RUPA-RUPA

Dari Parung Panjang sampai Sukajaya dari Ciampea hingga Jasinga

Dari Parung Panjang sampai Sukajaya dari Ciampea hingga Jasinga

Bentangan yang teramat luas
Tataplah dengan mata telanjang bentangan areal tersebut, sejauh mata memandang yang tampak hanyalah rimbun dan hijaunya hamparan perkebunan sawit

Tak ada hutan yang bertahan
Bebukitanpun tak kenal ampun
Babat habis untuk sawit
Kita hidup di jaman merdeka bukan jaman Belanda
Tapi apa bedanya?

Perkebunan dulu milik Belanda
Pantas jika hasilnya dibawa ke sana
Sekarang perkebunan milik siapa?
Kemana hasilnya dibawa?

Ada siluman raksasa yang tak kelihatan batang hidungnya
Menjajah tanah menggergoti unsur hara meninabobokan kita semua
Tanah yang dipakai perkebunan bukanlah milik Belanda

Tapi mereka merebutnya dari kakek buyut kita
Mengapa setelah merdeka kita terperosok ke dalam lubang yang sama
Terjajah oleh ketidakpedulian
Ketidaktahuan akan hak sebagai warga negara
Coba hitung berapa rupiah dihasilkan satu pohon sawit

Sementara ada jutaan pohon tertanam
Sawit ibarat gajah di pelupuk mata yang tak tampak keberadaanya dan orang berburu semut di seberang lautan untuk penghidupannya
Bukannya memberdayakan, Siluman itu telah memperdaya kita dengan tak secuilpun kabar berita

Virus monolog telah begitu akut disini, segalanya berusaha ditimbun, fises sekalipun! Doa konstipasi mereka mohonkan setiap malam agar perut mereka terjaga dari berbagi, Tuhanpun tidak tuli dicukupkannya selalu rizki mereka hingga tambah kaya semakin kaya, ketika muntaber, busung lapar melanda tetangganya politik pintu tertutupun diterapkan dengan dalih agar tak tertular. Mereka lupa telah dicukupkan rizkiNYA, sarkasme yang sesungguhnya segenap rizkinya mereka kontribusikan untuk bersekutu dengan syetan keegoisan dan kekikiran


Dialog adalah vaksin yang langka dan hanya bisa diperoleh di klinik-klinik dokter atau disembunyikan dikulkas-kulkas kecil di puskesmas, terlalu banyak alasan untuk berdialog, karena disana ada banyak pertanggungjawaban khususnya bagi amtenar-amtenar atau yang merasa sejenisnya,



Agustus 2008,
Kalakay Jasinga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar