RUPA-RUPA

BAHASA DIALEK JASINGA

“....Urang Bogor heuras genggerong”, begitulah yang diutarakan oleh Bpk.Eman Sulaeman selaku budayawan Bogor dalam sebuah seminar sejarah di Kampung Budaya Sindang Barang Bogor. 

Menurutnya pada masa lalu sekitar abad 17-18 M, Bogor tidak pernah dijajah secara langsung oleh Mataram seperti daerah lainnya di wilayah Priangan. yang sekaligus menyebarkan undak usuk basa.

Jasinga yang letaknya berada paling barat Bogor dan berbatasan langsung dengan Banten sangat terpengaruh oleh budaya Banten walaupun memiliki bahasa yang sama dengan bahasa Bogor, heuras genggerong (kasar dalam berbicara). 

Bahasa dialek Jasinga bersifat egaliter tanpa membeda-bedakan pangkat, jabatan atau strata sosial.

Dalam keseharian masyarakat Jasinga bahasa sunda dapat digunakan pada semua kalangan. Para pendatang dari Priangan akan merasa kaget ketika bahasa Jasinga terdengar kasar dan tidak nengenal undak usuk basa. 

Akan tetapi bukan berarti masyarakat Jasinga juga berperilaku kasar, mereka menggunakan bahasa kasar (dalam konteks undak usuk basa merupakan bagian paling bawah) sebagai bahasa sehari-hari dengan penuh keakraban dan mempunyai tingkat sosial yang tinggi. 

Pada masa anak-anak, mereka dikenalkan untuk berbicara bahasa sunda lemes oleh orang tua dan gurunya. Jika menginjak masa remaja maka bahasa dominan yang digunakan adalah dialek Jasinga, hal ini tidak terlepas dari faktor lingkungan tetapi sedikitnya mereka mengenal bahasa lemes (bahasa halus dalam tingkatan undak usuk basa).

Bagi masyarakat Jasinga penggunaan undak usuk basa sangat sulit untuk dipelajari karena bahasanya yang terbagi menjadi beberapa tingkatan. 




Mereka menganggap hal ini sebagai sesuatu yang menghalang-halangi dalam berkomunikasi, terutama kaum yang muda sebagian enggan mempelajarinya. 

Walaupun tingkatan bahasa sunda ini telah memperkaya khasanah budaya sunda akan tetapi substansinya tetap saja hal itu menjadi sesuatu yang menyulitkan dan di luar dari kebiasaan berdialek Jasinga.


Dalam acara-acara yang sifatnya resmi seperti forum, hajatan, mimbar, mereka menggunakan bahasa lemes. Penggunaan bahasa ini mengikuti tradisi-tradisi yang ada di priangan, dalam hal ini Bandung sebagai sentral kebudayaan Jawa Barat. Sebagian masyarakat Jasinga menggunakan bahasa lemes sebagai tata krama, mereka mengenalnya dari pendidikan. 

Bahasa lemes juga digunakan untuk mengimbangi pembicaraan dengan para pendatang dari Priangan seperti Bandung, Cianjur, Tasikmalaya, Ciamis dan Sumedang yang sengaja menetap karena tugas atau hanya singgah sementara karena Jasinga bagian dari Bogor dan termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat maka undak usuk basa harus dikenalnya.

Dialek Jasinga terbagi lagi menjadi beberapa dialek di dalamnya seperti dialek Koleang, dialek Tegal, dialek Pangradin, dialek Ngasuh, dialek Sipak, dialek Bagoang dan dialek Jasinga itu sendiri. 

Dialek-dialek ini disertai dengan logat yang khas dari masing-masing daerah. Perbedaan itu sangat unik dan sepertinya jarang sekali terdapat dalam wewengkon sunda lainnya.

Mengenai perbedaan dialek ini belum diketahui dari mana asal muasalnya, hal ini perlu penelitian lebih lanjut.

Sekali lagi bahasa dialek Jasinga tidaklah harus menjadi sesuatu yang dimarjinalkan, bukankah ini juga yang termasuk memperkaya khasanah budaya sunda?

Dan masyarakat yang menggunakan dialek bahasa tanpa menggunakan undak usuk basa bukan berarti mereka tidak berpendidikan, orang kampung dan tidak tahu tata krama, fenomena ini seperti dalam paribasa “urang gunung bau lisung, si manyang munyung nu datang ti curug ngebul” atau “jauh ke bedug-anggang ka dulang".



September 2008, 
KALAKAY JASINGA



2 komentar:

  1. Adakah dialek jasinga mirip dialek banten
    Karrna di banten ga di kenal sunda lemes. Kenalkeun aing ti banten. Salam ka dararia sakabehan

    BalasHapus
  2. dialek jasinga ngagaleong lin....

    BalasHapus