RUPA-RUPA

SULING BUHUN JASINGA

Suling buhun jasinga adalah salah satu jenis suling yang berada di Jasinga yang saat ini sangatlah langka ditemukan. 

    Tidak banyak referensi-referensi tentang suling ini yang diceritakan oleh kokolot, sehingga kami mengalami kesulitan untuk menggali informasi peri hal tentang suling jenis ini. Seperti halnya dalam percarian kami, wilayah utara Jasinga (kaler) kerap kali dihubungkan dengan wilayah kesenian. 

     Mungkin benarlah demikian yang menurut kokolot, dikabarkan bahwa dahulu kala wilayah kaler jasinga tersebut terkenal dengan daerah dengan jiwa-jiwa seni. Seperti yang telah kami posting sebelumnya “Alat musik tradisional Elet atau Taleot/Toleat”, informasi tentang Suling Buhun Jasinga kami dapatkan dari Bapak Sarmani yang beralamat di Kampung Ciangkrih Desa Cikopomayak Kecamatan Jasinga. 

     Diceritakan oleh beliau kepada kami pada tahun 2015, bahwa Suling Buhun Jasinga ini berbeda dengan suling sunda pada umumnya yang sering digunakan untuk kacapian atau degung karawitan. 

     Untuk jenis suling kecapian atau untuk degung karawitan, orang jasinga menyebutnya dengan suling degung atau suling pancasan (dinamakan pancasan karena dibuat di daerah Pancasan, Bogor). Kedua jenis suling tersebut di Jasinga tepatnya di Cikopomayak dan Bagoang masih dibuat walau pun hanya beberapa orang saja yang masih bisa membuatnya.

Bahan yang digunakan untuk membuat suling buhun jasinga ini adalah terbuat dari jenis awi tamiyang (bambu tamiyang) atau dalam bahasa Latin Schizostachyum Blumei

    Bambu jenis tamiyang ini terdapat di daerah Kampung Karawang yang termasuk dalam wilayah Desa Cikopomayak Kecamatan Jasinga. Bambu ini berada di kebun bambu yang berada di tepi sungai kecil dan masih dianggap angker  keberadaannya, untuk mengambilnya pun harus mengikuti tradisi leluhur yaitu membaca doa terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan memainkan suling berupa lagu Kawih Kidung Rahayu atau Buah Kawung.

Ukuran suling buhun jasinga ini relatif, tergantung besar kecilnya ukuran yang diinginkan. Cara pembuatannya mengikuti cara penghitungan tradisional (bukan ukuran matematis); pertama-tama adalah mengukur lingkar diameter bambu dengan tali, bila didapatkan panjang dari diameter  tersebut, penghitungan dimulai dari ujung pangkal peniup tepatnya di lubang pembuangan hingga ujung bawah diukur dengan panjang tali diameter,  hingga 7,5 lipat panjang diameter dan diberi titik pada titik ke 3 dan 4 ( dibuat untuk 3 lubang), 5 dan 6 (untuk 3 lubang), jika tepat mengukurnya maka suara yang didapat tidak akan sumbang atau dengan istilah “Silung”.


  Nada yang dihasilkan oleh suling buhun jasinga ini berupa laras salendro, pelog dan madenda. Akan tetapi pemain suling pada waktu itu tidak mengetahui nama-nama laras tersebut, yang terpenting bagi mereka adalah bisa memainkan lagu atau kawih sunda. 

   Tali pengikatnya atau disebut dengan sewer menggunakan daun baralak (daun kelapa yang agak kering), menurut orang tua dahulu daun  baralak  yang bagus yaitu dari daun kelapa yang telah tersambar petir.

Data pemain suling buhun yang mahir pada waktu itu (sekitar awal tahun 1970-an) adalah Bapak Mardan, Bapak Sarudin dan Bapak Sarmani dari Desa Bagoang, Jasinga.  

    Mereka meyakini bahwa jika ingin pandai dan mahir memainkan suling harus berziarah terlebih dahulu ke Makam Buyut Satir yang berada di dekat pesawahan Bagoang.  

Menurut penuturan narasumber, Buyut Satir adalah seorang seniman dan juga memiliki kesaktian. Lagu atau kawih yang sering dimainkan para pemain suling ini berupa lagu-lagu klasik seperti Buah Kawung, Mangle, Polostomo, Gaya-gaya, Sorban Palid, Uwa atau pada saat sekarang ini yang populer adalah kawih Talak Tilu.



Dari Kami 
Kalakay Jasinga





ALAT MUSIK TRADISIONAL BAMBU ELET ATAU TALEOT/TOLEAT


Elet atau Taleot/Toleat termasuk alat musik tradisional langka yang terbuat dari bahan bambu, karena jarang sekali ditemukan apalagi dijual untuk umum.  Alat musik ini berada di daerah tertentu di wilayah Sunda Banten seperti  Pandeglang dan Lebak (Rangkasbitung).  

Elet masih ditemukan di daerah Jasinga (Bogor Barat) sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah Banten yaitu di Desa Cikopomayak dan Bagoang. 

Penelusuran kami tentang alat musik ini awal mulanya sangat sulit ditemukan keberadaannya, yang pada akhirnya kami menemukan di Desa Bagoang dan Desa Cikopomayak. Bapak Sita di Desa Bagoang dan Bapak Sarmani di Desa Cikopomayak yang masing-masing masih menyimpan alat musik ini. 

Ketika kami nyaba ke rumahnya, beliau-beliau pun sangat senang dan memperagakan bagaimana alat musik ini dimainkan diiringi candaan-candaan dan kisah masa lalunya. 

Elet terbuat dari bahan ujung bambu, dari jenis bambu tali yang berukuran kecil berdiameter  kurang lebih 2 cm dan panjangnya 20 cm. Elet mempunyai lima buah lubang untuk penjarian, ujung bambu bagian atas disumbat dengan kayu ambon dan diberi lubang peniup,  sedangkan ujung bagian bawah yang berupa batas buku bambu dilubangi sebagai lubang udara keluar.  


Elet mempunyai nada tradisional sunda  berupa laras salendro.  Cara meniup tradisionalnya  dengan cara “ngalamus” yaitu meniup tanpa putus walaupun sedang bernafas. Berlatih  dengan tehnik "ngalamus" ini sangatlah sulit sekali dan memerlukan waktu latihan yang cukup lama untuk bisa memainkannya dengan normal.  

Lagu yang biasa  dimainkan oleh pemain Elet  Jasinga terutama di Desa Cikopomayak dan Bagoang ini adalah berjudul Buah Kawung dan kami pun terkesan ketika beliau-beliau ini memainkannya.

Menurut Bapak Sita dan Bapak Sarmani, dahulu Elet berfungsi untuk menghibur diri dan dimainkan secara individu, dimainkan oleh penggembala kerbau atau mereka yang sedang mengisi waktu kosong di kebun atau di sawah. 

Elet yang merupakan alat musik tradisional dengan bahasa universalnya menjadikan pe-er bagi kita semua terutama masyarakat Jasinga dan sekitarnya untuk dapat melestarikannya.  



Dari kami 
Kalakay Jasinga 

TAMAN MAKAM PAHLAWAN SYUHADA JASINGA

Taman Makam Pahlawan Syuhada Jasinga berlokasi di Jl. Makam Pahlawan, Blok Cidangiang, Kelurahan  Jasinga Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. 

Area ini merupakan tanah hibah dari Alm, Bpk. Asep Mujtaba (Mbah Asep) yang pada saat itu beliau menjabat sebagai ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) di Distrik Jasinga, yang kemudian menjabat sebagai wedana jasinga pada awal tahun 1946 menggantikan KH Abdul Muhyi (Parung Sapi) yang telah wafat.

Para pahlawan yang dimakamkan di area TMP Syuhada adalah para putra Jasinga yang gugur dalam pertempuran melawan tentara sekutu. 



Dalam sejarahnya diceritakan bahwa pada tanggal 6 Desember 1945, terjadi perang antara pasukan sekutu dengan pasukan pemuda yang tergabung dalam Pasukan Sabilillah di Loji Sindang Barang. Pasukan ini merupakan gabungan dari para pemuda yang berasal dari beberapa daerah yaitu: Rangkasbitung, Jasinga, Cigudeg dan Darmaga.

Pada saat itu para Pejuang Sabilillah yang dipimpin oleh KH.Mukri dan KH. Mad Ali dari Koleang sedang beristirahat di Gedung Polmak untuk menunggu waktu malam sambil mengatur siasat penyerangan. 

Namun pada saat itu tiba-tiba musuh datang dengan keandaraan lapis baja yang dilengkapi senjata otomatis, serta kendaraan truk besar yang membawa Pasukan Gurkha (tentara sewaan sekutu yang berasal dari India dan Pakistan ) mereka menyerang dari arah kebun karet (PKKB) dan mereka bertempur dengan Pasukan Sabilillah.

