RUPA-RUPA

PERTANIAN JASINGA MASA LALU

Sekitar Tahun 1940 hingga 1960-an pertanian di Jasinga masih berlaku penanggalan sunda yang berpatokan pada letak gugusan bintang yang disebut Bintang Kidang. 

Istilah yang melekat pada petani masyarakat adalah “Unggah Kidang, Turun Kujang“ yaitu bila terlihat gugusan Bintang Kidang berada di ufuk utara maka tiba mangsa bercocok tanam padi.


Dahulu padi ditanam setahun sekali di sawah maupun di huma, panen pun hanya satu kali dalam setahun, hal ini untuk menghindari waktu datangnya tikus, kukang/belalag atau burung yang memakan dan mengganggu tanaman padi. 

Pupuk yang digunakan saat itu adalah pupuk kandang yang diolah untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi selama tiga bulan, tiga bulan selanjutnya menunggu padi menguning dan siap untuk dipanen.

Merintis tanam padi atau dengan istilah mimitian tandur yang pertama dilakukan adalah kotakan sawah yang pertama  ditanami bibit padi dengan melakukan ritual leluhur yaitu menancapkan bibit padi dari kanan ke kiri dengan membacakan Solawat Nariyah tiap satu bibit padi pada satu baris. Penanaman dilakukan oleh ibu-ibu atas perintah sesepuh, kokolot atau ulama.

Panen dilakukan dilakukan enam bulan setelah penanaman padi, atau bertepatan dengan munculnya Bintang Kidang pada posisi di ufuk timur. 

Mipit yaitu memotong padi dengan etem (ani- ani), padi yang pertama dipotong yang terlihat tampak tua beberapa ranggeuy (rumpun) dan dijadikan sebagai bibit untuk tanam padi tahun depan. 

Setelah pemotongan padi yang pertama, selanjutnya para petani memotong padi secara bersamaan (dibuat dalam bahasa Sunda Jasinga). 

Padi selanjutnya diikat dengan cara dipocong, dan yang membantu memotong padi mendapatkan bagian sesuai dengan pekerjaannya. Sesampai di kampung, padi disimpan di lumbung padi atau disebut Leuit

Padi yang tersimpan di leuit bisa bertahan lama karena pada alasnya diletakkan daun Kihura yang mirip dengan daun salak sebagai anti rayap atau hama.

Yang menarik adalah pada saat tiba menumbuk padi dengan menggunakan Lisung dan ditumbuk dengan halu, dilakukan  bersama  oleh ibu-ibu di kampung  sambil melantunkan “gegender”  yaitu lagu-lagu berisi bait-bait pantun yang berisi nasehat atau harapan. 

Menumbuk dengan halu dilakukan secara beraturan hingga mengeluarkan suara benturan kayu yang membentukan ketukan dan nada.



Sumber  :   Ki Soleh, Cisonggom Jasinga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar