RUPA-RUPA

PERLAWANAN RATU BAGUS BUANG TERHADAP KOMPENI HINGGA AKHIR HAYATNYA MENURUT CATATAN LUAR

Pada bulan Juni hingga Oktober 1752, ketika perlawanan terhadap Kesultanan Banten bentukan Kompeni, mundur dan melarikan diri melintasi Priangan ke Jawa Tengah. Di bulan Juni 1752, tentara VOC melanjutkan serangannya. Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, yang telah meninggalkan wilayah barat Jawa setelah kekalahan perang di Pandegrang pada akhir tahun Juli, kemudian mundur ke wilayah Priangan. Setelah kegagalan penyerangan melawan melawan tentara VOC di Bandung pada bulan Agustus, para pejuang semakin mundur ke Banyumas pada bulan September. Disini, mereka mendapatkan perlawanan dari Bupati Banyumas yang bekerja sama dengan Kompeni, sehingga didorong lebih jauh ke Bagelen, dimana mereka mencoba bergabung dengan pejuang pejuang yang dipimpin Pangeran Arya Mangkubumi yang berperang melawan keponakannya, yaitu Susuhunan Pakubuwana III dari Istana Surakarta Kesultanan Mataram.

Dua tahun sebelumnya, awal mula perlawanan Ratu Bagus Buang diawali ketika Sultan Zaenul Arifin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi dan dijadikan permaisurinya. Ratu Bagus Buang sendiri adalah keponakan dari Sultan Zaenul Arifin, dan anak dari Pangeran Putra (Panembahan II) atau Pangeran Gusti. Setelah dibatalkan sebagai putra Mahkota, atas suruhan Ratu Syarifah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia dan ditengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Sailan pada Tahun 1747.

Di Batavia Ratu Bagus Buang juga dikenal dengan nama  etnis Mauwushi Wang. Dia juga memilih menyebut dirinya Sultan Abun bassar Muhammad Yusuf Achmed Adil Arlik Fidin, yang secara tegas menunjukkan sebagai penguasa kesultanan Banten. Ratu Bagus Buang bergabung dengan Kiai Tapa ke pegunungan dan membuat rencana mengumpulkan tentara untuk membalas dendam, dan menyerang Kesultanan Banten.

Ketika Ratu Bagus Buang mendengar bahwa Van Imhoff (Governor general) telah mati saat itu, yaitu pada 1 November 1750 dia segera mengumpulkan tentara dan memulai pemberontakan di tahun itu. Sentimen Islam yang masih melekat muncul kembali perang Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang terhadap Kompeni antara tahun 1750 hingga 1755 Ini pertentangan yang terus berlanjut menunjukkan upaya sekuritisasi Sultan Tirtayasa belum berhasil.


Ratu Bagus Buang bergabung bersama pendahulunya yaitu Kiai Tapa di Gunung Munara. Merekrut tentara pribumi secara besar-besaran, dan berangkat melawan kesultanan Banten bentukan VOC. Kekuatannya sangat besar! Setiap sudut Banten berada dalam keributan yang terus menerus. Terjadilah pemberontakan atau perang antara Banten dan masyarakat Banten yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang. Tercatat bahwa Ratu Bagus Buang sangat berani dan keras kepala. Semua desa-desa kecil dipelosok telah menjadi kekuasaannya. Semua ini terjadi karena Van Imhoff pada masa hidupnya merugikan rakyat Tiongkok, dan setelah kematiannya ia juga merugikan rakyat Banten.

Karena informasi tentang perlawanan terhadap Kompeni mulai menyusut setelah tanggal 30 Oktober 1752, diyakini bahwa perlawanan kepada Kompeni telah berakhir pada saat itu. Hal ini jelas tidak terjadi, karena kedua tokoh penting tersebut, yaitu Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang, muncul kembali masing-masing pada Tahun 1754 dan 1755. Pada bulan September 1754, tiba-tiba Kiai Tapa muncul dari Banyumas dan maju melalui wilayah Priangan ke Serang dengan sekelompok kecil pengikut. Meskipun dia berusaha memobilisasi orang disana, hal ini terbukti sia-sia dan dia ditangkap oleh pasukan sultan. Satu bulan kemudian dia melarikan diri dan menghilang. Meskipun Kiai Tapa lolos setelah ditangkap, Ratu Bagus Buang muncul dalam kelompok kecil di Gulajur di kawasan pegunungan kesultanan pada bulan Januari 1755, setelah kembali dari Jawa Tengah tempat ia tinggal selama ini. Dia pergi ke Prinsen Eiland (Pulau Panaitan), dimana dia terdeteksi dan dibunuh oleh tentara sultan pada Tanggal 4 Februari 1755. Setelah itu, Kiai Tapa menghilang dari sejarah.

Dalam catatan Melayu, tentara sultan yang dimaksud kemungkinan adalah Nakhoda Muda. Pada saat Nakhoda Muda dipaksa untuk menyerah kepada Ratu Bagus Buang, Nakhoda Muda memutuskan untuk tidak menyerah, dan malah berjanji kesetiaannya kepada Sultan dan meminta bantuan Sultan. Sultan mengirimi mereka dua kapal, dan Ratu Bagus Buang melarikan diri ke pegunungan untuk menyelamatkan nyawanya. Kisah pertempuran Nakhoda Muda dan Ratu Bagus Buang tercatat dalam naskah Melayu yaitu Hikayat Nakhoda Muda. Namun karena isi dari naskah tersebut lebih kepada keberpihakan kepada Nakhoda Muda dan Kompeni, sepertinya naskah tersebut tidak begitu diminati.


Sumber :

Atsushi Ota, 2006. Changes of Regime and Social Dynamics in West Java

Eberhard Crailsheim, 2019. The Representation of Eternal Threats from The Middle Ages to the Modern World

Hadijah Rahmat. Abdullah bin Abdul Kadir Munshi

Hadijah Rahmat, 2001. In Search of Modernity "a studyof concepts of literature, authorship and nation of self in Traditional". Malay Literature

Leonard Blusse, 2018. The Chinese Annals of Batavia, The Kai Na Lidai Shiji and Other Stories (1610-1795)







PERLAWANAN KIAI TAPA, RATU BAGUS BUANG DAN RATU SITI TERHADAP KOMPENI

Pada masa pemerintahan Sultan Aripin (1750) timbul kerusuhan dan perlawanan terhadap Belanda, karena dianggap berbahaya , Belanda mengangkat Pangeran Gusti sebagai pengganti Sultan Haji. Tetapi langkah itu tidak membuat keadaan mereda, bahkan bertambah rusuh. Kiai Tapa (Penghulu Agung Mustofa) dan Tubagus Buang (Ratu Bagus Burhan) yang didukung kaum ulama dan rakyat bersatu melakukan perlawanan dan pengacauan di daerah Jasinga dan Priangan. 

Sebelumnya, Tahun 1735 Sultan Syifa Zainul Arifin ditangkap dan dibuang kompeni ke Ambon, setelah membantu Ratu Siti bersama Kiai Tapa atau Penghulu Agung Mustofa. Perlawanan Kiai Tapa semakin bertambah besA perlawanan. 

Ratu Bagus buang diangkat sebagai Sultan dengan Gelar Sultan Ahmad Adil dan kawin dengan Ratu Siti guna memperkuat legitimasinya atas tahta Banten, untuk memperlemah kedudukan Belanda, Kiai Tapa merusak penggilingan-penggilingan milik Belanda. Melihat posisi pemberontak semakin mantap, VOC melakukan serangan besar-besaran, sehingga perlawanan terpaksa mundur. Pertahanan mereka satu persatu jatuh ke tangan VOC (Juli 1751), akhirnya pasukan Kiai Tapa bertahan di Gunung Karang. 

Dalam pertempuran Cibodas pada Tanggal 17 Agustus 1751 barisan pemberontak mengalami kekalahan besar, sedangkan Kiai Tapa berhasil menyelamatkan diri ke selatan. pada akhir Tahun 1751, keadaan pemberontak semakin lemah, lebih lebih setelah Raden Bagus Buang menyerah karena sakit. 

Sumber : 
Wajah Pariwisata Jawa Barat 
Catatan kepahlawanan Yang Anti Kolonial nan Kunjung Padam 1994 
Perjuangan rakyat banten Menuju Provinsi 2001

SEJARAH BERDIRINYA SEKOLAH MUHAMMADYAH JASINGA


Pada tahun 1926 didirikan sekolah Muhammadiyah, suatu lembaga pendidikkan Islam yang bertujuan membentuk dan mendidik generasi penerus islam yang memiliki pengetahuan tentang ilmu agama Islam khususnya, dan ilmu terapan pada umumnya, sekaligus mencetak kader - kader mubaligh yang dapat menjadi penuntun masyarakat. Tempat belajar masih darurat, yaitu masih belajar di mesjid Jasinga, para guru di datangkan dari luar daerah Jasinga, yaitu Bapak Mualim Sodik Cisaat dan bapak Somad dari Bogor.

Mualim Sodik berasal dari Cidamar LeuwiLiang, Bogor Barat, Setelah menyelesaikan sekolahnya di al Irsyad Jakarta, beliau lalu memperoleh Istri orang Cisaat, Sukabumi dan berdomisili di sana untuk beberapa tahun, pada tahun 1926 organisasi Muhammadiyah Jasinga meminta kesediaan Muallim Sodik untuk menjadi Guru di Jasinga, sebagaimana yang diceritakan oleh Haji Jenah istri almarhum Haji Abdurahman. Orang yang menjemput Muallim Sodik dari Cisaat Sukabumi ke Jasinga ini sama Haji Durahman di antar oleh beberapa anggota Muhammadiyah lainnya. agar Muallim Sodik mau mendarma-baktikan dirinya bagi kepentingan organisasi untuk menjadi guru 
agama di Jasinga ini. 

Inisiatif pemanggilan Mualim Sodik ini. Atas inisiatif ketua bidang pengajaran pada waktu itu yaitu Haji Abdurahman (Durahman). Beliau bersama-sama sudah saling mengenal dengan baik, sebagaimana dikatakan oleh Muallim Oim bahwa :

"Waktu itu, sama Haji Durahman bekerja di Mester Jakarta sebagai penjahit pakaian, sedangkan Abah Sodik menuntut ilmu di Al Irsad, Sebagai pelajar yang kurang mampu dalam ekonomi, Abah Sodik sering membantu sama Haji Durahman pekerjaan apa saja yang bisa di kerjakan, asal dapat makan dan 
imbalan ala kadarnya." 
(M. Abdurohim mantan aktifitas Muhammadiyah Cab. 
Jasinga menantu Almarhum H. Abdurahman)

Pada tahun 1928, periode ini mulailah diadakan, kursus-kursus dan pengajian di ruamah-rumah anggota (Ampinan) secara bergiliran tiap malam, sedangkan siang harinya belajar di sekolah yang tempatnya di Komplek 
Mesjid. mengingat tidak memungkinkan lagi sekolah yang tempatnya ruangannya terbatas, maupun kondisi dan situasinya tidak memadai maka di bangunlah sekolah yang tidak jauh dari tempat semula sebanyak tiga lokal di atas tanah wakaf Bapak Haji Gafar, Ibu Haji Nurisah dan Bapak Haji Rasyid.

Karena masih kurangnya dalam Bidang Keorganisasian, maka 
organisasi Muhammadiyah mengirimkan dua orang pemuda untuk disekolahkan Ke Yogyakarta, guna mempelajari keorganisasian, dan juga tentang kepanduan Hizbul Wathan (HW) yang disekolahkan ke Yogya yaitu Bapak padmi dan bapak Madgias. 

Sekembalinya dari Yogyakarta, kemudian pemuda itu mengadakan kegiatan berupa kursus-kursus seperti kursus keorganisasian kursus Bahasa 
Inggris, kursus keagamaan dan kursus kepanduan.

Maka pengurus maupun anggota Muhammadiyah lebih mengetahui tentang keorganisasian dan kepanduan HW. setelah ada Muallim di Jakarta. (KWISCHOOL), dengan biaya sendiri yang belajar di Muhammadiyah Jasinga yaitu, Bapak Patah Maerdai, Bapak Raup dan Bapak Supena, kemudian melanjutkan sekolahnya ke Yogyakarta.

Dan kemudian pula menyusul ke Yogyakarta untuk Sekolah yaitu 
Bapak Romli Husni, dan Bapak Suarta dan Bapak Kahfi. Setelah memusatkan studinya, kemudian kembali ke Jasinga dan terjun di masyarakat sebagai Da’i dan Mubaligh, ada juga yang yang jadi guru Muhammadiyah.

Pada Tahun 1950, dimana perekonomian Jasinga semakin kuat tidak sedikit yang menyekolahkan puteranya ke Yogyakarta. Disekolahkan ke 
Mualimin dan Mualimat Muha madiyah dan Zuama, juga ke PGAN di kota Bogor dan kota besar lainnya.

Pendidikkan agama melalui madrasah di Jasinga tidak sedikit 
tantangannya, terutama orang-orang yang menganggap bahwa mengajarkan agama tidak boleh sembarang orang, namun berangsur-angsur anggapan ini 
hilang sendirinya. menyinggung soal pendidikan, sudah mengalami rehab yang 
di peroleh dari departemen Agama maupun Depdikbud.

Pada Tahun 1954 didirikan SGB, tapi tidak lama pada tahun itu juga diubah menjadi PGAP (PGA 4 tahun) penanggung jawabnya bapak Supena, Guru-gurunya kebanyakan dari PGAN Bogor.

Pada Tahun 1958 dengan keputusan menteri Agama MWB 
(Madrasah Wajib Belajar), karena mungkin sulit un tuk mengembangkan MWB, terutama melaksanakan kurikulum 8 tahun, maka MWB di ubah statusnya menjadi SD yang meng induk pada departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada tahun 1977, Departemen Agama mengeluarkan surat edaran dimana tahun 1980 PGA-PGA Swasta ditiadakan, maka Muhammadiyah bagian pendidikkan dan kebudayaan, menempuh kebijaksanaan dengan membagi dua jenjang sekolah yaitu Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Menyusul pada tahun itu juga berdiri SMP Muhammadiyah untuk mengimbangi kebutuhan 
animo masyarakat. Dan pada tahun 1986 berdiri pula SMA Muhammadiyah.

Sumber : 
Pimpinan cabang Muhammadyah Jasinga Tahun 2005 - 2020

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA ORGANISASI MUHAMMADIYAH JASINGA





SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA MUHAMMADIYAH JASINGA

Muhammadiyah datang ke Jasinga pertama kali pada tanggal 1 Januari 1925 
oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah Jakarta (Betavia).
Menurut cerita yang diterima dari tokoh - tokoh masyarakat pada waktu 
diadakannya pengajian di rumah Bapak Kyai Haji Ahyad, timbulah gagasan untuk 
mendirikan sekolah agar anak yang tidak di pesantrenkan, disekolahkan. Sebab 
orang tua yang ekonominya kuat untuk mempelajari ilmu agama, mengirimkan 
anaknya kepesantren di luar jasinga.
Pada waktu itu seorang guru yang bernama Suta Laksana yang mengajar. 
beliau sering berlangganan surat kabar Bintang Timur. Di dalam surat kabar 
tersebut beliau membaca bahwa di Yogyakarta ada organisasi Muhammadiyah.
Rupanya tertarik dengan organisasi ini terutama dalam gerakannya, akhirnya beliau 
mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh masyarakat dalam keputusan 
masyrakat, beliau di utus ke Jakarta (Batavia) untuk menghubungi muhammadiyah 
cabang Jakarta, agar di Jasinga didirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 
1936.
Dengan adanya hubungan ini, dari muhammadiyah Jakarta datang ke 
Jasinga. Ketua Muhammadiyah cabang Jakarta yang bernama Karta Sudarmo untuk 
meninjau dan melihat dari dekat keadaan daerah Jasinga.
Setelah itu sering datang pula Mubaligh dari Jakarta diantaranya Bapak 
Kyai Haji Hidayattuloh, sebagai sekretaris Muhammadiyah Cabang Jakarta, yang 
mengajarkan tentang organisasi Muhammadiyah
Akhirnya setelah mengetahui tentang cara berorganisasi dan lain-
lainnya, maka didirikannya organisasi Muhammadiyah di Jasinga. Pada waktu itu 
pengurus-nya yaitu ;
- Ketua : Bapak H Gafar.
- Sekertaris : Bapak Suta Laksana
- Bendahara : Bapak Burhanudin.
- Bag. Pengajaran : Bapak. Haji Abdurohman
- Bag. Tabligh : Bapak H. Husni
Komisaris-komisarisnya;
- Bapak H. Abdul Gapar
- Bapak Hasan
- Bapak Rosyad
- Bapak Idrus
- dan lain-lain.
Adapun Sumber yang kami dapatkan dari Bapak Dadang CH yaitu:
Pada Tahun 1916, Muhammadiyah masuk Jawa Barat (Pasundan) oleh pedagang 
batik dari kudus bernama H. Jamhari putra Dasiman yang mengasingkan diri di 
Garut, untuk menghindari fitnah dari pemerintahan Belanda. Tidak berapa lama 
berdiri Muhammadiyah di Jakarta (Batawi) dengan tokohnya bernama Karto 
Sudarmo
Asep Mujtaba Orang Jasinga yang menuntut ilmu ke Jakarta di perguruan Al-Irsyad 
yang didirikan oleh Syeh Ahmad Syrkati yang didirikan tahun 1915. Banyak anak 
tokoh yang belajar disana dan belajar Bahasa Arab diantaranya adalah : Yunus 
Anis, beliau bertemu dengan disana. setelah menyelesaikan studinya dan mengabdi 
di almamaternya, maka Yunus Anis ikut menjadi pengurus Muhammadiyah 
Batavia.
Pada Tahun 1926 Asep Mujtaba pulang ke Jasinga dan atas pengaruh Yunus Anis 
beliau menulis Muhammadiyah di Jasinga. Dan dalam pemahaman keagamaan 
sudah menyentuh orang orang Jasinga di antaranya:

1. R. Sutalaksana
2. H. Rasyid
3. H. Husni
4. H. Abdul Ghafar
5. Mualim Abdul Rohman (Karundang)
6. Abah Jali (Setu )

Maka tidak terlalu sulit untuk mengembangkannya, maka berdirilah "Group 
Muhammadiyah Jasinga" yang langsung dipimpin oleh Bapak Asep Mujtaba yang
menginduk ke Jakarta. Kepemimpinan Asep Mujtaba ini berlangsung dengan lama, 
karena pada saat itu belum ada peraturan untuk periodesasi. Amal usaha yang sudah 
dilaksanakan pada saat itu adalah dakwah Islam amar makruf nahi munkar, 
santunan terhadap anak yatim dan fakir miskin.
Disamping itu didirikan sekolah Agama (Diniyah) yang bertempat di masjid 
Jasinga (sekarang Masjid Al Abror) dengan pengajarnya antara lain; Bapak R. 
Sutalaksana.
Maka pada tahun 1936 barulah berdiri cabang Muhammadiyah Jasinga dengan " 
SK PP Muhammadiyah" Hup bestoor Yogyakarta masih di bawah pimpinan Asep 
Mujtaba CS. Adapun periodesasi yang saya tahu sejak akhir tahun 1960.

1. Abdul Manan Rasyid
2. M.O Djinaedi
3. E.A Muslih
4. H.R. Munawar
5. E. Basri
6. H Udi Samhudi

Perkembangan dalam dakwah dan pendidikan selain orang orang tersebut tadi 
datanglah Mualim Shodiq karena banyak para guru, maka Mualim Shodiq 
membawa lagi guru yaitu Mualim Ahyad, datang lagi Mualim Rosyad kemudian 
berlanjut sebagai da'i dan pengajar antara lain; Mualim Arsyudin, Mualim Oim 
Abdurohim, Mualim Syamsu, Mualim Asrap, Mualim Koko dll. (Mohon maaf bila 
keluarga yang tidak disebut).

Adapun perkembangan Pendidikan yang sudah ada sampai sekarang adalah:

1. Taman Kanak-kanak ABA
2. Madrasah Diniyah
3. SD Muhammadiyah
4. MI Muhammadiyah
5. SMP Muhammadiyah
6. MTs Muhammadiyah
7. Aliyah Muhammadiyah

Madrasah Diniyah telah ada ditiap ranting, MTs, Muhammadiyah di Jasinga dan 
MI Muhammadiyah di Sipak.
Adapun dalam bidang sosial telah didirikan perawatan Atau Panti Asuhan "Harapan 
Firdaus " sebagai penampungan anak yatim dan miskin yang disantuni disana.
Adapun perkembangan organisasi sbb :

1. Ranting Jasinga
2. Ranting Karundang
3. Ranting Setu
4. Ranting Sipak
5. Ranting Cikopomayak
6. Ranting Pamagersari (Pemekaran)

Sumber yang saya jadikan rujukan :
Sang Surya di Tatar sunda PWM Jabar 2005.
Tokoh tokoh Muhammadyah Jasinga Antara lain:

1. Mualim Syamsu
2. M. Arsyudin
3. Syamsudin
4. M. Muniran
5. M. Oim Abd Rohim dll.


Sumber : Pimpinan Cabang Muhammadyah Tahun 2005 - 2020

TILU IWUNG DALAM BUDAYA MASYARAKAT SUNDA JASINGA





Sebutan tilu iwung pertama kali diperkenalkan kepada Kalakay Jasinga ti Kokolot Jasinga. Pada waktu itu sekitar Tahun 2006 yang lalu diceritakanlah dengan Uga Jasinga yang berbunyi :

 

"Dina hiji mangsa bakal ngadeg gedong hejo anu bahana aya di Leuwi Curug, Leuwi Sanghyang, jeung anu sawarehna aya di girang. Ciri ngadegna gedong hejo lamun tilu iwung geus nangtung anu katelahna awi tangtu".

 

Konsep tilu iwung ini, kemungkinan besar sama seperti konsep tritangtu sunda pada umumnya. Sebutan tritangtu dapat ditemukan dalam naskah sunda lama, Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) pada lampir 26, yang berbunyi "Ini tritangtu dibumi, bayu pinahka prebu, sabdapinahka rama, hedap pinahka resi" (inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi).

 

Tritangtu di atas mengandung bayu, sabda, hedap atau lampah ucap tekad dalam bahasa sunda sekarang. Meskipun ada tiga hal atau ketentuan, tetapi sebenarnya tetap satu entitas atau keberadaan. Setiap manusia memiliki tiga hal itu, yakni tekad atau keinginan dan kehendak, ucap yang berarti pikiran dan lampah yang berarti tindakan. Kalau seseorang melakukan sesuatu tentu ada tujuan dan keinginannya, dan tindakan itu dilakukan setelah dipikirkannya. Tekad, ucap lampah adalah tiga potensi manusia yang merupakan satu kesatuan untuk menandakan bahwa dia itu hidup. (Jakob Sumardjo, Struktur filosofis Artefak Sunda).

 

Dalam masyarakat adat Baduy yang terletak di Desa Kanekes Banten juga dikenal konsep pemerintahan tritangtu yang dikenal dengan tiga kampung utama di baduy dalam yaitu Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana. Ketiga kampung tersebut dipimpin oleh puun di masing masing kampung tersebut yang memiliki tugas yang berbeda.

 

Sedikit penjelasan mengenai konsep tritangtu atau tilu tangtu atau masyarakat Jasinga dalam Uga Jasinga menyebutnya tilu iwung. Lalu bagaimana konsep budaya tritangtu ini begitu melekat pada masyarakat Jasinga hingga era dimana melawan penjajah belanda waktu itu? Dimana yang tersaji dalam cerita rakyat Jasinga, Uga Jasinga itu sendiri, nama tempat hingga gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda saat itu.

 

Yang pertama kembali kepada Uga Jasinga, bisa jadi yang kami dapatkan dari Kokolot Jasinga tersebut adalah hanya sepenggal saja atau tidak utuh. Bisa jadi Uga Jasinga ini sebetulnya memiliki lebih banyak lagi penggalan-penggalan yang menjelaskan tentang ramalan masa depan. Karena pengertian dari uga itu sendiri menurut Nandang Rusnandar, yaitu :

 

"Uga merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat sunda, di dalamnya terkumpul segenap memori kolektif. Analisis terhadap uga meliputi nilai-nilai dalam bentuk simbol yang tersirat di dalamnya. Uga mampu meramalkan perubahan sosial sesuai dengan zamannya. Apabila dilihat dari orientasi waktu, uga dapat menunjukkan: (1) Tercipta dan dituturkan pada masa lampau, (2) Dituturkan pada masa lampau dan terjadi pada waktu lalu, (3) Dituturkan pada masa lampau dan sekarang (sedang terjadi), (4) dituturkan pada masa lampau, ramalan untuk masa yang akan datang. Fungsi uga disamping untuk memprediksi ia juga harus dijadikan sebagai alat antisifasi tentang sesuatu yang bakal terjadi diwaktu yang akan datang".

 

Tilu iwung dalam uga Jasinga tersebut mengindikasikan sebagai kriteria atau penentu atau bisa saja berupa landasan atau juga bisa sebagai falsafah untuk dapat berdirinya "gedong hejo " tersebut. Penutur yang mencipta Uga Jasinga tersebut tentu sudah tahu apa itu maksud dari tilu iwung tersebut, jika dikaitkan dengan kesamaan hal tersebut mengindikasikan kesamaan makna dari tritangtu dimana berarti pada masa lalu masyarakat jasinga sudah mengenal konsep tritangtu seperti di daerah kabuyutan sunda lainnya.

 

Yang ke-dua adalah adanya tiga nama tempat dimana tiga tempat itu memiliki nama hyang di akhiran katanya, yaitu Parahyang, Cidanghyang dan Sanghyang. Ketiga tempat tersebut bila dilihat dari atas di maps maka akan membentuk garis segitiga, dimana ditengah tengahnya dialiri oleh sungai terbesar di Jasinga yaitu Cidurian. Hal tersebut tentunya bukanlah suatu kebetulan dimana ketiga nama-nama tersebut merupakan nama yang tua, ada sejak dahulu kala.



 

Yang ketiga dari cerita rakyat Jasinga yaitu kisah tiga santri dalam peperangan di daerah yang bernama Pangapakan antara orang-orang sunda pajajaran yang berlokasi di Pasir bayah dan wangsa mayak, dan kisah tiga bersaudara yang adu tanding kerbau ke Palembang yang bernama Jayaleksana, Jayaseta dan Jayawangsa. Dilihat dari nama santri tersebut kemungkinan cerita ini terjadi pada masa islam. Ketiga santri yang melambangkan tiga kekuatan.

 

Tentunya kisah kisah ini merupakan karya sastra yang hingga saat ini masih terdengar diantara masyarakat Jasinga. Kisah kisah heroik seperti ketiga santri yang datang tiba-tiba dalam pertempuran Wangsa Mayak dan Wangsa Pasir Bayah, berusaha melerai antara dua wangsa yang sedang berperang hebat itu. Namun apa yang terjadi ketiga santri tersebut malah menjadi bulan-bulanan para petarung ksatria di palagan, sehingga terjadilah peperangan segitiga. Karena ketiga santri itu mengamuk menjadi singa singa yang buas, akhirnya kedua wangsa yang bertikai tersebut tidak dapat menandingi amukan ketiga singa tersebut yang menyebabkan keluar dari medan perang. Wangsa mayak kembali ke tempat asalnya di Mayak dan Koleang, sedangkan Wangsa Pasir bayah mengungsi ke daerah pakidulan selatan yang sekarang bernama Bayah. Tiga santri ini bisa jadi adalah simbol yang menandakan tritangtu atau tiga kekuatan atau pangraksa, dan simbol singa merupakan simbol budaya sunda yang gagah berani. Konon nama Jasinga dinamakan dari ketiga nama santri yang berubah menjadi singa tersebut dan memenangkan pertarungan menjadi jaya singa dan jadilah bernama Jasinga.