Terjadi pertempuran sengit pada waktu itu, walaupun hanya bersenjatakan golok, bambu runcing dan bedil locok, Pasukan Sabilillah terus melakukan perlawanan. 

Hingga pada akhirnya 43 pejuang gugur dalam pertempuran tersebut. 30 orang diantarnya adalah putra Jasinga, 28 orang gugur pada saat peperangan dan 2 orang luka berat (kemudian gugur). 30 orang itulah yang dimakamkan di TMP Syuhada Jasinga. 

Dalam ceritanya disebutkan pula bahwa sebelum dimakamkan, jenazah-jenazah para pahlawan tersebut dibaringkan di Pendopo Kewadanaan Jasinga yang pada waktu itu berfungsi sebagai Kantor Bupati Bogor Sementara. 

Ada sebagian makam pejuang yang dipindahkan oleh pihak keluarga, sehingga dari 30 makam hanya tersisa 21 makam lagi.


Kalakay Jasinga



MAKAM TUA KAMPUNG BARANGBANG KI BUYUT SAMPIR

SALAH SATU MAKAM-MAKAM TUA DI JASINGA


Kampung Barangbang Desa Wirajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat terletak di koordinat 6°30'6"S   106°24'40"E sebelah Barat Kecamatan Jasinga berbatasan dengan Propinsi Banten. 

Lokasi makam tua Barangbang tidak jauh dari Kampung Barangbang Jalan (Girang) Jasinga, kira-kira 500 meter masuk ke dalam area perkebunan dan kebun rakyat. 


Dalam kamus Jonathan Righ "A Dictionary Of The Sunda Language Of Java" disebutkan bahwa  Barangbang berarti daun kelapa atau daun pinang yang mengering dan berwarna merah lalu jatuh ke tanah. 

Di dalam kompleks makam yang dinaungi pohon-pohon tinggi dan besar terdapat beberapa batu nisan dengan bentuk seperti gada dan pipih dengan berbagai macam motif atau ukiran. 

Tinggi nisan bervariasi dari 30 cm hingga 70 cm dengan kondisi sebagian telah rusak karena faktor alam dan kerbau digembalakan melintasi kompleks makam. 

Menurut salah satu sesepuh kampung Barangbang Girang, Aki Sartam, diantara batu nisan tersebut terdapat makam tokoh ulama yang bernama Ki Buyut Sampir yang konon beliau adalah murid Syeh Mansur Cikadueun (Pandeglang Banten) karena kala itu wilayah Jasinga masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banten.

Dahulu sekitar 100 meter dari kompleks makam terdapat sebuah kampung bernama Barangbang yg dialiri sebuah sungai tetapi sejak kurun tahun 1970-1980-an perlahan-lahan penduduk mulai pindah ke dekat jalan raya (Girang).




- KALAKAY JASINGA -

Beunang Guguru ka Gunung, Beunang Nanya ti Guriang

SEKILAS TENTANG EMBAH MUHIDIN PARUNG SAPI JASINGA





Embah Muhidin atau Syeikh Kamil Muhyidin adalah seorang ulama pada akhir abad – 19.  Menurut penuturan dari beberapa keturunannya yang masih mengelola pondok pesantren, Embah Muhidin berasal dari “Banten”. Diceritakan pula bahwa Ki Abidin seseorang yang berasal dari sebuah kampung di sebelah timur Jasinga merantau ke Banten dan bertemu dengan beliau di sana.

Embah Muhidin or Syeikh Kamil Muhyiddin was a scholar at the end of the 19th century. According to the accounts of some of his descendants who still manage the boarding school, Mbah Muhidin came from Banten. It is also told that Ki Abidin, a person from a village to the east of Jasinga, migrated to Banten and met him (Embah Muhidin) there.

Embah Muhidin pada waktu itu tinggal di Banten dan sempat belajar ilmu Agama dari ulama terkemuka Syeikh Nawawi Al Bantani (sewaktu beliau di Mekkah). Setelah sekian lama bersama Embah Muhidin, kemudian Ki Abidin menikah dengan Maimunah,  kakak tertua Embah Muhidin.

At that time, Embah Muhidin lived in Banten and had studied religion from the leading scholar, Syeikh Nawawi Al Bantani when he was in Mecca. After a long time Ki Abidin with Embah Muhidin, then Ki Abidin married Maimunah, Embah Muhidin elder's sister.

Selanjutnya Ki Abidin mengajak beliau ke daerah Jasinga dalam upaya dakwah dan syiar Islam. Ki Abidin berharap agar masyarakat Jasinga dapat mengkaji agama Islam. Beliau tidak menolak ajakan itu, dan pindah ke Jasinga bersama sanak keluarganya. Setibanya di Jasinga, Embah Muhidin dan kerabatnya diberi sebidang tanah oleh Ki Abidin untuk dijadikan pondok pesantren. Lalu beliau pun mendirikan sebuah pondok pesantren di tanah tersebut.

Next Ki Abidin invited him to the Jasinga area in an effort preach and syiar islam. Ki Abidin hope that people of Jasinga can study Islam. He did not refused the invitation, and moved to Jasinga with  his relatives. Upon arrival in Jasinga, Embah Muhidin and his relatives were given a plot of land by Ki Abidin to be used as a boarding school. Then he also founded a boarding school on the land.

Dengan berbekal ilmu Tauhid, fikih, tafsir dan tasawuf yang beliau kuasai, beliau mengajarkan kepada santrinya ilmu – ilmu keagamaan. Setelah berkembang, banyak rumah – rumah yang dibangun disekitar pesantren dan kemudian menjadi sebuah kampung yang sampai sekarang bernama kampung Parung Sapi. Pada waktu itu penduduk Parung Sapi hidup mengikuti tradisi – tradisi pesantren dan mungkin karena itu pula lah daerah tersebut dinamakan Parung Sapi Kaum.

Armed with those knowledge tauhid, fiqih, tafsir, and sufism that he mastered he tought his students the religious sciences. After developing, many houses were built around the pesantren and later became a kampong which untill now is called a Kampong Parung Sapi. At that time the people of Parung Sapi lived according to the tradition of the pesantren and perhap that's why the area was also called Parung Sapi Kaum.

Embah Muhidin menjadi tempat rujukan masyarakat Jasinga dan sekitarnya yang ingin belajar dan mendalami islam. Mereka datang secara rutin untuk mendapatkan wejangan atau nasehat – nasehat agama untuk dijadikan pedoman hidup. Setelah Embah Muhidin wafat pada tahun 1933, pengelolaan pesantren dilanjutkan oleh putranya KH. Abdul Muhyi. Di ceritakan KH. Abdul Muhyi adalah salah seorang putra Embah Muhidin yang pernah belajar di Sukabumi dan sempat pula menjadi Wedana Jasinga pada tahun 1945.

Embah Muhidin is a place of reference for the people of Jasinga and it's surroundings who want to study and deepen Islam. They come regularly and to get religious advise or advise to be used as a guide for life. After Embah Muhidin died in 1933, the management of the pesantren was continued by his son KH. Abdul Muhyi. It is said that KH. Abdul Muhyi was one of the sons of Embah Muhidin who had studied in Sukabumi and also became Wedana Jasinga in 1945.


KOMPLEK PEMAKAMAN 
FUNERAL AREA

Komplek pemakaman  Embah Muhidin terletak di kampung Parung Sapi Desa Kalong Sawah Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Dalam komplek makam Embah Muhidin terdapat beberapa makam kelurganya, diantaranya makam Hj. Ratna {istri beliau}, Hj.Permas {Putri beliau}, dan makam KH Abdul Muhyi.

The Embah Muhidin funeral area is located in the kampong of Parung Sapi, Kalong Sawah village, Jasinga district, Bogor regency. In the tomb complex of Embah Muhidin, there are several graves of his family, including the tomb of Hj. Ratna {wife}, Hj. Permas {doughter}, and the grave of KH. Abdul Muhyi.

Sedangkan diluar komplek terdapat beberapa makam diantaranya makam Embah Ubang yang tiada lain adalah ayah dari Embah Muhidin dan istrinya, makam Maemunah {kakak perempuan beliau} dan makam Ki Abidin {kakak Ipar beliau}. Setiap malam jum’at para peziarah datang dari berbagai pelosok Jasinga bahkan dari luar Jasinga untuk menziarahi makam beliau. Adapun kakak kandung Embah Muhidin yang bernama Sulaeman dimakamkan di kampung Tipar Desa Argapura Kecamatan Cigudeg.

Meanwhile, outside the complex there are several graves including the tomb of Embah Ubang, the father of Embah Muhidin and his wife, the tomb of Maemunah {his elder sister} and the tomb of Ki Abidin {his brother in law}. Every friday night pilgrims come from all over Jasinga and even from outside Jasinga to visit his grave. Embah Muhidin's older brother named Sulaeman was buried in kampong Tipar, Argapura village, Cigudeg district.


