasi batu arca yang berada di lokasi ini. Saat itu kami sebenarnya sudah putus asa mencari lokasi batu arca karena waktu sudah akan gelap. 


Setelah Aki Niman menjelaskan kepada kami lokasi batu arca yang sedang kami cari, kami pun sesegera mungkin ke lokasi tujuan. Batu Arca ini adalah sebuah batu kali yang memiliki panjang sekitar dua meter berbentuk seperti wanita yang berdiri dan tangan berdekap. Posisi terbaring miring. 

Menurut Aki Niman, batu arca ini dulu posisinya berdiri, dikarenakan patah, kini posisi batu tersebut terbaring miring. 

Cerita tentang batu ini pun diutarakan oleh Aki Niman, terutama tentang orang-orang yang melakukan kunjungan ke batu arca ini. 

Tiba dilokasi, kami memandang sekitar lokasi. Lembah ini dialiri oleh sebuah sungai kecil yang jernih. Batu itu berada di tengah sungai dan terbaring miring, berada dibalik sebuah batu besar. 

Jika dilihat sepintas, batu ini tidak akan terlihat. Kami harus menaiki batu besar itu terlebih dahulu. Kami membayangkan peradaban masa lalu disini mungkin, mungkin seperti sebuah taman dan tempat peribadatan. 

Dan saat ini, di bulan puasa Ramadhan 1440 H ini, kami teringat dengan perkataan Aki Niman mungkin Batu Arca itu sekarang sudah hilang. 

Wallahualam ...


KALAKAY JASINGA


KAMUS SUNDA JONATHAN RIGG DI AMERIKA

KAMUS BAHASA SUNDA 1862



Kamus bahasa sunda yang berjudul "A Dictionary Of The Sunda Language Of Java" ini disusun oleh seorang kebangsaan Inggris yang bernama Jonathan Rigg di Jasinga, pada tanggal 5 Agustus 1862 berbahasa Inggris. Kamus ini memiliki 537 halaman dengan panjang 20,2 cm dan lebar 12,4 cm merupakan bahasa asli Sunda Banten. Tertulis di halaman muka bahwa beliau adalah seorang anggota The Batavian Society Of Art and Science

Pada saat diterimanya kamus ini, tertulis dibelakang buku bahwa kamus ini sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya yang penting di Musium Scholars Amerika. Buku yang kami terima merupakan  kopian dari naskah aslinya yang tersimpan. Ada dua macam cetakan yaitu soft copy dan hard copy. Cetakan soft copy bergambar disebuah dermaga zaman dahulu kala, sedangkan yang ada ditangan kami adalah hard copy yang tidak bergambar. Di halaman muka sepertinya tertuliskan tanggal pembelian kamus tersebut 2 Februari 1928. Nama yang tertulis tidak begitu jelas. Di halaman muka juga terdapat cetakan kecil bertuliskan bahasa belanda.

Salah satu contoh kata bahasa sunda yang terdapat dikamus ini adalah nista; yang merupakan tanda peringatan. Biasanya kata nista ini diikuti oleh kata lain yaitu maja dan utama. Tiga kata tahapan peringatan, yaitu nista sebagai peringatan pertama maja sebagai peringatan kedua dan utama sebagai peringatan terakhir. Kata-kata tersebut pada tahun 90-an masih sering digunakan oleh pemuda-pemudi Jasinga sebagai kata-kata tren dalam pergaulan. Biasanya juga kata-kata tersebut dibarengi oleh guyonan atau sebagai bumbu candaan. Sebagai contoh sebagai peringatan kepada salah satu teman yang tidak mau mengembalikan buku miliknya " Kadieukeun buku kami, mun henteu dibalikeun rek ditampiling! " lalu orang tersebut akan menghitung dengan nista, maja, dan yang terakhir utama. Maka jika teman tersebut tidak mengembalikan bukunya, sebagai akibatnya dia akan menamparnya.

Ada beberapa kata-kata yang menunjukkan nama sebuah tempat di Jasinga dan sekitarnya. Mandala Giri adalah sebuah nama gunung di Jasinga yang biasa disebut Gunung Gede Jasinga yang mana saat ini kemungkinan besar adalah Gunung Pangradin. Jaga Baya adalah nama sebuah kampung di Parung Panjang. Situ Hyang adalah nama sebuah danau kecil yang berada di Bolang. Dan nama-nama lain yang cukup menarik untuk dikaji.

Yang menarik di dalam kamus ini juga menyebutkan berbagai jenis padi pada masa itu. Terdapat 150 padi humah dan 45 jenis padi sawah yang tersebar di jasinga dan sekitarnya hingga menghabiskan 5 halaman kamus ini. Jumlah padi humah lebih banyak dibandingkan dengan jenis padi sawah. Nama-nama padi sawah terdapat itu diantaranya adalah angsana baheula, angsana leutik, banteng, beureum gede, chere bogor, chere pichung, chokrom, gajah menur, gimbal, grogol, kemuning, ketan bebek, madura, mataram, sisit naga, dan lainnya. Nama-nama padi humah diantaranya adalah ambon, badigal, batu, beunteur, beureum kapundung, beureum randa, beureum sereh, buntut ajag, chandana, chere malati, chokrom, gajah pulen, hapit, kadaka, jampang, ketan asmara, ketan ruyung, lilitan, menteng, molog, sabagi, salak gading, wahangan, wasiyat, dan lainnya.

Isi dari sampul belakang : "This work has been selected by scholars as being culturally important, and is part of the knowledge base of civilization as we know it. This work was reproduced from the original artifact, ... ". 

Pembeli kamus tersebut sepertinya pemerhati bahasa sunda, karena terdapat coretan-coretan untuk mengoreksi atau pun menambahkan isi kamus, contohnya bala menjadi balad, be'ng b'eng menjadi be'be'ng, be'wuk menjadi buwe'k, ge'golak menjadi ngagolak, harrarangge menjadi sirarangge, pupu menjadi mupu, kunchianak menjadi kuntilanak masing menjadi masing-masing dan sebagainya.

Dalam penyusunan kamus bahasa sunda ini Jonathan Rigg menyebutkan di akhir prakata bahwa beliau dibantu oleh Demang Jasinga, Raden Nata Wireja. Disebutkan juga bahwa beliau sering mendengarkan tukang pantun yang bernama Ki Gembang.

AN - Kalakay Jasinga













KOLABURASI GAMELAN TOPENG DAN KARINDING KALAKAY JASINGA

Kenduri Cinta yang bertemakan Neither Nor yang bisa diartikan tidak memihak ditengah keberlangsungan pro atau kontra, ketidak memaksakan antara memilih A atau B dan untuk memposisikan diri mampu melihat kejernihan dari setiap pilihan yang mengakibatkan adanya resiko untuk menjadi tidak terkenal atau malah dianggap tidak tau apa-apa. Begitulah kira-kira artian bebas yang ditangkap dari acara tersebut. Pada awal mula acara hadirin sekalian dipersilahkan untuk membacakan fatehah untuk para korban penembakan brutal di Selandia Baru.

Diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki pada hari Jumat, 15 Maret 2019 yang diadakan sebulan sekali. Acara tersebut dimeriahkan oleh Maestro Tari Topeng Losari Cirebon, Rampak Tari Topeng Kelana, Kolaburasi Gamelan Topeng & Karinding Kalakay Jasinga, Seniman Jalanan dan Emha Ainun Najib (Cak Nun). Untuk pertama kalinya kami berkolaburasi dengan Gamelan Topeng di Panggung Kenduri Cinta Ini.

Dihari itu rombongan Karinding Kalakay Jasinga berangkat dari jasinga Pukul 09.00 WIB. Karinding kami bawa lengkap dan membawa beberapa gabah padi untuk sedikit menghiasi panggung. Dari Jasinga naik bis menuju Stasiun KRL Tenjo, di Jakarta kami turun di Cikini setelah transit di Manggarai. Setiba di Taman Ismail Marzuki hujan pun tiba namun tidak lama.