RUPA-RUPA

PERLAWANAN RATU BAGUS BUANG TERHADAP KOMPENI HINGGA AKHIR HAYATNYA MENURUT CATATAN LUAR

Pada bulan Juni hingga Oktober 1752, ketika perlawanan terhadap Kesultanan Banten bentukan Kompeni, mundur dan melarikan diri melintasi Priangan ke Jawa Tengah. Di bulan Juni 1752, tentara VOC melanjutkan serangannya. Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, yang telah meninggalkan wilayah barat Jawa setelah kekalahan perang di Pandegrang pada akhir tahun Juli, kemudian mundur ke wilayah Priangan. Setelah kegagalan penyerangan melawan melawan tentara VOC di Bandung pada bulan Agustus, para pejuang semakin mundur ke Banyumas pada bulan September. Disini, mereka mendapatkan perlawanan dari Bupati Banyumas yang bekerja sama dengan Kompeni, sehingga didorong lebih jauh ke Bagelen, dimana mereka mencoba bergabung dengan pejuang pejuang yang dipimpin Pangeran Arya Mangkubumi yang berperang melawan keponakannya, yaitu Susuhunan Pakubuwana III dari Istana Surakarta Kesultanan Mataram.

Dua tahun sebelumnya, awal mula perlawanan Ratu Bagus Buang diawali ketika Sultan Zaenul Arifin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi dan dijadikan permaisurinya. Ratu Bagus Buang sendiri adalah keponakan dari Sultan Zaenul Arifin, dan anak dari Pangeran Putra (Panembahan II) atau Pangeran Gusti. Setelah dibatalkan sebagai putra Mahkota, atas suruhan Ratu Syarifah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia dan ditengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Sailan pada Tahun 1747.

Di Batavia Ratu Bagus Buang juga dikenal dengan nama  etnis Mauwushi Wang. Dia juga memilih menyebut dirinya Sultan Abun bassar Muhammad Yusuf Achmed Adil Arlik Fidin, yang secara tegas menunjukkan sebagai penguasa kesultanan Banten. Ratu Bagus Buang bergabung dengan Kiai Tapa ke pegunungan dan membuat rencana mengumpulkan tentara untuk membalas dendam, dan menyerang Kesultanan Banten.

Ketika Ratu Bagus Buang mendengar bahwa Van Imhoff (Governor general) telah mati saat itu, yaitu pada 1 November 1750 dia segera mengumpulkan tentara dan memulai pemberontakan di tahun itu. Sentimen Islam yang masih melekat muncul kembali perang Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang terhadap Kompeni antara tahun 1750 hingga 1755 Ini pertentangan yang terus berlanjut menunjukkan upaya sekuritisasi Sultan Tirtayasa belum berhasil.


Ratu Bagus Buang bergabung bersama pendahulunya yaitu Kiai Tapa di Gunung Munara. Merekrut tentara pribumi secara besar-besaran, dan berangkat melawan kesultanan Banten bentukan VOC. Kekuatannya sangat besar! Setiap sudut Banten berada dalam keributan yang terus menerus. Terjadilah pemberontakan atau perang antara Banten dan masyarakat Banten yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang. Tercatat bahwa Ratu Bagus Buang sangat berani dan keras kepala. Semua desa-desa kecil dipelosok telah menjadi kekuasaannya. Semua ini terjadi karena Van Imhoff pada masa hidupnya merugikan rakyat Tiongkok, dan setelah kematiannya ia juga merugikan rakyat Banten.

Karena informasi tentang perlawanan terhadap Kompeni mulai menyusut setelah tanggal 30 Oktober 1752, diyakini bahwa perlawanan kepada Kompeni telah berakhir pada saat itu. Hal ini jelas tidak terjadi, karena kedua tokoh penting tersebut, yaitu Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang, muncul kembali masing-masing pada Tahun 1754 dan 1755. Pada bulan September 1754, tiba-tiba Kiai Tapa muncul dari Banyumas dan maju melalui wilayah Priangan ke Serang dengan sekelompok kecil pengikut. Meskipun dia berusaha memobilisasi orang disana, hal ini terbukti sia-sia dan dia ditangkap oleh pasukan sultan. Satu bulan kemudian dia melarikan diri dan menghilang. Meskipun Kiai Tapa lolos setelah ditangkap, Ratu Bagus Buang muncul dalam kelompok kecil di Gulajur di kawasan pegunungan kesultanan pada bulan Januari 1755, setelah kembali dari Jawa Tengah tempat ia tinggal selama ini. Dia pergi ke Prinsen Eiland (Pulau Panaitan), dimana dia terdeteksi dan dibunuh oleh tentara sultan pada Tanggal 4 Februari 1755. Setelah itu, Kiai Tapa menghilang dari sejarah.

Dalam catatan Melayu, tentara sultan yang dimaksud kemungkinan adalah Nakhoda Muda. Pada saat Nakhoda Muda dipaksa untuk menyerah kepada Ratu Bagus Buang, Nakhoda Muda memutuskan untuk tidak menyerah, dan malah berjanji kesetiaannya kepada Sultan dan meminta bantuan Sultan. Sultan mengirimi mereka dua kapal, dan Ratu Bagus Buang melarikan diri ke pegunungan untuk menyelamatkan nyawanya. Kisah pertempuran Nakhoda Muda dan Ratu Bagus Buang tercatat dalam naskah Melayu yaitu Hikayat Nakhoda Muda. Namun karena isi dari naskah tersebut lebih kepada keberpihakan kepada Nakhoda Muda dan Kompeni, sepertinya naskah tersebut tidak begitu diminati.


Sumber :

Atsushi Ota, 2006. Changes of Regime and Social Dynamics in West Java

Eberhard Crailsheim, 2019. The Representation of Eternal Threats from The Middle Ages to the Modern World

Hadijah Rahmat. Abdullah bin Abdul Kadir Munshi

Hadijah Rahmat, 2001. In Search of Modernity "a studyof concepts of literature, authorship and nation of self in Traditional". Malay Literature

Leonard Blusse, 2018. The Chinese Annals of Batavia, The Kai Na Lidai Shiji and Other Stories (1610-1795)