SILSILAH EMBAH MUHIDIN

THE LINIAGE OF EMBAH MUHIDIN

Embah Muhidin adalah keturunan ulama – ulama Banten. Beliau adalah putra Embah Ubang putra dari Nyimas Uji (yang diperistri oleh Tumenggung Purba dari Sumedang), sedangkan Nyimas Uji adalah putri syeikh Zaenul Asyikin putra dari Syeikh Syifa Zaenul Arifin, putra Syeikh Zaenul Abidin, Putra Sultan Haji Mansur. Sampai pada Sultan Haji Mansur silsilah yang di ketahui keturunannya.

Embah Muhidin is a descendant of ulama-ulama Banten. He is the son of Embah Ubang, the son of Nyimas Uji (who was married to Tumenggung Purba from Sumedang), while Nyimas Uji is the doughter of Syeikh Zaenul Asyikin, the son of Syeikh Syifa Zaenul Arifin, son of Syeikh Zaenul Abidin, son of Sultan Haji Mansur. Until Sultan Haji Mansur, the liniage of his descendants is known.

Jika ditelusuri silsilah tersebut merupakan garis keturunan sultan Banten, hanya saja oleh keturunannya diberi gelar Syeikh. Dari referensi lain garis keturunan Embah Muhidin itu bila di telusuri sampai pada Raja Padjadjaran Sri Baduga Maharaja Siliwangi dari putrinya Rara Santang bukan dari keturunan Pangeran Walangsungsang.

If traced this liniage is the liniage of the sultan of Banten, it's just that the descendants were given the title Syeikh. From other references, the liniage of Embah Muhidin can be traced back to King Padjadjaran Sri Baduga Maharaja Siliwangi from his doughter Rara Santang, not from the descendants Prince Walangsungsang.

Bila diruntut hierarki keturunannya bisa digambarkan sebagai berikut :

Sequenced a hierarchy of descendants can be described as follows : 

SILSILAH EMBAH MUHIDIN SAMPAI SRI BADUGA MAHARAJA SILIWANGI




 
SriBaduga Maharaja Siliwangi 

Rara Santang / Syarifah Mudaim


Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah
Sultan Maulana Hasanuddin

Sultan Maulana Yusuf


Sultan Maulana Muhammad

Sultan Abdul Mufakir Abdul Kadir Kenari

Sultan Abdul Ma'ali Muhammad


Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Haji Mansur / Abu Nasr Abdul Kahar

Sultan Muhammad Zaenal Abidin

Sultan Muhammad Sifa Zaenul

Sultan Muhammad Arif Zaenul Asyiqin

Nyi Mas Uji

Mbah Ubang

Syeikh Muhidin
 
 

 



















































ASAL MUASAL SUKU BETAWI

JAKARTA

Suku betawi adalah suku yang sebagian besar bertempat tinggal di Jakarta. Secara biologis suku betawi merupakan etnis dari kawin campuran aneka suku bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. 

Kelompok etnis Batavia lahir dari perpaduan dengan suku yang lainnya yang dulu pernah eksis di Jakarta seperti: Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Melayu dan Tionghoa.

Namun ada pendapat lain menurut sejarawan Sagiman MD, bahwa dalam periode awal Suku Betawi telah ada sejak jaman neolitikum, Penduduk Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa dan Madura.

Pendapat Sagiman MD senada dengan Uka Tjandrasasmita dalam Monografinya: “Jakarta Raya dan sekitarnya dari Jaman Prasejarah hingga Kerajaan Pajajaran (1977) bahwa penduduk Betawi telah ada pada sekitar tahun 3500-3000 Sebelum Masehi. 

Menurut Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta, dalam Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. 

Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.

Pada penelitiannya Lance Castles menitik-beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu :


1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota Benteng Batavia.

2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.

3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893

4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.


Dimana semua sketsa sejarahnya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (Tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi" .

Pada abad ke-2 periode setelah Masehi Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perda gangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. 

Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. 

Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. 

Petani Betawi membuat orang -orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini ma sih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge rak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. 

Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Pendu duk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. 

Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.

Pada abad ke-7 Pesisir Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan pemukiman di pesi sir Jakarta. 

Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. 

Pada sekitar abad ke-10, Saat terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. 

Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. 

Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukiman awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. 

Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (Bahasa Melayu), bukan “Musim Kulon” (Bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (Bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.


Beunang guguru ti gunung
Beunang nanya ti guriang