 

Selain kisah ketiga santri di atas, terdapat lagi kisah tiga bersaudara yang mendapatkan undangan adu tanding kerbau oleh Raja Palembang, yang terkenal tidak pernah terkalahkan di setiap lomba adu kerbau. Ketiga bersaudara itu bernama Jayaleksana, Jayaseta dan Jayawangsa. Ketiga bersaudara itu memiliki kelebihan-kelebihan diantaranya Jayaleksana sebagai saudara tertua memiliki kelebihan kemampuan kedigdayaan dan ilmu kanuragan yang tinggi. Jayaseta sebagai kakak ke-dua memiliki keunggulan pandai berdiplomatis dan yang terakhir Jayawangsa tidak memiliki kemampuan apa apa, bahkan tubuhnya mungil dan pendek. Singkat cerita karena mereka tidak membawa kerbau betulan, Jayaleksana sebelum tiba di Palembang telah merubah adik bungsunya Jayaseta. Dan ketika berhadapan adu tanding dengan dengan kerbau pribumi alangkah terkejutnya ketiga bersaudara itu karena ukuran kerbau pribumi itu sangatlah besar dan gagah. Namun hal tersebut tidak membuat gentar ketiga saudara dari negeri Jasinga itu. Dimulai dari kerbau Palembang yang ukurannya besar memulai serangan kepada Jayawangsa yang telah berubah menjadi kerbau yang kecil. Jaya wangsa selalu menghindar serangan kerbau pribumi itu, namun pada satu kesempatan ketika Jaya Wangsa menghindari serangan kerbau Palembang itu kebetulan dia tepat berada tepat dibawah alat vital kerbau besar itu, dan menandukan tanduknya ke alat vital kerbau besar sehingga mengakibatkan tersungkurnya kerbau kebanggaan itu dan mengalami kekalahan.

 

Bila kita amati kisah di atas jelaslah bahwa pesan dari konsep tiga kekuatan itu sangatlah terlihat dari Jayaleksana yang memiliki keahlian ilmu kanuragan yang tinggi, dan Jayaseta yang memiliki kelebihan diplomatis, sedangkan yang bungsu memiliki keunggulan keberanian dan keberuntungan.

 

Yang ke -4, Jasinga merupakan daerah terakhir kekuatan Kesultanan Banten disaat para pembesar Banten mengungsi ke Muncang Jasinga dan Sajira Lebak pada masa kudeta yang dilakukan oleh Sultan Haji dan VOC terhadap Sultan Agung Tirtayasa (1682). Nama Tigaraksa di tangerang terbentuk atas dasar tiga kekuatan atau pangraksa yaitu Banten, Jasinga dan Angke (Jayakarta). Diantara tiga wilayah kekuatan itu lah terdapat daerah yang berada di tengah-tengah itu yang bernama balaraja. Balaraja diyakini sebagai tempat berkumpulnya para raja raja pada masa itu.

 

Dari cerita cerita yang dipaparkan diatas simbol tiga kekuatan itu menurut kami bukanlah sesuatu yang kebetulan. Dari nama tempat, tokoh dalam cerita, dan sumber sejarah di atas menunjukkan konsep tritangtu dari zaman ke zaman. Tiga santri kemungkinan menunjukan pada masa awal masuk islam di Jasinga, dan tiga bersaudara yang adu tanding kerbau ke palembang mungkin menunjukkan masa yang lebih lampau lagi pada masa sebelum Islam. Tilu iwung dalam uga Jasinga dan Tilu Hyang yang merupakan nama tempat yang membentuk wilayah segitiga di Jasinga, bisa jadi masanya lebih tua lagi. Dan masa peperangan dengan Belanda yang menyusun kekuatan Tiga Pangraksa atau Tigaraksa berlangsung pada abad ke-18.


Kalakay Jasinga